"Cukup atlet anggar sama reporter aja yang enggak bisa bersatu, lo sama Gavriel harus bersatu." Komentar Alena saat Gadis selesai menceritakan apa yang terjadi pada dirinya dan Gavriel.
"Ck... Lo tahu 'kan, Len kalo status gue masih abu-abu saat ini."
Alena memutar kedua bola matanya dengan malas. Ia lalu mengulurkan handphone miliknya. Ia biarkan Gadis melihat hasil rekaman video yang ia ambil. Gadis hanya bisa diam dengan mulut sedikit terbuka.
"Lo lihat sendiri 'kan kalo laki lo aja bisa begini. Ngapain lo harus tolak-tolak Gavriel sedemikian kuat? Asal lo tahu aja ya, Dis banyak lho cewek-cewek di kantor yang masih single itu berharap Gavriel ngelirik mereka. Tapi buat karyawan lama kaya gue ini pasti tahu, bahwa satu-satunya perempuan yang sering dia goda dan buat dia ceria kalo di kantor cuma lo doang."
"Memangnya dia selalu murung di kantor?"
"Bukan murung, lebih tapatnya serius. Yakin gue kalo lo mau sama boss gue itu, hidup lo bakal aman dan nyaman. Lo tahu sendiri dia perhatiannya kaya apa ke lo. Gue aja iri. Kok bisa ya lo punya secret admirer modelan Gavriel gitu? Padahal lo dulu itu di kantor B aja. Yang lebih cantik dan muda daripada lo juga banyak."
"Tapi enggak ada yang seambisius gue dalam mengejar karier dulu."
"Mungkin itu kali ya yang buat Gavriel tertarik sama lo. Jiwa bersaing dia juga enggak main-main kalo sama lo."
"Ah, udahlah enggak usah dibahas, Len. Pokoknya lo harus siap kapanpun gue kasih tahu jadwal sidang gue."
"Yang penting akomodasi lo kasih semua."
"Gampang itu. Nanti lo gue kasih free tiket masuk ke Solo Safari."
"For what?"
"Biar lo bisa meet up sama saudara jauh lo."
Reflek, Alena mengambil sebuah bantal yang ada dipangkuannya dan ia layangkan ke arah tubuh Gadis. Ia memukuli Gadis dengan bantal itu yang membuat Gadis harus meminta maaf berkali-kali agar Alena berhenti memukulinya.
***
Siang hari ini ini Gadis telah sampai kembali di Solo. Ia tatap pintu utama rumah kedua orangtuanya yang terbuat dari jati tua ini. Tak ingin membuat orangtuanya merasa sedih atas apa yang terjadi di hidupnya, Gadis mencoba tersenyum. Begitu ia yakin bahwa dirinya akan baik-baik saja dan mampu menghadapi semuanya, Gadis melangkahkan kakinya.
Begitu ia memencet bel, tidak lama kemudian asisten rumah tangga membukakan pintunya.
"Mbak Gadis? Mau pulang kok enggak ngabarin dulu?"
"Enggak usah, takut ngerepotin orang rumah. Hmm... Mama sama Papa di mana, Mbak?"
"Dibelakang, Mbak. Habis video call sama Mas Banyu tadi."
"Oh, okay. Thanks."
Gadis segera menuju ke halaman belakang rumah yang menjadi tempat favorit bagi kedua orangtuanya. Ia segera menyapa dan memberi salam. Baru setelah dirinya duduk di kursi yang ada di dekat sang Papa, Mamanya mulai memberikan informasi.
"Dis?"
"Ya, Ma?"
"Kemarin ada orang dari pengadilan agama ke sini."
"Ngapain, Ma?"
"Antar surat pemberitahuan rencana sidang pertama kamu sama Dipta. Tapi karena surat itu yang menerima harus kamu sendiri dan tidak boleh diwakilkan, jadi ya dia bawa lagi itu suratnya."
"Biarin aja, Ma. Lagian aku enggak mau datang di sidang pertama. Buang-buang waktu aja. Soalnya kata bu Angela sidang pertama itu mediasi."
"Logis juga pikiran kamu, Dis," Komentar Sudibyo yang mulai ikut ke dalam pembicaraan ini.
"Harus, Pa. Kata bu Angela kemungkinan sidang keduanya itu satu minggu setelah sidang pertama ini berlangsung."
Aryanti dan Sudibyo menganggukkan kepalanya. Mereka tidak banyak bertanya kepada Gadis karena Banyu sudah memberikan banyak informasi kepada mereka di mulai dari kejadian Gadis bertemu Pradipta hingga Rachel yang menjual perhiasan milik Gadis di sebuah toko perhiasan.
***
Siang ini seorang petugas juru sita dari pengadilan agama datang ke rumahnya untuk mengantarkan surat sidang kedua. Semua ini dilakukan karena Gadis tidak datang di sidang pertama. Dari informasi petugas ini, Gadis diminta menyiapkan saksi. Tidak lama Gadis berbicara dengan petugas itu, sang petugas memilih pamit.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Gadis mencoba memberikan informasi ini kepada Alena.
Gadis : Woi, budak corporate... Ajuin cuti buat hari Kamis besok. Sekalian kirim foto KTP lo.
Alena : buat apa KTP gue?
Gadis : buat ajuin pinjol.
Alena : Dis, kalo lo sudah ditahap kere hore, mending lo cari boss gue. Gue yakin kalo lo open BO juga dia bakalan mau booking.
Gadis : rugi lah, open BO cuma sekali doang dapat duitnya. Mending jadi ani-ani sekalian.
Alena : Boleh dicoba, nanti lo minta dibuatin bisnis. Minimal bisnis skincare yang lagi booming.
Gadis : udah, ah... Buruan lo kasih KTP lo. Mau buat data saksi perceraian ini. Sekalian punya Gavriel kalo lo punya.
Alena : punya gue aja. Punya si Boss lo minta sendiri.
Gadis : ok
Alena : *sending picture*
Setelah mendapatkan foto KTP Alena, Gadis segera memcari kontak Gavriel di handphonenya. Berbeda dengan saat ia menghubungi Alena yang bisa langsung sat set sat set, kali ini Gadis merasa jantungnya berdegup dengan kencang. Hampir dua minggu dirinya tak bertemu Gavriel bahkan ia mencoba mengabaikan pesan-pesan yang Gavriel kirimkan kepadanya selama ini, ujungnya ia sendiri yang tak bisa jauh dari laki-laki itu karena ia membutuhkan bantuannya.
Gadis menimbang-nimbang apakah harus saat ini ia menghubungi Gavriel, namun mengingat ini masih di jam kerja, Gadis memilih menundanya. Lebih baik ia biarkan Gavriel untuk fokus pada pekerjaannya dulu.
***
Gavriel menatap Aditya yang sedang mabuk berat di hadapannya kali ini. Setelah pengakuan mencengangkan yang Aditya lakukan, hanya Gavriel yang masih bisa duduk dengan tenang tanpa berniat memberikan salam olahraga pada laki-laki di hadapannya ini.
"Dit... Dit, gue kira lo paling lurus, ternyata lo justru paling asshole daripada kita bertiga," Kata Gavriel sambil mulai membuka camilan kacang bawang yang ada di meja.
Bukannya menanggapi hinaan Gavriel ini, Aditya justru menangis tersedu-sedu. Kelakuan Aditya ini sukses membuat Gavriel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hampir setengah jam menunggu Aditya, hingga akhirnya Aditya selesai dengan tangisannya itu.
"Kalo gue bisa, gue ingin memutar waktu buat kembali ke masa gue pacaran sama Hana."
Gavriel hanya bisa tersenyum sinis. Bagaimana seorang Aditya bisa berubah menjadi orang yang tidak logis seperti ini hanya karena cinta?
"Realistis aja, Dit. Yang sudah terjadi tidak bisa diulang kembali."
"Gampang aja lo ngomong, secara Gadis sudah ditangan."
Gavriel tertawa mendengar hal ini. Pahit betul hidupnya karena kenyataannya Gadis mengabaikannya. Jangankan membalas pesan, membacanya saja tidak. Entah kenapa Gadis selalu seperti ini kepadanya, namun setiap kali Gavriel ingin marah, ia mencoba memahami sikap yang diambil oleh Gadis.
Gadis masih menjalani sidang perceraian. Hakim belum mengetok palu jika hubungan Gadis dan suaminya sah berakhir. Mungkin alasan ini yang membuat Gadis memilih fokus pada penyelesaian masalahnya terlebih dahulu daripada menanggapi pengakuan cintanya. Lagipula rasa sakit dan trauma atas apa yang dialami Gadis sedikit banyak membuat Gavriel yakin jika Gadis akan mempertimbangkan semua ini ribuan kali sebelum mengambil keputusan yang tepat.
