Entah Gavriel harus bahagia atau iri dengan kebersamaan Leander dengan Gadis hari ini. Sepertinya ia benar-benar hanya dijadikan supir oleh Gadis serta Leander. Apalagi sejak mobilnya meninggalkan parkiran basemen hotel tempat Gadis menginap ini. Gavriel harus puas duduk sendirian di depan sedangkan Gadis dan Leander duduk di kursi penumpang belakang mobil.
"Kalo gue tahu cuma mau dijadiin supir lo berdua, mending gue minta bantuan supirnya Adit aja."
"Enggak usah banyak protes, Gav. Fokus aja sama jalan di depan," Ucap Gadis sambil menyuapi Leander dengan camilan yang sudah dibawakan oleh Elang.
"Ngantuk tahu, Dis."
"Nanti kalo ada rest area gantian sama gue nyetirnya."
Gavriel langsung tersenyum mendengar perkataan Gadis. Ia tahu jika Gadis cukup mahir menyetir mobil. Ia tidak peduli apa kata orang jika mengetahui seorang Gavriel Erlando membiarkan perempuan menyetir untuk dirinya. Sayangnya saat akan memasuki rest area dan menoleh ke arah belakang, Gavriel harus memghela napas panjang. Harapannya pupus karena Gadis sudah berkelana ke alam mimpi bersama Leander yang menjadikan paha Gadis sebagai bantal kepalanya. Dari apa yang bisa Gavriel lihat, Gadis dan Leander cukup pulas hingga ia tak tega membangunkannya.
Mau tidak mau Gavriel terus melajukan mobilnya. Hingga akhirnya ia sudah sampai di daerah Pasteur. Lelah, tentu saja tapi lebih dari itu ia merasakan lapar. Kini saat ia berhenti di lampu merah, Gavriel mencoba membangunkan Gadis.
"Dis... Bangun, Dis."
Gadis tetap tidak bangun yang membuat Gavriel menoleh ke arah belakang dan menepuk-nepuk lutut Gadis pelan hingga Gadis terbangun.
"Bangun, Dis."
"Hmm... Kita sudah sampai rest area?"
Gavriel tersenyum mendengar pertanyaan konyol ini. Bisa-bisanya Gadis tidur begitu lelap di saat perjalanan seperti ini.
"Sudah masuk Pasteur."
Mendengar jawaban Gavriel ini, Gadis langsung menarik punggungnya agar duduk tegak. Kedua matanya juga langsung terbuka lebar. Bagaimana bisa ia tidur selama ini saat perjalanan. Apalagi ia sudah berjanji pada Gavriel untuk menggantikannya menyetir.
"Hah? Kita sudah di Bandung."
"Iya. Gue lapar, mau makan. Lo mau makan apa?"
"Kalo gue makan apa aja bisa. Masalahnya enggak mungkin kalo ngajak Leander makan sembarangan."
"Makan di Ciwalk aja gimana, Dis?"
Mengingat sudah cukup lama ia tidak mengunjungi Ciwalk, Gadis memilih untuk menganggukkan kepalanya.
"Boleh. Bisa sekalian ajak Leander jalan-jalan di sana."
Saat Gavriel kembali fokus pada kemudi mobil, Gadis memilih membangunkan Leander. Ternyata mengasuh seorang anak bisa membuatnya melupakan apa yang terjadi pada dirinya belum lama ini. Sayangnya Gadis harus sadar jika dirinya belum tentu akan memiliki anak mengingat kondisi sel telurnya yang berukuran kecil sehingga sulit untuk dibuahi. Bahkan bulan ini saja ia tidak mengambil vitamin dan kontrol dengan dokter kandungannya.
Saat sudah berada di Ciwalk, ternyata mau tidak mau ia fokus mengasuh Leander yang memilih untuk berjalan-jalan daripada langsung menuju ke resto untuk makan siang.
"Le, Ayah sudah lapar. Kita makan dulu ya?" Ajak Gavriel sambil mengejar Leander yang berlari-lari kecil menyusuri mall dengan konsep yang sedikit berbeda dari mall yang biasa ditemui ini.
"Aku belum. Ayah makan sendiri aja."
"Kasian Tante Gadis belum makan."
"Bunda! bukan Tante Gadis, Yah!"
"Ya apalah itu namanya. Ayah capek habis nyetir dari Jakarta sampai Bandung. Kalian enak tidur sepanjang jalan."
Meksipun Gadis tidak tega melihat perdebatan Gavriel dengan Leander, namun ia tidak bisa berbuat banyak. Mengikuti Leander dengan berlari kecil dan kadang berjalan dengan cepat saja sudah membuatnya ngos-ngosan. Benar juga kata orang jika tidak rajin berolahraga meskipun usia masih belum tua, badan terasa jompo itu nyata adanya.
Kini Gadis memilih untuk berhenti mengikuti Leander dan Gavriel. Ia benar-benar tidak kuat mengikuti anak itu. Ia biarkan Gavriel melakukan tugas itu seorang diri.
Gavriel yang menyadari jika tidak ada suara Gadis akhirnya menoleh dan ia langsung menghentikan langkahnya karena sosok Gadis sudah tidak ada di belakangnya sama sekali.
"Le... Le, stop, Le. Bundamu hilang."
