Mengingat dirinya malam ini harus puas untuk tidur di kursi, Gavriel segera menyingkir dan menuju ke arah ruang depan. Baru setengah perjalanan menuju ke ruang depan, Gavriel menghentikan langkah kakinya karna melihat pemandangan di depannya. Gavriel tahu bahwa kini tubuhnya sudah mengkhianati jiwanya. Bagaimana tidak, karena kini jiwanya menginginkan mengalihkan pemandangan dari sosok Gadis yang sedang membuka jaket jeans sedangkan matanya justru fokus pada semua itu. Kelakuannya benar-benar seperti laki-laki yang tidak pernah melihat perempuan seumur hidupnya saja.
Tak pernah Gavriel sangka jika wanita bisa terlihat sebegini seksinya saat melepas jaket. Melihat punggung Gadis yang tertutup rambut panjangnya, pinggangnya yang ramping dan bokongnya yang berisi membuat junior Gavriel bangun. Sebelum Gadis menyadari jika ia sudah menonton semua adegan itu tanpa ijin, Gavriel memilih melangkahkan kakinya menuju ke arah kamar mandi. Mau tidak mau ia harus berduet dengan sabun kembali malam ini, jika tidak pasti kepalanya akan pening.
"Gav, mau ke mana?"
Sial...
Kenapa Gadis harus memanggilnya di saat celana jeans yang ia kenakan terasa sempit dan tidak nyaman.
Mau tidak mau Gavriel menghentikan langkah kakinya. Tak ingin membuat Gadis shock dengan bagian bawah tubuhnya yang terlihat menonjol, Gavriel tidak membalikkan badannya.
"Kamar mandi, Dis."
"Oh, okay. Kamu duluan aja yang pakai."
Gavriel menganggukkan kepalanya dan secepat yang ia bisa, Gavriel segera memasuki kamar mandi. Sepeninggal Gavriel, Gadis memilih membuka tasnya dan mengeluarkan handphone miliknya yang sejak tadi ia silent. Sesuai dugaannya, suaminya sudah meneleponnya berulang kali. Bahkan puluhan chat masuk dari Pradipta yang satupun tak ingin Gadis baca. Gadis tak ingin merusak weekend yang cukup menyenangkan ini. Kehadiran Leander nyatanya bisa membuatnya melupakan semua prahara rumahtangganya. Ia mulai menggulir pesan-pesan yang masuk ke handphone miliknya hingga akhirnya pesan dari Banyu yang Gadis pilih untuk membacanya. Ia penasaran kenapa kakaknya itu memilih untuk mengirim pesan daripada meneleponnya.
Banyu : Dis, Senin pagi kamu langsung terbang ke Bontang, ya? Polisi butuh keterangan dari lebih lanjut dari kamu. Sekalian cek hasil visum.
Gadis menghela napas panjang. Ia harus ke Bontang lagi jika sendirian itu seperti masuk ke kandang macan saja. Gadis tidak tahu apa yang bisa dilakukan Pradipta kepadanya di sana. Tidak mungkin Pradipta akan diam saja diperlakukan tidak adil oleh dirinya terlebih lagi keluarganya. Gadis tahu jika suaminya itu cukup mencintai pekerjaannya karena dengan bekerja di perusahaan itu, Pradipta bisa membuktikan kepada keluarganya bahwa ia bisa berdiri di kakinya sendiri tanpa harus meneruskan usaha keluarganya di bidang mebel kayu yang diekspor ke luar negri.
Gadis tahu ini sudah malam dan jika ia menelepon Banyu, belum tentu akan diangkat. Karena itu ia mencoba membalas pesan dari Banyu ini.
Gadis : Sejujurnya aku sedikit takut, Mas kalo harus ke Bontang sendirian karena aku enggak tahu apa yang bisa dilakukan sama Mas Dipta di sana ke aku.
Setelah mengetikkan semua itu, Gadis langsung menyenggol tombol send. Baru juga Gadis menaruh handphone itu di meja, sebuah panggilan masuk ke sana. Gadis menghela napas panjang ketika melihat nama Pradipta di sana. Kenapa juga suaminya ini masih terus menghubungi dirinya di saat seperti ini. Penasaran dengan apa yang diinginkan oleh Pradipta, Gadis mengangkat telepon itu.
"Hallo, Mas."
"Akhirnya kamu angkat juga."
"Langsung to the point aja, Mas. Ada apa kamu telepon aku malam-malam begini?"
"Mama masuk RS, Dis. Papa sudah coba hubungi kamu tapi tidak kamu respon sama sekali."
"So?"
"Terlepas hubungan kita yang tidak bisa diperbaiki lagi, tolong kamu tetap peduli pada mereka. Mereka enggak berhak menerima kemarahan kamu karena mereka sayang sama kamu itu tulus."
Gadis tersenyum sinis mendengar perkataan Pradipta. Dari sini saja ia tahu bahwa Pradipta masih menutupi kondisi rumah tangganya dari keluarga. Memang laknat suaminya ini, pikir Gadis. Masih ingin terlihat baik di depan orang lain meskipun kelakuannya di depan istrinya sendiri lebih bisa membuat setan insecure.
"Mas, coba deh telepon Rachel. Ini momment yang pas buat dia masuk ke keluarga kamu. Jangan kamu ganggu aku lagi. Aku sudah bertekad untuk menggugat cerai kamu secepatnya."
Setelah mengatakan semua itu, Gadis segera menutup sambungan teleponnya dengan Pradipta. Lemas, itulah yang Gadis rasakan kali ini. Itu semua bukan karena ia lelah menjalani hari ini tetapi karena informasi dari Pradipta mengenai mama mertuanya.
Gavriel yang baru saja keluar dari kamar mandi dan tidak sengaja mendengar hal itu hanya bisa diam. Ia membayangkan bagaimana dilemanya Gadis saat ini. Di satu sisi Gadis ingin lepas dari suami dajjal-nya namun di sisi lain ada hubungan keluarga yang sulit terputus begitu saja.
Suara isakan tangis yang diam-dian terdengar membuat Gavriel menghela napas panjang. Kini ia memilih pergi ke dapur dan mengambilkan air putih untuk Gadis. Saat ia sampai di depan sofa televisi, Gavriel menaruh minuman itu di atas meja dan memilih untuk duduk di samping Gadis. Yang bisa ia lakukan adalah menunggu hingga Gadis selesai menumpahkan semua rasa kecewa, sedih dan marahnya dalam tangisannya. Hampir setengah jam Gavriel menunggu hingga akhirnya Gadis menoleh untuk menatapnya.
"Kenapa kamu malah di sini, Gav?"
Andai bisa menjawab jujur, tentu saja Gavriel akan mengatakan jika ia akan menemani Gadis melalui masa-masa sulit dan berat ini. Sayangnya ini bukanlah waktu yang tepat untuk memberikan semua jawaban itu. Jawaban teraman adalah mengatakan bahwa ia duduk di sini karena malam ini sofa panjang ini adalah tempat tidurnya.
Menyadari jika apa yang dikatakan Gavriel ada benarnya, Gadis memilih langsung berdiri. Baru juga Gadis akan melangkahkan kakinya menuju ke ranjang, Gavriel sudah mencekal pergelangan tangan kanannya.
"Ada apalagi, Gav?" Tanya Gadis sambil menoleh ke samping untuk melihat Gavriel yang ternyata sudah menatapnya lebih dulu.
"Kamu minum dulu airnya."
Bukannya langsung melakukan apa yang Gavriel minta, Gadis justru menatap Gavriel lekat-lekat. Ia amati wajah laki-laki ini dengan seksama hingga tanpa Gadis sadari air matanya kembali menetes.
"Kamu kenapa nangis lagi, Dis?"
Susah payah Gadis menahannya namun yang ada ia sudah tidak tahan lagi mendapatkan perlakukan seperti ini dari Gavriel.
"Why are you so sweet to me?" Tanya Gadis pelan dengan linangan air mata.
Mendengar pertanyaan Gadis ini, Gavriel memilih berdiri. Saat Gavriel berdiri di hadapannya, Gadis bisa merasakan embusan napas Gavriel yang beraroma mint segar.
Baru sekali ini Gadis merasa terintimidasi tanpa alasan yang jelas kala berdiri di hadapan Gavriel. Mungkin karena tinggi Gavriel yang menjulang untuk laki-laki yang biasa ia temui sehari-hari. Gadis yakin tingginya sekitar 185 centimeter karena ia yang tingginya 165 centimeter saja terlihat pendek di dekat lelaki itu.
Gavriel menundukkan kepalanya untuk melihat perempuan yang sudah menghiasi kepala serta hatinya selama lebih dari sewindu ini. Tidak ada pilihan lain kali ini selain jujur kepada Gadis. Lagipula ia sudah lelah menutupi semua ini. Terserah Gadis akan seperti apa nantinya yang penting sudah tidak ada lagi hal yang ia tutupi.
"Because I love you, Dis."
Deg'
Jantung Gadis seakan berhenti berdetak sepersekian detik kala mendengar perkataan pelan Gavriel ini.
"Gav?"
"Ya?"
"Ini salah, Gav. Jangan kamu lanjutkan semua ini. Kamu berhak dapat yang lebih baik dari aku."
Terlambat sudah permintaan Gadis ini untuk dilakukan. Toh, perasaan cintanya sudah terlanjur mendarah daging. Lagipula selama ini dirinya tidak pernah meminta Gadis membalas perasaan cintanya.
"Perasaan itu bukan sebuah pilihan dan tidak bisa dipaksakan. Dulu perasaan ini tidak salah, tapi setelah kamu menikah pun aku enggak bisa merubah semua ini. Tidak bertemu dan berkomunikasi dengan kamu nyatanya tidak membuat perasaan ini hilang begitu saja. Aku sudah coba membuka hati untuk perempuan lain, tapi kenyataannya tidak bisa merubah keadaan sama sekali. Setiap malam sebelum tidur aku sering memikirkan apakah kamu bahagia dengan kehidupan pernikahan kamu ini? Aku berharap kamu bahagia, tapi kalo sampai aku tahu Dipta nyia-nyiain kamu, aku sudah bertekad untuk mengakui semuanya dan memulai segalanya dari awal."
Gadis hanya bisa diam dengan mulut sedikit terbuka. Otaknya menjadi macet dan tidak bisa berpikir apapun. Sebenarnya apa yang terjadi selama ini? Apakah Gavriel benar-benar serius dengan ucapanya? Jika serius bagaimana bisa ini terjadi? Mereka tidak pernah akur sebagai seorang rekan kerja. Lagipula Gavriel itu terlalu Starbucks untuk dirinya yang spesifikasinya adalah kopi sachet seribuan. Oh, baiklah meskipun berasal dari latar belakang keluarga yang bagus, namun Gadis sadar jika dirinya sangat biasa saja. Tidak ada yang menonjol di dirinya selain kemampuan otaknya.
Melihat Gadis yang masih shock dan terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, Gavriel hanya bisa menghela napas panjang lalu tersenyum di hadapan Gadis. Ya, respon ini jauh lebih baik daripada ia ditampar dengan keras oleh Gadis.
"Aku enggak memaksa kamu untuk menerima perasaan aku. Setidaknya saat ini kamu tahu semuanya tanpa perlu lagi mempertanyakan perlakuanku ke kamu itu alasannya apa."
Setelah mengatakan itu, Gavriel memilih untuk berjalan meninggalkan Gadis menuju ke arah pintu keluar. Ia tahu bahwa dirinya tidak akan bisa mendengar sanggahan bahkan penolakan atas pengakuan yang baru saja ia dibuat ini. Karena mengakui semua ini benar-benar bukan hal yang mudah untuk dirinya. Terlebih mengingat track record hubungan mereka selama ini yang lebih mirip Tom and Jerry.
Melihat Gavriel yang baru saja melangkah meninggalkannya, Gadis menoleh untuk melihat laki-laki itu. Tidak pernah ia sangka bahwa Gavriel memiliki perasaan segila ini kepadanya. Perasaan yang terbayangkan di benak Gadis saja tidak pernah. Ia kita mereka dulu saling membenci. Ternyata rasa benci itu hanya dimiliki olehnya saja.
Meksipun Gavriel baru mengakui semua ini sekarang, tapi mengingat beberapa waktu belakangan ini yang mereka habiskan bersama, Gadis tahu bahwa laki-laki ini tulus kepadanya. Tanpa Gadis duga sebelumnya ia justru sudah melangkahkan kakinya dengan cepat dan saat Gavriel membuka pintu, kedua tangan Gadis sudah berhasil memeluk pinggang Gavriel dari arah belakang.
Gila...
Ini begitu gila bagi Gadis, tapi entah kenapa ia justru tidak bisa menahan dirinya untuk berlari ke arah Gavriel dan memeluknya dengan begitu erat.
Mendapatkan pelukan dari arah belakang seperti ini, cukup membuat Gavriel terkejut. Ia menundukkan kepalanya dan melihat tangan Gadis yang melingkari perutnya. Sambil melihat tangan Gadis yang memeluknya, pikiran Gavriel justru sudah berpikir jauh mengenai perasaannya pada Gadis. Sangat tidak mungkin perempuan ini membalas perasaannya secepat ini. Lagipula ia tidak mau jika hanya menjadi ban serep dan pelarian semata. Harga dirinya menolak diperlakukan seperti itu. Lebih baik cintanya bertepuk sebelah tangan daripada kehilangan harga diri sebagai seorang laki-laki. Wait, harga diri? sepertinya harga dirinya sudah terlanjur hanyut di Samudra Hindia karena telah mengakui perasaannya pada perempuan yang notabennya masih menjadi istri orang.
Rasa dingin di punggung dan isakan tangis yang terdengar dari arah belakang membuat Gavriel sadar bahwa Gadis sudah kembali menangis. Entah kenapa Gavriel merasa bersalah telah mengakui semua perasaannya pada waktu yang tidak tepat seperti ini. Seharusnya ia bisa menahan dirinya lebih baik lagi.
"Don't cry, Dis. Aku enggak meminta kamu untuk membalas perasaan aku. Jangan membebani hati kamu dengan pengakuan aku tadi."
Pelan-pelan Gadis menarik kepalanya dan kini ia mengurai pelukannya pada Gavriel. Bukannya membiarkan Gavriel keluar dari tempat ini, Gadis justru menarik tangan Gavriel yang membuat Gavriel membalikkan badannya untuk menghadapnya.
Begitu Gavriel sudah berada di hadapannya dengan ujung kaki mereka yang saling bersentuhan, Gadis melepaskan cekalan tangannya pada pergelangan tangan Gavriel. Sepertinya yang sudah melampaui batas malam ini bukan hanya Gavriel, namun juga Gadis karena kini ia sudah berjinjit lalu melesatkan bibirnya ke bibir Gavriel yang berwarna pink. Saat bibir Gadis menyentuh bibir Gavriel yang terasa lembab dan sedikit dingin, ia menutup kedua matanya. Beberapa saat ia merasakan sensasi itu, hingga pelan-pelan ia menarik bibirnya kembali bersamaan dengan kedua matanya yang terbuka.
Gadis cukup tekejut kala Gavriel justru langsung memeluk pinggangnya dengan begitu erat hingga tubuh bagian depan mereka kembali menempel. Kedua mata Gadis langsung membelalak lebar kala Gavriel sudah membalas ciumannya dengan begitu antusias hingga yang bisa Gadis lakukan hanyalah pasrah menerima semua pemberian itu.
***