Di tengah ia sibuk memikirkan sikap Gadis ini, sebuah panggilan masuk ke handphone Gavriel. Ternyata Gadis meneleponnya. Tumben sekali perempuan ini menghubunginya setelah mengabaikannya selama dua minggu. Dengan rasa kesal yang ia rasakan, namun Gavriel tetap mencoba menutupinya sebaik mungkin meskipun ia tidak yakin bisa. Karena ia benar-benar gemas pada perempuan ini.
"Hallo, Dis?"
"Hallo, Gav."
"Tumben ingat hubungi aku."
"Maaf kalo aku mengabaikan pesan dari kamu selama ini. Aku harus melakukan itu untuk fokus pada penyelesaian masalah perceraian."
"Okay, berarti kemungkinan besar kamu hubungi aku lagi karena masalah ini?"
"Iya, Gav. Aku mau minta tolong sama kamu untuk datang sebagai saksi sidang perceraian aku dan Dipta di hari Kamis."
"Jam berapa?"
"Kalo bisa jam delapan pagi kita sudah ada di sana. Takutnya antri banyak."
"Okay. Ada lagi yang mau kamu bicarakan?"
"Hmm... Aku... Aku...."
"Kamu kenapa?"
"Mau minta foto KTP."
"Untuk apa?"
"Isi data diri di form saksi perceraian dari pengadilan agama."
Gavriel menghela napas panjang. Ia memang mencintai Gadis, tapi ia tidak bisa asal memberikan kartu identitasnya mengingat kartu itu sangat sakti untuk mengajukan apapun di era ini. Mininal mengajukan sewa kendaraan dan pinjol.
"Dis, besok aku kasih fotocopyan sebelum sidang dimulai."
"Tapi, Gav."
"Aku rasa sudah cukup jelas penjelasan aku ini. Masih adalagi yang perlu kamu bicarakan sama aku?"
"Gav, aku tahu kamu marah, cuma aku butuh identitas selain untuk isi form perceraian juga untuk booking tiket pesawat dan hotel."
"Enggak usah repot-repot. Kita bisa ketemu langsung di sana."
Gadis sedikit tekejut kala Gavriel justru langsung menutup sambungan teleponnya. Meskipun Gadis tahu bahwa ia telah salah karena memperlakukan Gavriel seperti itu, ia tidak bisa berbuat banyak saat ini. Ia baru bisa menerangkan kepada Gavriel kelak saat mereka bertemu. Jika selama dua minggu ini, Angela memintanya untuk msnjaga jarak hubungan dengan lawan jenis agar ia memiliki taring yang kuat untuk melawan Pradipta di pengadilan. Amit-amit, jika sampai Pradipta menyadap handphone miliknya, setidaknya ia tidak akan memiliki bukti jika Gadis juga menjalin hubungan atau minimal kedekatan dengan laki-laki lain di saat mereka belum sah bercerai.
***
Pukul empat pagi ini, Alena baru saja tiba di sebuah hotel berbintang empat yang ada di Solo. Karena permintaan Gavriel, Alena terpaksa meminta Gadis membatalkan tiket pesawat hingga hotel untuknya.
"Gue kira Gadis doang yang gengsinya segede gaban, tahunya lo juga."
"Apaan sih, Len," Ucap Gavriel sambil mulai berjalan menuju ke arah lift.
"Apaan-apaan. Sadar enggak sih, Gav? Kita ini sebenarnya tinggal duduk manis di pesawat, turun di Adisumarmo sudah dijemput alphard terus ke hotel."
"Gue enggak mau ngerepotin Gadis."
"Mau enggak mau, wong kita cuti hari ini juga karena bantuin dia."
"Lo ikhlas enggak bantuin temen lo?"
"Ikhlas, cuma gue masih setengah hati aja diajak lo nyetir dari Jakarta sampai solo."
Gavriel memilih diam. Toh dari 7 jam yang mereka habiskan dijalan, Alena hanya menggantikannya menyetir selama dua jam saja.
Kini saat mereka sudah berada di lantai empat, Alena dan Gavriel memilih memasuki kamar mereka masing-masing sebelum pukul setengah delapan nanti mereka bertemu lagi di lobby hotel.
***