Group Lapak Dosa
Elang : Gav, anak gue gimana kabarnya? Dari siang sampai malam begini kok lo enggak update kabar Lean.
Wilson : Mending lo susul aja. Siapa tahu lo bisa dapat pemandangan bagus di kamar hotelnya Gavriel malam ini.
Elang : Gue masih di Bandung. Ini si Adit malah nyusulin ke sini tadi sore gara-gara si Raga mau naik ke Cikuray sama teman-temannya.
Wilson : Lo mau ikut ke sana?
Elang : Biasa naik gunung kembar yang empuk kok diajak naik gunung beneran. Ya, enggak sangguplah saya. Biarin aja besok pagi si Adit ke Garut sendirian.
Gavriel yang membaca group hanya bisa menghela napas panjang. Gavirel bisa memaklumi jika Elang secerewet ini saat ia membawa Leander pergi ke luar kota tanpa ada pendampingan dari baby sitter anak itu.
Gavriel : *sending picture*
Gavriel : Noh, gue habis nyetrika baju sama celananya Lean yang kena muntahan dia tadi siang di bus.Gue yakin lo yang jadi Papanya aja belum pernah ngelakuin hal kaya gini buat Lean.
Wilson : Nyuci di mana lo malam-malam begini?
Gavriel : Rumah orangtuanya Gadis. Jam segini mana ada laundry yang masih buka. Kalo enggak gue cuci, baunya bikin pingin muntah.
Adit : Buang aja bajunya terus beli baru.
Gavriel : Kata Ella enggak boleh buang pakaian anak kecil sembarangan. Takutnya nanti kalo dibakar orang terus si anak jadi kulitnya luka-luka.
Wilson : Gue kaya enggak percaya kalo orang seperti Gavriel percaya sama hal beginian.
Gavriel : Terserah lo deh, Son mau percaya apa kagak juga enggak ngaruh di gue. Karena gue juga lihat disekitar gue kalo biasanya baju-baju bayi sama anak kecil itu justru dikasih ke orang yang membutuhkan atau sekarang malah banyak yang dijual preloved di e-commerce.
Elang : Terus keadaan Lean gimana, Gav? Sudah lo bawa ke dokter atau IGD belum waktu sampai Solo tadi?
Gavriel : Lo lebay banget sih, Lang. Namanya juga anak mabuk perjalanan. Sudah biasa kaya gitu, ngapain pakai bawa ke dokter segala. Bisa diketawain sama orang-orang di bus kalo cuma karena mabuk perjalanan si Lean sampai masuk IGD.
Elang : Si Lean itu jarang banget muntah mau perjalanan darat, laut maupun udara. Kalo dia sampai muntah, gue cuma takut dia lagi enggak enak badan, Gav. Lagipula lebih baik melakukan tindakan preventif 'kan kalo sudah berurusan sama masalah kesehatan anak.
Gavriel : Dia baik-baik aja. Cuma memang makannya rada susah hari ini.
Adit : Semoga usaha lo buat meluluhkan hati Gadis melalui cara cosplay jadi Ayah able kali ini enggak sia-sia, Gav. Kalo Gadis masih belum kasih kepastian, coba deh dekati keluarganya terlebih orangtuanya. Siapa tahu dengan dukungan mereka, jalan lo mendekati Gadis lebih mudah.
Wilson : Pintar banget kasih petuah, tapi dia sendiri aja enggak bisa lakuinnya.
Elang : Kalo gue jadi Raga, si Adit udah gue bikin masuk ICU kalo perlu nginap di ruang jenazah dulu sebelum ditanam di tanah selamanya.
Gavriel : Gadisnya aja masih ngegantungin gue dengan bilang mau nunggu masa iddah selesai dulu. Dia juga mau travelling selama beberapa bulan. Jadi dia enggak mau punya hubungan spesial sama lawan jenis. Bikin keselnya lagi, dia minta gue memikirkan lagi keputusan yang sudah gue buat ini biar enggak menyesal di kemudian hari.
Elang : Lihat lika liku perjalanan cintanya Gavriel sama Adit bikin gue yakin untuk enggak punya pasangan deh. Enggak sanggup gue kalo harus berjuang secara ugal-ugalan ditambah masih jadi bapak satu anak sama kerja.
Wilson : Berasa jadi duda satu anak tanpa pernah merasakan hangatnya dekapan wanita. Poor Elang.
Gavriel menatap layar handphonenya sambil senyam-senyum tidak jelas. Aryanti yang sedang menuruni tangga bersama Gadis dan melihat hal itu segera mencekal tangan anaknya itu.
"Ada apa sih,, Ma?"
"Dis, itu si Gavriel sering natap layar handphone sambil senyam senyum begitu?"
"Mana aku tahu, Ma."
"Laki-laki kalo kaya gitu biasanya karena dapat pesan dari perempuan yang lagi dekat sama dia."
"Ya biarin aja, Ma."
"Kok biarin? Kamu ini gimana? Harusnya 'kan cemburu atau minimal overthinking sama kelakuan dia."
Siapa sangka jika Gadis justru bisa tertawa mendengar kecurigaan sang Mama. Baru juga beberapa menit yang lalu Mamanya mempromosikan Gavriel seperti sales panci di acara arisan ibu-ibu tapi kini Mamanya justru berpikiran jika Gavriel adalah laki-laki yang memiliki banyak teman wanita. Kalopun benar Gavriel dekat dengan banyak wanita, Gadis tidak akan kaget mendengarnya. Ia sudah sering melihat Gavriel dijemput para wanita yang berbeda dulu saat jam pulang kantor. Ini cukup menjadi bukti bahwa Gavriel termasuk laki-laki yang mudah dekat dengan wanita. Alasan ini juga yang membuat Gadis tidak terbang melayang-layang di negri penuh gambar hati dan cupid hanya karena perlakuan yang diberikan Gavriel kepadanya.
Tawa Gadis yang sayup-sayup terdengar membuat Gavriel mengangkat pandangannya. Ia bisa melihat bagaimana Gadis yang sejak sore hari tadi menjadi badmood kini menjadi ceria kembali. Meskipun penyebab mood Gadis rusak tadi adalah sang Mama namun kini yang berdiri disampingnya saat ia terlihat bahagia justru Mamanya. Gavriel tersenyum melihat hal itu.
Aryanti yang melihat bagaimana reaksi Gavriel melihat anaknya ini tahu bahwa laki-laki ini tulus. Entah apa yang membuat Gavriel memilih Gadis yang terlalu biasa saja bagi pria seperti dirinya. Bahkan dari bocoran Banyu kepadanya, Gavriel sudah menyimpan perasaan untuk Gadis sejak mereka masih aktif bekerja bersama. Itu sudah cukup menjadi jawaban bila perasaan cinta yang dimiliki Gavriel jauh lebih lama daripada perasaan cinta Gadis ke Pradipta.
"Dis, itu dilihatin Gavriel," gumam Aryanti pelan yang membuat Gadis menoleh dan pelan-pelan tawanya hilang begitu saja.
Seakan baru saja ketahuan, Gadis segera turun dan sekan tidak terjadi apa-apa. Semoga saja Gavriel tidak mendengar apa yang ia dan Mamanya bicarakan di tangga tadi.
"Sudah selesai, Gav?" tanya Gadis sambil mulai duduk di sofa yang ada di hadapan Gavriel.
"Sudah."
"Kalo begitu kita balik ke hotel saja. Aku ambil Lean di kamar Mas Banyu dulu."
Gavriel menganggukkan kepalanya. Tanpa banyak bicara lagi, Gadis meninggalkan Gavriel bersama Mamanya. lebih baik begitu agar Mamanya yang sering overthingking tidak jelas ini bisa mengkonfirmasi secara langsung kepada Gavriel.
Saat Gadis sampai di depan kamar sang kakak, pelan-pelan ia mengetuk pintu kamar itu. Suara Papanya yang mempersilahkannya masuk membuat Gadis membuka pintunya. Seketika ia tersenyum melihat Leander yang sudah tertidur di atas ranjang milik Banyu sambil merangkul sebuah guling. Di samping Leander ada sosok Papanya yang terlihat baru saja menutup majalah anak-anak edisi spesial yang Mamanya belikan untuknya.
"Si Lean sudah lama belum tidurnya, Pa?" tanya Gadis sambil berjalan mendekati Leander yang ada di ranjang berukuran king ini.
"Belum lama. Kenapa? Kamu mau bawa Lean balik ke hotel malam ini?"
"Iya, Pa. Gavriel sudah selesai setrika bajunya Lean."
Sudibyo melihat Leander yang tertidur dengan pulas dan ia tidak tega jika harus membangunkan anak itu. Lagipula kamar Banyu tidak kalah nyaman dengan kamar hotel tempat Gadis menginap malam ini.
"Biarkan Lean menginap di sini, Dis. Besok pagi baru kalian balik ke hotel."
"Baju sama perlengkapan pribadi Lean sama Gavriel di hotel semua, Pa. Lagipula besok pagi jam tujuh kita sudah harus breakfast bareng sama peserta piknik lainnya. Jam delapan sudah cek out dari hotel juga."
"Kalian bisa berangkat dari rumah jam enam pagi jadi belum macet di jalan."
Gadis menggelengkan kepalanya. Ia tak mau membuat tetangga Gavriel memiliki bahan gosip baru jika ia dan Gavriel tidak ada di hotel malam ini.
"Kalo begitu Papa ke bawah dulu. Biar Papa antar kalian ke hotel."
"Enggak usah, Pa sudah malam. Papa istirahat aja. Gavriel sudah order taxi online."
Sudibyo memilih meninggalkan Gadis di kamar ini dan segera turun untuk menyusul Gavriel agar membatalkan pesanan taxi onlinenya. Sepeninggal sang Papa, Gadis segera mendekati Lean dan mencium kening bocah itu. Hal pertama yang Gadis sadari adalah badan Lean yang terasa lebih hangat daripada tadi pagi sampai siang hari. Sepertinya anak ini sedikit tidak enak badan setelah mereka melakukan perjalanan jauh. Tidak mau membuat kedua orangtuanya khawatir jika mengetahui Lean sakit, Gadis akan memilih diam dan tidak memberitahu Mama dan Papanya. Pelan-pelan Gadis mulai mengangkat Leander dan menggendongnya untuk keluar dari kamar ini. Untung saja Lean tidak bangun kala Gadis menggendongnya. Selangkah demi selangkah Gadis menuruni anak tangga rumah kedua orangtuanya. Gavriel yang melihat Gadis menuruni tangga sambil menggendong Lean, tanpa permisi lebih dulu kepada Sudibyo dan Aryanti yang sedang mengajaknya mengobrol segera berjalan cepat menaiki tangga untuk mengambil alih Lean dari gendongan Gadis. Saat melihat Gavriel mengambil alih Lean dari gendongannya, Gadis langsung berkata pelan pada Gavriel agar orangtuanya tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
"Badannya Lean anget. Bawa paracetamol enggak?"
Gavriel baru menjawab saat Lean sudah ada di dalam gandongannya. "Ada di kamar."
Gadis menganggukkan kepalanya. Kini ia mengikuti Gavriel untuk turun dan kembali ke ruang keluarga. Tanpa banyak membuang-buang waktu, Gadis segera pamit kepada orangtuanya.
"Kamu serius enggak mau Papa antar?" Tanya Sudibyo kembali kala ia tidak berhasil membujuk Gavriel untuk membatalkan pesanan taxi onlinenya.
"Enggak usah, Pa. Papa di rumah aja."
"Biar diantar supir saja ya, Dis?" Kini Aryanti mulai ikut turun tangan untuk membantu suaminya berdebat dengan anaknya.
"Enggak usah. Sudah malam, Ma. Lagipula juga sudah order taxi online ini. Sebentar lagi driver-nya sudah sampai."
Gavriel memilih diam karena ia tadi juga sudah menolak tawaran Papa Gadis. Saat supir taxi online sudah sampai di depan gerbang rumah orangtua Gadis, Gavriel segera berdiri dan pamit. Karena ia menggendong Lean, tentu saja Gavriel mengalami sedikit kesulitan saat melakukan jabat tangan deangan Aryanti serta Sudibyo. Seakan paham dengan kesulitan Gavriel ini, orangtua Gadis memilih mencium Lean saja sebagai bentuk perpisahan dengan bocah itu dan Gavriel.
***