Surat Gugatan

15.3K 991 67
                                    

"Una, nanti kita bicarakan lagi ya. Sekarang kita pergi ke rumah sakit saja terlebih dahulu," ucap Samir dengan lembut, sepertinya dia benar-benar memohon kepada Una untuk mau datang ke rumah sakit.

Una mengigit bibir bawahnya menahan kesal, ingin menolak dan marah. Tapi dia tidak ingin membangkitkan emosi Samir, demi kesehatan Samir, dia menahan marahnya dan dengan terpaksa ikut bersama ke rumah sakit.

Sepanjang perjalanan, Una menghadap ke kaca dan tidak ingin bicara apapun kepada Samir, sedangkan Samir sama sekali tidak peka dengan tindakan mengambek dari Una, dalam pikirannya sekarang hanya cepat sampai di rumah sakit.

Sampai di rumah sakit, Samir terlihat buru-buru turun dari mobil bahkan dia hampir lupa untuk membukakan pintu untuk Una seperti biasanya. Melihat itu, Una hanya tetap diam saja di mobil sambil melihat seberapa pekanya suaminya.Akhirnya Samir sadar, dan berbalik membukakan pintu untuk Una.

"Lupa loh sama istrinya," ucap Una dengan wajah betenya, dan melangkah duluan meninggalkan Samir. Dia pun langsung bergegas menyusul Una, lalu mengandeng erat tangan istrinya, tanpa satu kata pun dan ekspresi yang datar Samir mengandeng Una.

Bertemu lah Samir dengan perawat dan dokter yang menangani Amir, berbincanglah Samir dengan dokter, sementara Una menunggu bersama perawat yang tadi menelepon Samir.

"Maaf saya boleh bertanya? dari mana pihak rumah sakit bisa mendapatkan nomor suami saya?" tanya Una.

"Data saat pak Samir mendonorkan darahnya bu, sebelum ibu Aira shock dan pingsan, dia pernah berpesan untuk menghubungi pak Samir jika terjadi apa-apa terhadap Amir." jelas perawat itu.

"Aira benar-benar keterlaluan masih saja ingin menganggu mas Samir," batin Una.

"Dimana ruangan Aira dirawat?" tanya kepada perawat, lalu perawat mengantarkan Una.

"Terima kasih," ucap Una.

"Oh iya satu lagi,untuk selanjutnya tolong ya jangam menghubungi suami saya lagi, ini nomor keluarganya. Silahkan hubungi ke nomor ini." ucap Una memberikan nomor telepon Karin, karena menurut Una lebih baik menghubungi Karin daripada melibatkan suaminya lagi.

Lalu dia melangkah mendekat dan duduk di sebelah ranjang Aira. Una hampir saja tidak berkedip, saat pertama kalinya melihat wajah Aira tanpa cadar.

"MasyaAllah cantik sekali," gumam Una.

"Pantas saja mas Samir sulit melupakanmu ya Aira, wajahmu sangat cantik, dibanding denganku sangat berbeda jauh." ucap Una menjadi tidak percaya diri karena melihat wajah Aira yang sangat cantik dimatanya.

Samir sudah berdiskusi dengan dokter mengenai kondisi Amir. Lalu dokter pun segera mempersiapkan operasi untuk Amir. Setelah itu dia menyusul Una ke ruangan Aira di rawat.

"Una," ucap Samir melihat Una yang tertunduk duduk disebelah ranjang Aira.

"Mas benar-benar terlihat khawatir ya, orang-orang yang melihat pasti mengira kalau mas ayahnya. Tapi biasanya kontak batin anak dan ayah itu memang kuat ya," ucap Una.

"Una saya," ucap Samir langsung dipotong oleh Una.

"Sebenarnya hal yang terlupakan dan tidak ingin mas ingat itu tentang Amir kan? karena dosa zina itu terlalu memalukan untuk mas Samir dan ingin mas buang ingatan itu," ucap Una entah kenapa Una sekarang jadi sangat sensitif dan perasa sekali, biasanya dia bisa bersikap dewasa dan pengertian.Apalagi Una jika ingin bicara selalu dipikirkan terlebih dahulu, tidak ingin membuat Samir marah atau kambuh, tapi kali ini dia seakan lupa dengan hal itu.

"Astaghfirullahaladzim Una istighfar. Kamu kenapa sih? saya memang lupa tentang apapun itu mengenai masa lalu saya yang buruk karena itu terlalu menyiksa saya, tapi saya yakin kalau saya tidak sampai melakukan hal itu. Kita hanya butuh menunggu sebentar untuk mengetahui semuanya yang ada pada dokter Rosa, kamu hanya butuh sabar," ucap Samir.

"Kalau nanti hasil faktanya diluar ekspektasi bagaimana?" ucap Una.

"Maksdunya?" tanya Samir bingung.

"Kalau ternyata memang Amir anak dari mas Samir, selanjutnya apa yang akan mas lakukan?" tanya Una.

"Sa-ya..." ucap Samir terlihat berpikir.

"Butuh waktu ternyata untuk menjawabnya," ucap Una.

"Pertanyaanmu mendadak dan sangat besar seperti ini, saya harus sungguh-sungguh memikirkan jawabanya." jawab Samir.

"Kalau mas tidak menginginkan anak itu, mas pasti tidak perlu wakti untuk memikirkan jawabannya." ucap Una.

"Allahuakbar Una, kamu ini kenapa sih? ada apa? kenapa sepertinya kamu ingin memancing perdebatan terus menerus." keluh Samir yang benar-benar merasa aneh dengan sikap Una yang baru pertama kalinya tidak mau mengalah saat bicara dengannya.

"Mas yang kenapa!" ucap Una berdiri lalu sedikit mendorong Samir dengen wajah merah marah agar dia bisa lewat dan segera keluar dari ruangan Aira dengan rasa kesalnya, Samir langsung mengejar Una keluar.

Saat mereka keluar, Aira membuka matanya. Dari tadi ternyata dia sadar dan mendengarkan seluruh pembicaraan Una dan Samir, dia tersenyum menyeringai.

"Ternyata Samir lupa tentang tragedi itu, pantas saja dia terlihat bingung melihat Amir, aku pikir dia ingat. Bukankah ini jalan yang sempurna untuk membuat Samir merasa pernah melakukannya bersamaku dan menghasilkan Amir, lalu istrinya yang sok suci itu akan merasa gagal menjadi istri karena menikah dengan laki-laki yang pernah berzina. Aku yakin, dari sikap kekanak-anakanya pasti dia tidak bisa menerima kenyataan kalau suami sholehnya mempunyai anak dari perempuan lain. Padahal Amir bukan anak Samir." batin Aira.

Samir mengejar Una dan menarik tangannya untuk menghentikan langkah istrinya.

"Kenapa kamu jadi marah-marah seperti ini?" tanya Samir.

"Memangnya hanya mas Samir saja yang boleh marah-marah? Una juga bisa merasa ingin marah, kesal, emosi. Tapi selama ini selalu Una tahan demi mas Samir, karena kalau Una marah bisa saja memicu emosi mas yang tak terkontrol. Setiap bicara dengan mas, selalu Una susun tutur kata yang baik agar tidak menyakiti perasaan mas Samir. Kalau Una merasa capek, kesal, dan mau marah. Una tahan, karena Una tidak ingin mas Samir sakit. Dalam melakukan hal apapun, yang terlintas dipikiran Una hanya untuk kesehatan mas Samir. Yang bahkan sebenarnya mas Samir tidak pernah mengangap kehadiran Una didalam hidupnya." ucap Una.

Samir yang tadi memeganggi tangan Una, perlahan dia lepaskan. Una melirik ke arah tangan yang dilepas oleh Samir, dia menatap kepada Samir yang terdiam bisu.

"Bahkan tidak ada penyangkalan sama sekali," ucap Una tersenyum sakit.

"Tolong berikan izin kepada Una untuk pulang, mas bisa selesaikan urusan keluarga mas disini." ucap Una.

"Kita pulang bersama," ucap Samir lalu melangkah kan kakinya duluan.

Mereka pulang ke rumah dengan tetap diam tanpa sepatah katapun, sampai di rumah. Yang biasanya Samir masuk ke kamar Una untuk tidur bersama, tetapi sampai larut malam Una menunggu, Samir sama sekali tidak masuk ke kamarnya.

"Una, sebenarnya kamu tadi ngapain sih. Kenapa aku tiba-tiba jadi seberani itu dan merasa sangat sedih, aku biasanya kuat dan sangat ahli menutupi perasaanku. Tapi tadi kenapa aku jadi tidak terkontrol, apa aku melukai hati suamiku? atau jangan-jangan karena ucapanku dia kambuh?" batin Una merasa gelisah.

Paginya, ternyata Samir di kamar juga tidak tidur semalaman. Dia memandangi kertas dimejanya yang bertuliskan Surat gugatan cerai.

Selamat menjalankan ibadah bulan puasa teman-teman semua mohon maaf lahir batin🙏









 Badai Mantan Dalam Rumahtanggaku(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang