Traktir Mewah

557 67 15
                                    

"Ah, iya? Aku kira ada apa." Jawab Taufan. Begitu Solar berada di dekat jarak jangkauannya, Taufan segera melingkarkan kedua tangannya untuk memeluk lengan Solar. Gempa membiarkan Taufan menikmati dirinya bergelayut manja pada Solar, dia tidak menghentikan mereka.

"Ngomong-ngomong, aku juga suruh Daun ikut kita." Ucapan Gempa menarik perhatian Solar dan Taufan. Menerima tatapan mereka berdua, Daun melambai canggung ditemani senyuman polos. "Halo!"

"Halo, Daun!" Taufan menyapa balik. Tidak melupakan cengiran andalannya terukir di bibir.

"Kalian tidak keberatan, kan?"

"Tentu saja tidak, Kak Gem. Bukankah lebih banyak orang lebih meriah?" Mengangguk-angguk setuju atas kalimat Solar, Taufan menambahkan. "Benar, tuh! Kau tidak perlu khawatir, Gempa. Bagaimana dengan Blaze dan Ice??"

Mereka berjalan-jalan sebentar sampai ke jalur pejalan kaki terdekat, memberi mereka keleluasaan dalam berbicara. Kaki mereka meninggalkan jejak di atas tumpukan salju. Warna putih bagai menyelimuti permukaan dunia sejauh mata mereka memandang.

"Mereka ikut, kok. Mereka pergi duluan ke restoran yang sudah di-booking oleh Halilintar." Gempa berucap pelan sambil mengeluarkan handphone miliknya, dirinya terlihat seperti mengecek sesuatu.

"Jadi, em, kita ke sana naik apa, Kak Gem?" Tanya Daun, memiringkan kepalanya bingung.

"Aku pesan taksi online, Daun. Kita cuma harus menunggu saja."

"Ohh, baiklah!"

Sementara Daun dan Gempa mengobrol bersama, Taufan mengajak Solar berbincang-bincang.

"Uwah, dingin sekali. Padahal aku sudah memakai jaket tebal."

"Sedingin itu?"

"Iya!!"

"Ya sudah, sini, Kak Taufan." Solar melepas lembut tangan Taufan kemudian membuka lengannya lebar-lebar. Seakan tahu apa maksud Solar, Taufan segera memeluknya dengan erat. Tidak sampai disitu, Solar menarik ritsleting jaketnya ke atas lalu memeluk balik Taufan. Memerangkapnya dalam dekapan hangat.

"Bagaimana, Kak? Sudah tidak dingin?"

"En!"

"Ehem." Gempa berdeham menyaksikan tingkah laku Solar dan Taufan. Dia tidak tahan untuk tidak menggoda mereka berdua. "Kalian terlihat seperti yang baru pacaran saja, atau jangan-jangan kalian memang pacaran?"

Daun ikut berceletuk. "Berarti kalian harus traktir makan lagi, tidak boleh bagi-bagi sama traktir makan kali ini."

"Kami belum pacaran, sih. Solar masih bimbang. Tapi terima kasih kata-katanya, semoga jadi kenyataan kedepannya." Datang jawaban Taufan. Walaupun Gempa dan Daun tidak bisa melihat raut wajahnya, mereka yakin Taufan sedang menyengir jahil.

Solar memutar mata, berpura-pura lelah menghadapi Taufan. Namun ujung telinganya yang memerah menjelaskan hal lain, membuat Gempa tersenyum.

"Siapa bilang aku bimbang?"

"Oh ya? Kalau begitu, apa kau siap membalas ungkapan perasaanku dulu, Solsol? Saat ini juga, aku mau dengar." Tantang Taufan, kepalanya mendongak. Solar membuang muka.

Seakan-akan paham Solar tidak bisa membalas, Taufan mengecup pipi Solar, menyebabkan tubuh sang pemilik kekuatan elemental cahaya tersentak kaget.

"Tidak apa, aku bisa menunggu. Entah selama apapun itu." Ucapan Taufan penuh ketulusan, hampir melelehkan dinding tak kasat mata ciptaan Solar.

".... Hn." Gumam Solar lirih, pipinya terlukis semburat merah tipis.

"Loh, kok mata Daun ditutup, Kak Gem?" Protes Daun, Gempa melepaskan tangannya. "Bukan kenapa-kenapa, Daun cuma tidak boleh lihat tadi."

Bitter Truth | I [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang