Setelah memacu kecepatan mobil dengan gila-gilaan, akhirnya Gadis berhasil memarkirkan mobilnya di parkiran basemen apartemen. Ia menghela napas panjang setelah berhasil lepas dari cengkeraman Pradipta. Seharusnya dirinya menyetujui usul dari Gavriel untuk menunggu sampai hari Sabtu. Sayangnya ia memang membutuhkan berkas ini secepatnya. Belum lagi dirinya yang masih harus berupaya untuk mengambil beberapa barang berharga yang masih tertinggal di brangkas rumahnya. Entah kenapa Gadis tidak rela jika beberapa perhiasan miliknya akan jatuh ke tangan Pradipta. Hanya saja jika memasuki rumah itu seorang diri, sama saja ia bunuh diri karena dirinya tidak memiliki orang yang bisa melindunginya. Meminta perlindungan kepada pihak yang berwajib justru akan membuatnya terbuat konyol. Belum tentu juga saat ia sampai di sana, perhiasan miliknya masih utuh. Siapa tahu saja Pradipta sudah mengambilnya lalu menjualnya. Sekitar lima menit kemudian, Gadis baru keluar dari mobil dan segera berjalan menuju ke arah lift. Sepertinya hari ini sudah lebih dari cukup baginya untuk pergi ke luar tanpa adanya penjagaan.
Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Aditya baru saja menerima telepon dari salah satu anak buahnya yang ia utus untuk mengikuti Gadis ke Bontang sesuai permintaan Gavriel. Ia tak menyangka jika apa yang Gavriel takutkan benar-bebar terjadi. Selesai menerima telepon, ia kembali ke ruang keluarga rumah Elang, tempat malam ini mereka berkumpul.
"Siapa yang telepon, Dit?" Tanya Elang sambil matanya masih fokus pada layar televisi. Ia dan Wilson masih sibuk bermain game di PS 5.
"Joni. Dia bilang si Gadis hampir dibawa Dipta kabur."
Seketika Elang dan Wilson menghentikan permainan game yang sedang mereka mainkan. Mereka langsung menoleh ke arah Aditya yang dari tampangnya terlihat serius dengan kata-katanya.
"Harus kasih tahu Gavriel sih ini."
"Nanti aja kalo dia sampai di sini, kita kasih tahu."
"Sekarang aja lah. Gue paling enggak bisa sabar masalah beginian," Ucap Elang yang membuat Wilson menoyor kepalanya.
"Dia lagi nyetir, pe'ak."
Setelah itu Aditya memilih meninggalkan kedua temannya ini dan menunggu Gavriel di ruang tamu. Tidak sampai lima belas menit, akhirnya sosok Gavriel datang sambil membawa martabak manis pesanan Elang.
"Sendirian aja lo, Dit. Yang lain pada ke mana?"
"Di dalam. Ayo kita ke sana aja." Ajak Aditya kepada Gavriel. Ia rasa lebih baik memberitahu Gavriel sebaiknya setelah Gavriel duduk dan minum terlebih dahulu.
Begitu melihat Gavriel dan Aditya datang ke ruang keluarga, Wilson hampir saja menyuarakan apa yang tadi Aditya katakan kepadanya. Sayangnya tatapan dari Aditya kepadanya telah membuatnya langsung menutup mulutnya rapat-rapat.
"Nih, pesenan lo," Kata Gavriel sambil menaruh martabak manis pesanan Elang di meja.
"Thanks, Bro."
Kini saat Gavriel mulai duduk di sofa, teman-temannya mulai duduk di sekitarnya yang membuatnya cukup heran.
"Lo bertiga pada mau ngajakin ghibah apaan?"
"Ck... Adit aja deh yang cerita," Kata Elang sambil membuka dus martabak manis lalu mencomot satu iris.
Gavriel langsung menatap Aditya, namun Adit justru mngambil sebuah kaleng minunan soda yang ada di meja lalu membukanya. Setelah minuman itu terbuka, Aditya memberikannya ke Gavriel.
"Minum dulu."
Bagai kerbau yang dicolok hidungnya, Gavriel menuruti perintah Aditya. Beberapa teguk ia minum lalu ia menaruh botol itu di atas meja kaca.
"Udah. Buruan cerita, ada apa?"
"Okay, gue akan cerita sekarang."
Gavriel anggukan kepalanya dan Aditya mulai melantunkan informasi yang ia peroleh dari anak buahnya.
"Si Joni tadi telepon, katanya Pradipta hampir bawa kabur Gadis."
Wajah shock yang ditampilkan oleh Gavriel membuat Adit menghentikan penjelasannya sebentar dan menganggukkan kepalanya. Seakan sudah mengkonfirmasi bahwa apa yang ia katakan ini benar, Aditya segera meneruskan penjelasannya.
"Sebenarnya setelah mengambil copyan hasil visum itu, Gadis langsung balik ke apartemen, cuma dia keluar lagi nyari camilan sama makan malam. Waktu keluar dari minimarket, Joni bilang ada mobil yang mengikuti Gadis. Untung aja posisi mobil si Joni ada di belakang mobil itu. Awalnya dia enggak curiga, tetapi waktu mobil itu memotong jalan Gadis secara tiba-tiba akhirnya Joni tahu kalo itu Dipta."
"Terus gimana keadaan Gadis?" Tanya Gavriel tanpa bisa menunggu lebih lama lagi.
"Sempat diseret untuk masuk ke mobil Dipta, tapi Joni sama Budi berhasil gagalin semua itu."
Mendengar semua itu helaan napas lega Gavriel membuat teman-tsmannya justru menggelengkan kepalanya.
"Apa Gadis terluka?"
Mendengar pertanyaan Gavriel yang seakan menuntut informasi lebih jauh lagi, Adit hanya menggelengkan kepalanya.
"Joni sama Budi enggak bisa memastikan hal itu karena Gadis langsung masuk ke mobil dan tancap gas ninggalin lokasi."
Wajah khawatir yang ditampilkan oleh Gavriel membuat Aditya mengeluarkan ipad miliknya. Beberapa saat tidak ada yang melanjutkan pembicaraan itu. Aditya sibuk dengan ipadnya, Gavriel sibuk dengan handphone miliknya, sedangkan Elang dan Wilson sibuk mengunyah martabak manis yang dibelikan oleh Gavriel.
Gavriel menoleh ke arah kanannya untuk menatap Aditya.
"Ini CCTV apartemen gue di Bontang. Lo cek sendiri aja."
"Thanks," Ucap Gavriel dan kini ia sibuk melihat hasil rekaman CCTV.
Dari apa yang bisa ia lihat di ipad milik Aditya, ada rasa lega karena Gadis akhirnya bisa keluar dari cengkeraman Pradipta. Namun saat Gadis terlihat duduk di lantai dekat kulkas di dapur sambil menundukkan kepalanya, entah kenapa Gavriel kerasa cemas.
"Yakin lo enggak mau nyamperin Gadis ke Bontang?" Tanya Aditya yang sejak tadi juga mengintip rekaman CCTV itu.
Gavriel sibuk berpikir apa yang harus ia lakukan saat ini. Kenyataannya mengirimkan bodyguard untuk Gadis tidaklah cukup. Melihat apa yang terjadi di rekaman CCTV itu, Gavriel tahu bahwa Gadis sedang dalam keadaan sedikit kaget dan mungkin terguncang. Sayangnya, Gavriel juga harus realistis. Ia memiliki pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan begitu saja. Ia bukan Wilson, Elang apalagi Aditya yang bisa pergi ke mana saja dan kapan saja karena mereka adalah boss-nya. Ia hanyalah seorang budak corporate di sebuah bank swasta besar yang ada di negara ini. Apalagi ini sudah menjelang akhir bulan yang sering kali membuatnya harus lembur di kantor.
Elang yang melihat Gavriel diam saja segera membuka mulutnya saking gemasnya. "Lo mau maju sendiri, apa kita dorong rame-rame?"
"Dorong terlalu lembut buat Gavriel, Lang. Kita seret aja dia ke sana," Kata Wilson sambil mengelap kedua tangannya dengan tisu wajah. Lagipula sudah sejauh ini perjuangan Gavriel untuk membuktikan perasaannya pada Gadis, masa harus mundur teratur lagi.
"Gue enggak bisa nyamperin dia sekarang. Gue ada kerjaan yang enggak bisa ditinggal begitu saja."
"Kalo lo dipecat, lo bisa kok kerja di tempat gue. Gue rasa bagian keuangan siap sedia menerima karyawan yang sudah berpengalaman seperti lo ini," Kata Aditya dengan santainya sambil mulai menyandarkan punggungnya di sandran sofa panjang yang didudukinya.
Gavriel yang paling tidak suka budaya KKN terlebih yang melalui jalur orang dalam langsung menggelengkan kepalanya. Baginya andai ia sampai resign dari tempat kerjanya, maka ia memilih membesarkan usahanya. Tapi sepanjang otaknya masih kuat untuk berpikir dan usahanya masih bisa berjalan tanpa harus ia 24 jam full mengawasinya, Gavriel tidak akan resign. Terlebih gaji yang ia dapatkan sudah tergolong lebih dari cukup. Kini gajinya sama sekali tidak ia sentuh dan hanya ia gunakan untuk berinvestasi di pasar bursa. Semua cicilan serta biaya hidupnya kini sudah tercover dari usaha onlinenya.
"Gue paling enggak suka kalo pakai jalur orang dalam, Dit."
"Seketika gue insecure," Kata Elang sambil mengambil sekaleng soft drink di atas meja dan membukanya.
"Kenapa? Tumben lo bisa insecure. Biasanya juga paling percaya diri."
"Soalnya gue merasa semua yang gue dapat saat ini itu sebagian besar masih dari warisan dan hibah. Mau gue berkoar-koar kalo usaha karaoke itu gue rintis sendiri tetap aja pada ujungnya modal dari keluarga ikut ambil bagian."
Gavriel tersenyum tipis mendengar perkataan Elang.
"Karena gue ini bukan pewaris tapi perintis, tapi satu hal yang gue sadari saat ini."
"Sadar apaan lo, Gav?"
"Kalo lo ingin bebas dan tidak ada tuntutan dari pihak manapun, jangan menerima investor di usaha lo. Di mana-mana semakin banyak orang menitipkan uangnya ke lo, maka semakin banyak aturan dan tuntutan yang harus lo penuhi."
Ketiga teman Gavriel memilih diam dan menyadari jika apa yang dikatakan temannya ini memang benar adanya. Karena bagi Elang, Wilson terlebih Aditya, mereka harus selalu mendengar dan mempertimbangkan perkataan dari para investor serta pemegang saham di bisnis mereka. Berbeda dengan Gavriel yang di usahanya dia sendiri adalah boss dan bisa mengatur seenak jidatnya tanpa harus pusing memikirkan laporan keuangan yang harus ia persentasikan serta pertanggungjawabkan di setiap rapat.
***