Tok....
Tok....
Tok....
Ketukan di pintu utama rumahnya membuat Alena keluar dari kamarnya. Ia segera berjalan ke depan. Sebenarnya dirinya cukup heran saat melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam tetapi ada tamu yang mengetuk pintu rumahnya. Sebelum membukanya, Alena mengintip dari jendela. Ia cukup terkejut kala melihat sosok Gadis sedang berdiri di teras rumahnya bersama sebuah koper. Segera saja Alena membukanya.
"Gadis? Kok lo malam-malam ada di sini?"
"Sorry, Len gue enggak hubungi lo dulu tadi. Malam ini gue boleh nginap di sini enggak?" Tanya Gadis yang membuat Alena cukup terkejut.
"Bo... boleh, Dis. Ayo, masuk."
Gadis tersenyum dan ia segera menggeret kopernya untuk masuk ke rumah Alena yang terlihat sepi. Selain sepi, keadaan rumah ini juga tidak terlalu rapi. Menyadari apa yang Gadis perhatikan, Alena justru tertawa kecil.
"Ya beginilah rumah wanita sibuk dan jomblo. Enggak serapi rumah lo."
"Bukan alasan kali, Len. dasarnya aja lo memang enggak bisa rapi dari dulu."
Kini Alena tersenyum dan ia memilih membalikkan tubuhnya lagi. Ia mempersilahkan Gadis untuk duduk di sofa yang ada di ruang keluarga. Setelah Gadis duduk, Alena juga mengikuti temannya itu dengan duduk di sampingnya.
Menyadari tatapan penuh rasa ingin tahu dari Alena, Gadis hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu apa yang Alena inginkan dari dirinya. Pasti tidak jauh dari cerita weekend yang ia habiskan bersama Gavriel di Lembang.
"Kenapa lo lihatin gue kaya begitu?" Tanya Gadis mencoba memancing Alena terlebih dahulu.
"Gimana acara liburan lo sama boss gue? Lancar enggak?"
Gadis mengernyitkan keningnya dan ia balik menatap Alena dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
"Kenapa lo kepo masalah liburan gue sama Gavriel?"
"Karena gue penasaran. Apakah kalian khilaf atau tetap bisa dijalan yang lurus begitu?"
Gadis memutar kedua bola matanya dengan malas.
"Gue ini wanita dewasa yang bisa mengontrol libido. Jadi...," Belum selesai Gadis berbicara, Alena sudah memotong perkataannya itu.
"Enggak menarik sama sekali. Gue kira lo bakalan jadi musuh dalam selimut sama boss gue, tahunya anyep."
Gadis tersenyum lalu menganggukkan kepalanya di hadapan Alena. Entah kenapa ia bersyukur dengan kehadiran Leander di antara dirinya dan Gavriel. Karena dengan adanya Leander, ia dan Gavriel tidak sampai saling menelanjangi satu sama lain dan bergulat di atas tempat tidur.
Alena yang sudah malas menggali informasi lebih jauh, kini memilih berjalan ke arah dapur dan mengambil minuman untuk Gadis. Gadis yang melihat Alena meninggalkan dirinya begitu saja di ruang keluarga hanya bisa menunggu temannya itu. Kini ia membuka handphonenya dan mendapati sebuah foto yang baru saja dikirimkan oleh Gavriel kepadanya. Sebuah foto yang memperlihatkan Leander sudah tertidur di sebuah kamar yang dekorasinya berkonsep dinosaurus. Sudah pasti ini adalah kamar Leander. Melihat banyaknya bantal dan guling yang mengelilingi Leander, entah kenapa Gadis ingin berada di sana dan memeluk bocah itu sampai pagi.
Alena yang baru saja kembali dari dapur sampai berhenti berjalan di belakang Gadis dan melihat apa yang sedang Gadis lihat hingga ia bisa senyam-senyum tidak jelas. Karena temannya ini masih tetap terus seperti ini, Alena akhirnya berdeham yang membuat Gadis terhenyak dan menutup handphonenya dengan cepat.
"Lagi lihatin foto siapa sih, Dis?" Tanya Alena yang membuat Gadis menoleh ke belakang.
"Foto anak gue."
Alena langsung mengernyitkan keningnya saat mendengar jawaban Gadis. Ia segera berjalan cepat ke depan lalu menaruh dua kotak jus di atas meja dan duduk di sebelah Gadis.
"Bukannya itu foto keponakan temannya Gavriel?"
"Iya. Namanya Leander. Dia minta gue jadi bundanya."
"Dan lo iyain permintaannya begitu aja?"
Gadis menganggukkan kepalanya. "Enggak ada alasan buat tolak permintaan Lean. Lagipula dua hari gue habisin waktu sama dia dan Gavriel, gue jadi tahu arti bahagia yang sesungguhnya itu seperti apa."
"Konsep bahagia setiap orang itu lain-lain, Dis. Bagi gue, bahagia itu cukup punya kerjaan yang hasilnya tetap, enggak pernah kekurangan duit, dan tentunya sehat."
Gadis memilih tidak menanggapi kata-kata Alena. Ia anggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan meskipun di dalam hatinya berkata lain. Ternyata arti kebahagiaan yang ia rasakan adalah bisa bersama dengan orang yang ia sayangi dan menyayanginya apa adanya. Karena liburannya bersama Gavriel dan Leander ini, Gadis baru sadar jika ia belum pernah menjalani rumah tangga dalam arti sesungguhnya saat bersama Pradipta. Memang benar Pradipta memberikan nafkah lahir secara rutin, namun nafkah batin jarang sekali Gadis dapatkan. Nafkah batin bukan hanya sekedar berbagi keringat di atas ranjang, tapi lebih dari itu yang Gadis butuhkan. Kehadiran Pradipta disaat suka maupun dukanya jarang sekali ada. Apalagi saat ia membutuhkan sosok untuk duduk di sampingnya sekedar mendengarkan keluh kesahnya. Berbagi cerita sederhana yang tentang kesibukan hariannya. Sesimpel dan sesederhana itu namun nyatanya Pradipta tak pernah bisa menjadi orang yang menjalani semua ini bersamanya sejak mereka menikah.
"Ya sudah, diminum jus jambunya. Habis itu kita tidur."
"Thanks, Len."
"Sama-sama."
"Oh, iya... Besok gue nebeng sampai bandara, ya?"
Permintaan Gadis membuat Alena berhenti menyesap jus jambunya.
"Itu bukan nebeng tapi anterin. Kantor gue 'kan enggak mengarah ke sana."
"Berangkat setengah enam pagi deh biar kita enggak telat."
"Itu juga mepet waktunya. Kita berangkat dari rumah jam lima biar gue enggak telat ngantor."
Mendengar persetujuan Alena, Gadis segera memeluk temannya itu dari arah samping sambil mengucapkan terimakasih berkali-kali.
***
Pukul enam pagi Gadis sudah berada di Bandara Soekarno Hatta untuk menunggu penerbangannya menuju ke Bontang pukul 08.35 WIB. Lebih baik baginya untuk menunggu di sini seorang diri sambil memikirkan langkah yang harus ia ambil saat tiba di Bontang. Semalam saat mengirimkan update kabar tentang Leander, Gavriel juga sudah mengirimkan nomer telepon orang yang bertugas menjaga apartemen milik Aditya. Bahkan Gadis dan orang bernama Anwar itu berjanji untuk bertemu di lobby apartemen.
Kini saat ia tengah sibuk menaklukan game cocoki level tiga yang tidak pernah berhasil ia tembus sampai saat ini, sebuah panggilan masuk ke handphone miliknya. Mau tidak mau Gadis segera mengangkatnya. Terlebih panggilan ini berasal dari Angela. Tentunya ada hal yang serius hingga Angela menelponnya sepagi ini meskipun jam kantor belum dimulai.
"Hallo," Sapa Gadis ramah.
"Hallo, selamat pagi ibu Gadis."
"Pagi, Bu Angela. Tumben pagi-pagi menelepon. Ada apa, Bu?"
"Begini, Bu. Kami baru saja mendapatkan informasi bahwa pengacara bapak Pradipta baru saja mendaftarkan perceraian pagi ini di pengadilan agama."
"So?"
"Saya tidak perlu mengurus kehilangan buku nikah milik ibu untuk mengajukan gugatan cerai. Saat ini kita hanya perlu menunggu perihal surat dari pengadilan Agama yang akan dikirim ke alamat rumah ibu."
"Apakah saya harus datang ke Pengadilan Agama setelah mendapatkan surat itu?"
"Proses pertama yang akan ibu Gadis dan suami lalui itu mediasi, Bu. Ibu bisa datang sendiri atau jika ibu berkenan, team kami bisa menemani ibu selama proses berlangsung."
"Tujuan mediasi ini untuk mendamaikan kami berdua 'kan, Bu?"
"Benar, Bu Gadis."
"Kalo begitu saya tidak usah datang karena saya tidak ingin berdamai apalagi rujuk dengan Mas Dipta. Tekad saya sudah bulat untuk bercerai dari dia."
"Baik kalo itu keputusan ibu Gadis. Selanjutnya saya meminta ibu Gadis untuk menyiapkan saksi minimal dua orang. Pastikan saksi ini benar-benar paham dengan kondisi rumah tangga yang ibu jalani selama ini bersama bapak Pradipta. Sebaiknya jangan semuanya dari pihak keluarga ya, Bu?"
"Baik, Bu Angela. Terimakasih informasinya."
"Sama-sama, Bu Gadis."
Setelah menyudahi panggilan teleponnya dengan Angela, Gadis mulai memikirkan siapa yang bisa ia jadikan saksi perceraiannya dengan Pradipta. Apalagi menurut Angela orang itu harus paham dengan kondisi rumah tangga yang ia jalani bersama dengan Pradipta selama ini. Bodoh sekali dirinya karena selalu memendam semua masalah rumah tangganya bersama Pradipta selama ini. Keinginannya untuk membuat keluarganya bahagia karena mengetahui pernikahannya berjalan dengan baik nyatanya menjadi boomerang bagi dirinya sendiri sekarang.
Kesibukan Gadis untuk memikirkan siapa calon saksi yang tepat ini berakhir kala panggilan tentang jadwal penerbangannya sudah mulai terdengar. Kini Gadis segera berdiri dan berjalan. Gadis tahu bahwa pertempurannya dengan Pradipta untuk menyudahi bahtera rumahtangga diantara mereka benar-benar sudah dimulai. Gadis pastikan ia tidak akan kehilangan haknya sedikitpun sebagai seorang istri. Kalo bisa bahkan ia akan membuat Pradipta tidak mendapatkan apapun setelah perceraian ini terjadi.
***