~Adreil Ferupsea~

310 10 0
                                    

Netranya menatap sosok itu bingung, Adreil seperti orang yang terlihat bingung dengan menyikapi sesuatu.

Felisya sembuh, memang dirinya tidak terjadi apa-apa. Ia hanya trauma, trauma hebat. Felisya tidak bisa lagi melihat benda tajam dengan pandangan biasa saja, apalagi ketika Adreil memegangnya. Kata dokter, itu akan membuat traumanya muncul dan Adreil berusaha tidak melakukan larangan dokter.

"Lo kenapa?" Felisya ikut duduk di kursi makan yang terletak tidak jauh dari dapur, dari sana Adreil terlihat seperti sangat kacau dan tidak karuan.

Saat ini di seberangnya ada Adreil yang mendongak menatapnya.

"Gue tahu siapa."

Felisya mengerutkan keningnya, beberapa detik setelah itu dirinya baru paham.

"Lo?"

"Ayah, semua ini karna ayah gue. Karna dia gue jadi iblis yang bahkan sampe nyeba—"

"Dreil," panggil Felisya yang berhasil membuat laki-laki itu berhenti dan menatap netranya. "Jangan lakuin lagi hal sama yang akan buat lo nyesel." Felisya benar, Adreil jangan ceroboh. Kejadian 2 tahun lalu sampai saat ini cukup membuatnya kecewa dan marah pada dirinya sendiri.

Adreil menggeleng.

Jujur, Felisya tidak menyangka ternyata yang melakukan semua ini om Erlan ayah dari Adreil sendiri. Felisya pikir pria paruh baya itu memang berhati bak malaikat, ternyata sifat seseorang tidak melulu dinilai dari kebaikan luarnya, karena bisa saja itu bisa dibuat-buat sama seperti yang telah Erlan lakukan selama ini. Felisya diam tidak ingin mengutarakan apa yang saat ini ada dalam pikirannya, takut rasa benci Adreil malah semakin besar terhadap ayahnya sendiri.

"Tapi gue gak bisa diem aja saat bokap gue hampir nyebabin gue bunuh bunda dan adek gue sendiri setelah gue bunuh puluhan atau bisa aja udah sampe mungkin ratusan orang! Dia harus gue kasih pelajaran, Sya!" Giginya gemertak, Adreil marah, benci dan kecewa pada dirinya sendiri.

Apa yang harus besok ia lakukan jika bertemu ibu dan adiknya? Apa Adreil sanggup? Sungguh, Adreil merasa dirinya malu menemui mereka, setelah apa yang ada dalam pikirannya dulu ia layangkan kepada ibu dan adik perempuannya.

Felisya menghela napasnya. "Mau seburuk apapun dia tetep orang tua lo," katanya, masih mencoba memberi masukan yang baik buat cowok yang ia sadar telah dirinya cintai begitu besar.

Adreil diam, ia ingin menyangkal tetapi dirinya takut tidak bisa mengontrol emosinya dan kembali menyakiti Felisya.

"Besok gue ikut, ya?"

"Nggak! Gue gak mau lo nanti kenapa-napa!"

"Berarti besok lo mau berbuat apa-apa?" Pertanyaan itu membuat Adreil terdiam.

Mereka saling terdiam, dan suasana hening dalam beberapa menit.

"Sya," sahut Adreil yang berpindah ke kursi yang lebih dekat dengan Felisya.

"G-gue gak mau lo kenapa-napa, itu alasan kenapa gue gak mau lo ikut besok." Entah kenapa Adreil tiba-tiba mengatakan hal yang seharusnya bagi Adreil tidak perlu dikatakan.

Felisya diam, dirinya masih ingin mendengar penuturan Adreil. Bahkan gerakannya tak lepas dari netranya, Adreil sedikit berbeda akhir-akhir ini. Lebih terlihat lembut dan pengertian.

Adreil bingung, kenapa dirinya salah tingkah seperti ini saat Felisya diam dan terus menatapnya. Ini benar-benar bukan seperti dirinya.

"Gue gamau kehilangan lo, itu lebih tepatnya," katanya dengan kedua bola mata yang ikut menatap gadis di depannya.

ADREIL {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang