~Adreil Ferupsea~

263 7 0
                                    

Suara bel istirahat terdengar beberapa menit lalu, Fiorra berjalan seorang diri di pinggir lapangan dengan senyum yang terus terpasang di wajah cantiknya. Sebelumnya ia menolak ajakan Dave yang ingin menemaninya ke perpustakaan sekolah, Fiorra tidak ingin banyak orang salah paham atas kedekatannya dengan Dave apalagi Adreil.

"Hei, awas!"

Fiorra menoleh dan langsung mengikuti arah tatap siswa yang meneriakinya.

Pot bunga terjatuh dari lantai 2, Fiorra mengangkat telapak tangannya untuk melindungi wajah dari hantaman pot itu, tidak lupa dengan mata terpejam dan tubuh bergetar takut.

Aaaa!

Plank

Pot bunga beserta isinya hancur di atas lantai, Adreil mengatur napasnya dan menatap Fiorra.

"Lain kali, lo hati-hati."

Fiorra membuka matanya dan melihat untuk memastikan suara itu.

Adreil.

Dengan cepat telapak tangannya melingkar di pergelangan Adreil, ketika Adreil hendak pergi.

"Lepas," katanya, tanpa sedikit pun menatap lawan bicaranya.

"Nggak!" tolaknya, Fiorra menatap Adreil dengan senyum lebar. "Kamu masih peduli, aku udah yakin itu."

"Kebetulan."

Fiorra menghela napasnya, dirinya harus kuat dan sabar menghadapi sikap dingin kekasihnya yang sekarang.

"Aku masih sayang kamu, hari ini kamu menjauh atau bersikap ke aku segimana pun. Aku akan tetep berusaha dapetin hati kamu lagi." Fiorra melepaskannya, dirinya tersenyum ke arah Adreil lalu pergi.

Adreil membuang mukanya dan menangkap sosok Dave yang terdiam di ujung tangga.

Dave, ya?

Erlan berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya, dirinya gelisah dengan putra sulungnya.

Tok tok tok

"Masuk!"

Dion datang dengan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya. "Saya, Tuan." Lelaki itu membungkuk hormat.

Erlan menatap Dion.

"Kalau saya minta nyawa kamu, apa akan diberikan?"

Dion mendongak, beberapa detik dirinya menatap kedua bola mata Erlan dengan lancang. Namun, hanya sebentar. Tidak lama dirinya menunduk dan menganggukan kepalanya.

"Tentu, saya akan mengabdi kepada Tuan, sampai akhir hayat saya," ujarnya tanpa ragu.

Erlan tersenyum dan mengangguk. Ia melempar pisau yang diambil dari lacinya ke arah Dion.

"Kalau gitu, lukai tangan kamu!"

Erlan butuh bukti, bukan sekedar ucapan.

Dion menangkapnya dan segera melakukan, sesuai perintah.

Sett

Darah menetes keluar mengotori seragam putihnya, Dion menunduk.

"Sudah, Tuan. Sesuai perintah." lelaki itu berkata dan mengabaikan darah yang terus keluar membasahi lantai dan seragamnya. Bahkan Dion tidak meringis sedikit pun.  Lebih tepatnya, menahan agar suara itu tidak keluar.

Erlan tersenyum dan mengangguk.

"Pergi dan obati lukamu, hari ini jangan pergi ke sekolah karna saya punya tugas dua jam lagi untukmu."

ADREIL {END}Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora