"Ganteng bener anak Papa," puji Elang kala melihat Leander sudah tampak rapi di dalam kamarnya.
"Iya dong. 'Kan mau ketemu sama Bunda."
"Jangan ganteng-ganteng kalo ketemu sama Bunda, nanti Ayah cemburu."
bugg.....
Sebuah tepukan di punggung Elang membuatnya menoleh, melihat sosok Gavriel ada di sana, mata Elang langsung membelalak.
"Ngomong sama anak-anak itu pakai filter."
"Sejak kapan lo datang?"
"Barusan," kata Gavriel sambil mulai berjalan memasuki kamar Leander.
Elang memilih memperhatikan Gavriel yang mulai beramah tamah dengan Leander. Meskipun ia adalah wali Leander dan setiap harinya dirinya yang selalu tinggal bersama bocah itu, tapi cara Gavriel memperlakukan Lean dengan caranya sungguh sangat jauh berbeda. Gavriel benar-benar memperlakukan Leander seperti anaknya sendiri, sedangkan dirinya terkadang belum terlalu bisa seperti itu sepenuhnya. Ia dan Leander seperti seorang teman bermain, hanya sesekali saja ia berperan menjadi seorang Papa untuk anak itu. Kehadiran Leander di hidupnya seakan menjadikan masa kecil yang ia lewati dengan penuh ketimpangan perhatian karena lebih banyak orang yang memperhatikan kakak tirinya daripada dirinya membuatnya mencoba kembali masa-masa kala kanak-kanak bersama Leander setiap harinya. Keberadaan Leander di rumahnya membuat Elang tidak merasa hidup seorang diri. Ada yang membat rumahnya terasa hidup dengan suara ceotehan, tawa bahkan tangisan Leander.
"Ayah, nanti Bunda tidur di rumah Ayah juga enggak?"
"Hmm... kayanya enggak, Le. Bunda tidur di hotel."
"Kenapa harus di hotel? di rumah Ayah 'kan ada kamar juga."
Elang yang mendengarkan pembicaraan Gavriel dan Leander berinisiatif untuk memberikan jawaban meski tak dimintai tolong oleh Gavriel.
"Lean... Kalo Ayah sama Bundamu satu kamar, nanti kamu punya adek. Kamu sudah siap belum kalo punya adek?"
Leander dan Gavriel menoleh untuk menatap wajah Elang yang tak tampak bersalah sama sekali setelah mengatakan hal itu. Andai tidak ada Leander bersama mereka, Gavriel pastikan ia sudah memberikan salam olahraga untuk temannya ini.
"Aku belum mau punya adek. Soalnya aku belum siap punya saingan."
Elang mendekatkan kepalanya di dekat telinga Gavriel. Kini ia memilih untuk berbisik di telinga Gavriel sepelan mungkin. "Tuh, dengerin. Anak lo belum siap punya adek. Jangan khilaf dulu malam ini sama Gadis."
Sebelum Gavriel bisa bereaksi atas kata-kata yang Elang ucapkan, Elang sudah ngacir duluan keluar dari kamar Leander sambil membawa koper anak milik Leander. Tak ingin memperpanjang pembicaraan tidak bermutu ini, Gavriel memilih mengajak Leander turun ke bawah karena kini mereka harus segera bergegas menuju ke bandara. Setengah jam lagi pesawat Gadis akan mendarat di bandara Soekarno-Hatta.
***
Gadis menghela napas panjang setelah melihat jam tangan yang ada di tangan kirinya. Sudah hampir satu jam ia menunggu kedatangan Leander dan Gavriel tapi dua orang itu belum juga tampak batang hidungnya sampai saat ini. Gadis sudah mencoba menghubungi nomer telepon Gavriel sebanyak tiga kali namun tak kunjung diangat juga. Daripada rasa kesal yang hinggap di dalam dirinya, Gadis merasa bahwa perasaan khawatirnya jauh lebih besar. Ia takut terjadi apa-apa pada Gavriel dan Leander di jalan. Sambil menatap layar smartphone miliknya, Gadis hanya bisa berdoa di dalam hati jika Gavriel dan Leander baik-baik saja saat ini.
"BUNDA...." Suara teriakan dari arah belakang tubuhnya membuat Gadis menoleh ke arah belakang. Tampak sosok Leander yang sedang berlarian ke arahnya. Bocah itu tampak bahagia dan senang melihatnya.
Hanya dengan melihat sosok Leander yang berlari ke arahnya, Gadis segera berdiri. Siapa sangka jika ia juga langsung berlutut untuk menyambut anak laki-laki itu. Senyum bahagia tampak menghiasi wajah Gadis kala Leander merangkul lehernya dengan kedua tangan mungilnya.
Gadis mencoba menghirup aroma tubuh Leander yang bercampur dengan aroma parfum bayi itu. Perpaduan wangi lembut bayi yang menyapa indra penciumannya kali ini. Gadis merasa beban berat yang menindih hatinya hampir dua minggu ini musnah sudah hanya dengan pelukan dari Leander. Saat Leander mengurai pelukannya, Gadis merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Benar juga kata orang jika pelukan bisa meredakan stress, tapi tidak mungkin juga ia akan memeluk Leander semalaman.
"Maaf ya, Bun kalo aku sama Ayah telat datangnya."
"Hmm... enggak pa-pa. Yang penting kalian baik-baik aja sampai sini," kata Gadis ramah sambil membelai rambut Leander.
