Perkembangan Misi

601 92 2
                                    

Setelah peristiwa antara Halilintar dan Diamond, tidak ada peristiwa lain. Egidiana kembali ke kelas ditemani senyuman tipis, seperti habis memenangkan lotre limited edition.

Kelas dengan tenang terus fokus dalam materi pelajaran sampai waktunya pulang sekolah.

Di kursi penumpang mobil, Gempa tidak bisa menahan diri untuk tidak mengulang kejadian di taman bersama Halilintar. Mungkin dirinya terlalu terbawa suasana, sehingga memeluk Halilintar begitu erat.

Itu sangat tiba-tiba dan aneh. Batin Gempa. Kini menyesali perbuatannya. Selama Gempa berkutat di pikirannya, sang supir memanggil Gempa.

"Pangeran?"

"Ya?" Sahut Gempa, mengembalikan fokus pada supir.

"Pangeran Ice memajukan pertemuan hari ini." Ucapan supirnya memaksa Gempa berubah serius. Kedua alis Gempa bertaut. "Hari ini? Baru satu bulan berlalu dari pertemuan terakhir, apakah Ice memberitahu alasannya?"

"Tidak, Pangeran."

"Baiklah, terima kasih. Bisa lebih cepat sedikit? Pasti Ice sudah berada di Istana." Mohon Gempa.

Supir tersebut tersenyum sumringah. "Tentu, Pangeran. Pegangan yang erat."

Selesai mengatakan itu, mobil melaju kencang. Melewati berbagai mobil lainnya. Tidak sampai 10 menit kemudian, mobil tertata rapi di tempat parkir khusus milik Pangeran Mahkota. Gempa beranjak keluar, dirinya menangkap mobil Ice.

Gempa buru-buru memasuki Istana, manik gold Gempa menemukan Ice dan Embun bersantai di ruang tamu Istana.

"Apakah aku membuatmu menunggu lama, Ice?" Tanya Gempa sambil menghampiri Pangeran dari Snow Kingdom itu.

Ice menoleh, mulutnya mengunyah kue kering yang disiapkan Yaya. Beberapa remah-remah kue menempel di pipi. "Tidak, Kak Gem. Aku baru datang."

"Ah, oke. Bagaimana kalau kita ke ruang jamuan makan saja?" Usul Gempa.

"Boleh-boleh, lebih nyaman di sana."

Ice mengekori Gempa menuju ruang jamuan, disertai Embun di belakang. Ternyata, Yaya sudah berada di ruangan terlebih dahulu. Dia bahkan menyiapkan makanan ringan dan minuman. Tirai hitam pun tersibak menutupi semua jendela.

"Sudah kuduga kalian akan melaksanakan pertemuan di sini." Kata Yaya, tidak lupa mengganti dinding berisi lukisan menjadi dinding polos. Walaupun sudah melihatnya dipertemuan terakhir, Ice dan Embun tetap terkesima akan tembok itu.

"Terima kasih, Yaya. Kau sangat memahami kami." Gempa tersenyum.

Yaya membalas senyuman Gempa. "Aku akan menunggu di luar, masih ada kerjaan lain."

"Apakah banyak? Jangan lupa istirahat."

Yaya memutar mata, suaranya terdengar bersamaan pintu tertutup. "Aku tahu istirahat, Gem. Tidak seperti dirimu."

Dengan bunyi 'klik,' Ice dan Gempa mendudukkan diri. Embun mempersiapkan layar proyektornya.

"Sebelum mulai," Gempa menyela. "Bagaimana keadaanmu sekarang, Ice?"

Ice membalas ringan. "Baik-baik saja, Kak Gem. Kakak takut serangan panikku kambuh?"

"Siapa yang tidak takut jika teman terdekatnya mengalami kesulitan nafas dan pingsan?"

".. Tenang, Kak. Aku tidak apa-apa sekarang." Ice menambahkan. "Selama aku jauh dari Blaze, tidak akan ada hal buruk terjadi."

Ice mengangkat kepalanya yang entah sejak kapan tertunduk, manik biru langitnya mencari sesuatu dalam manik gold Gempa. Mungkin kebingungan, mungkin juga amarah. Tapi Gempa tidak memberikan satupun tanda-tanda tersebut. Dirinya hanya menatap penuh pengertian dan tidak memaksa Ice untuk bercerita.

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Kde žijí příběhy. Začni objevovat