Kini Gadis segera kembali berdiri kala melihat Gavriel sudah berdiri di dekatnya. Ia tatap laki- laki yang sejak semingguan ini intens menghubunginya setiap malam setelah pulang dari kantor. Siapa sangka jika Gavriel bisa terlihat baik-baik saja setelah masalah penggelapan uang nasabah yang dilakukan teller di kantor terjadi beberapa hari lalu. Jika Alena tidak menceritakan kepadanya, mungkin saja Gadis tidak akan tahu. Sayangnya untuk bertanya langsung kepada Gavriel dirinya tidak sampai hati. Toh ia tidak memiliki kapasitas untuk bertanya lebih jauh apalagi jika itu menyangkut urusan kantor.
Saat Gavriel mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, meskipun sedikit canggung, Gadis mencoba menerima jabat tangan itu. Selesai berjabat tangan, Gavriel langsung menarik koper cabin size milik Gadis.
"Sorry, Dis kita telat sampai sini."
"Enggak pa-pa, Gav. Santai aja."
Gavriel sedikit heran kenapa Gadis bisa sesantai ini dan bahkan tidak terlihat kesal apalagi marah karena ia telat sampai di bandara. Jika mengingat bagaimana tabiat Gadis dulu dan diandingkan dengan saat ini sungguh sangat bertolak belakang. Bahkan sepanjang jalan tol yang macet karena tabrakan beruntun yang terjadi tadi antara truk dengan beberapa mobil pribadi, Gavriel sudah menyiapkan penjelasan yang mungkin bisa meredam amarah Gadis. Tapi sepertinya semua usahanya itu sia-sia kala Gadis sama sekali tidak terlihat marah apalagi ingin tahu tentang alasannya sampai datang terlambat di sini. Bukannya bersyukur dengan yang terjadi saat ini, Gavriel justru merasa was-was. Bukankah perempuan yang tiba-tiba menjadi pendiam, tidak cerewet bahkan terkesan dingin justru salah satu tanda jika ia sudah merasa lelah dan tidak peduli lagi? Jangan, jangan sampai hal itu terjadi. Dirinya baru saja mulai berjuang untuk meluluh lantakkan hati Gadis, masa kini harus menyerah begitu saja. Gavriel tidak mau hal itu sampai terjadi.
Kini saat mereka sama-sama berjalan menuju ke arah parkiran mobil, Gavriel mencoba menanyakan kenapa Gadis lebih banyak diam daripada saat mereka berdua bertelepon saat malam hari? Situasinya saat ini seakan mereka baru pertama kali bertemu sehingga rasa canggung pun hinggap diantara mereka. Ah, sungguh tidak cocok sekali rasa canggung diantara mereka ini karena selama ini baik Gadis maupun Gavriel sudah sama-sama hafal sifat baik maupun buruk masing-masing.
"Dis?" Panggil Gavriel pelan yang membuat Gadis menoleh sekilas.
"Ya?"
"Kenapa kamu enggak tanya alasan aku sampai terlambat jemput kamu malam ini?"
Mendengar pertanyaan Gavriel ini, Gadis langsung menghentikan langkah kakinya. Ia langsung menghadap ke arah Gavriel yang terlihat sedikit cemas. Mungkin saja Gavriel tak tahu jika sejak ia menikah dengan Pradipta, ia banyak belajar tentang memaklumi bahkan memaafkan. Gadis juga belajar tidak menjadikan kesalahan-kesalahan kecil menjadi sebuah masalah dalam hubungan. Karena sejatinya semakin dewasa seseorang, orang itu akan memahami bahwa tidak seharusnya terlalu kepo dengan urusan pasangan jika pasangan kita tidak menceritakannya sendiri. Hal ini sejatinya bertujuan untuk membuat hati kita tenang dan tidak over thingking.
Wait, wait, wait... pemahaman apa yang baru saja terlintas di dalam kepalanya? Sepertinya malam ini otak Gadis sudah konslet karena telah berpikir terlalu jauh. Tidak, tidak... ia harus fokus pada apa yang ada saat ini. Dirinya tak boleh terbuai rayuan atau apapun itu yang meluncur dari bibir Gavriel karena hakim belum mengetuk palu bahwa dirinya dan Pradipta sudah resmi bercerai. Menurut Angela sidang putusan perceraiannya akan di lakukan minggu depan.
"Karena bagi aku, kamu sama Lean sampai di sini dalam keadaan baik-baik aja itu sudah lebih dari cukup. Aku enggak peduli sama lainnya"
"Ka... kamu enggak mau tahu alasannya?" Tanya Gavriel karena ia masih terkejut dengan jawaban Gadis yang diluar prediksinya ini.
Gadis tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Enggak, Gav. Kalo kamu memang berniat memberitahu alasan kenapa sampai kamu terlambat, aku sangat berterimakasih. Jika tidak pun aku tetap tidak akan mempermasalahkannya. Aku bersyukur karena kalian berdua baik-baik saja sampai di tempat ini tanpa kurang satu apapun."
Satu detik...
Dua detik...
Tiga detik...
Gavriel hanya bisa diam dengan mulut sedikit terbuka. Gadis yang melihat seorang Gavriel sampai kehabisan kata-kata seperti ini justru tertawa. Bertahun-tahun dirinya mengenal Gavriel, baru kali ini Gadis melihat Gavriel seakan mematung dan tak bisa berbicara apapun. Melihat Gavriel yang seperti ini, Gadis mencoba mengajak Gavriel untuk kembali berjalan.
Bagai kerbau yang dicolok hidungnya, Gavriel hanya menuruti apa yang Gadis minta kepadanya. Namun di dalam kepalanya, Gavriel sudah menuliskan sebuah catatan penting yang tidak boleh ia lupakan. Mulai saat ini dirinya yang harus lebih aktif menginformasikan tentang hal-hal yang membuatnya datang terlambat meskipun Gadis tidak bertanya alasannya.
***