Seketika Leander menghentikan langkah kakinya. Ia langsung menoleh dan melihat ekspresi Gavriel yang sudah celingukan. Kehilangan Mommy dan Daddy membuat Leander takut kehilangan orang yang dekat dengannya. Segera ia berlari ke arah Gavriel hingga ia menubruk kaki kanan Gavriel.
"Yah, Bunda mana?"
"Hilang. Makanya kamu jangan lari-lari."
Entah apa yang salah dengan kata-katanya, namun kini Gavriel merasa bersalah bukan main. Apalagi melihat kedua mata Leander yang sudah memerah dan sebentar lagi tanggul air matanya pasti jebol.
Jangan sampai, jangan sampai Leander menangis di sini. Dengan dirinya yang tidak mirip dengan Leander saja orang sudah pasti tahu mereka tidak memiliki hubungan darah. Apalagi jika ditambah Leander menangis, bisa-bisa ia disangka sebagai penculik.
"Wait... wait... wait. Don't cry," Ucap Gavriel sambil menatap Leander dengan tatapan sedikit panik dan gugup.
"Bunda hilang, Yah," Rengek Leander yang membuat Gavriel menganggukkan kepalanya.
"Sebentar, kamu jangan nangis. Ayah akan coba telepon Bunda."
Mau tidak mau, Gavriel akhirnya menelepon Gadis yang untungnya diangkat pada deringan ketiga. Segera saja Gavriel bertanya di mana Gadis berada saat ini.
"Gue di depan restoran steak."
Mengingat Leander takut dengan pisau sejak kejadian naas itu, Gavriel mencoba mencari solusi cepat saat ini.
"Dis, lo cari restoran Jepang aja. Kita ketemuan di sana. Sekalian lo pesan makan buat gue sama Lean juga."
"Okay."
"Kabarin gue nanti lo di resto mana?"
"Iya, Gav. Iya."
Setelah itu Gadis langsung menutup sambungan teleponnya dengan Gavriel. Kini ia mulai berjalan mencari restoran yang menyajikan masakan Jepang sesuai permintaan Gavriel hingga akhirnya ia menemukan sebuah restoran masakan Jepang. Gadis segera masuk ke sana. Bodoamat jika Gavriel akan protes padanya karena ia memilih restoran ini yang sudah memiliki banyak cabang di mall-mall. Toh mereka membawa Leander, jadi makanan yang mereka makan sebaiknya juga yang bisa dengan mudah diterima oleh anak itu.
Setelah memasuki restoran, Gadis segera menelepon Gavriel dan menginformasikan di mana ia berada saat ini. Selesai itu Gadis memilih memesan makanan.
Saat Gavriel memasuki restoran bersama Leander, makanan sudah ada di meja. Mengingat dirinya benar-benar sudah lapar karena sejak pagi ia belum sarapan, akhirnya Gavriel memilih menyerahkan pengasuhan Leander pada Gadis.
"Dis, gue mau makan dulu. Tolong gantiin gue momong Lean sebentar," Ucap Gavriel tanpa basa-basi.
Baru saja Gavriel akan menuju ke arah tempat cuci tangan, suara Leander yang memanggilnya sudah membuatnya berhenti melangkahkan kaki.
"Apalagi, Le?" Kata Gavriel sambil membalikkan tubuhnya.
"Enggak boleh panggil Bunda begitu. Panggil yang benar!"
Gavriel mencoba menarik napas dalam-dalam dan pelan-pelan ia embuskan perlahan. Sumpah, semakin lama Leander tinggal bersama Elang, sifatnya lama-lama menjadi mirip karena sering menguji batas kesabaran dirinya sebagai seorang umat manusia. Gavriel jadi curiga apa yang sudah dijejalkan Elang ke otak anak balita ini.
Daripada terlalu lama, akhirnya Gavriel menuruti permintaan Leander. Dengan lidah yang terasa kaku, akhirnya Gavriel mengulangi perkataannya.
"Bun, tolong jagain Lean dulu sebentar."
Mendengar perkataan Gavriel ini, Leander tersenyum sambil memberikan dua jempol, sedangkan Gadis sudah mati kutu di tempat duduknya. Gadis bahkan yakin pipinya sudah semerah tomat karena malu.
Seumur-umur ia tidak pernah membayangkan akan dipanggil Bun atau Bunda apalagi panggilan itu keluar dari bibir Gavriel yang jelas bukan pasangan apalagi suaminya. Saking bingungnya harus bereaksi apa, Gadis hanya menjawab dengan anggukan kepala. Sontak saja hal ini membuat Leander protes.
"Kok cuma gitu sih, Bun? Bunda enggak mau jagain Lean, ya?" Tanya Leander sambil menatap Gadis dengan tatapan menyelidik. Siapa sangka jika ditatap anak ini saja, Gadis sudah segugup ini. Gadis mencoba biasa saja saat ini. Meksipun sulit, Gadis mencoba tersenyum pada Leander sambil mengusap rambut kepala bocah itu pelan dengan tangan kanannya.
"Iya, Gav. Gue jagain Lean."
"Ayah, Bun! Bukan Gav. Ayo, diulang."
"Iya-iya. Bunda ulang," Ucap Gadis cepat kepada Leander. Ia sedikit canggung jika harus melakukan apa yang Leander inginkan, namun wajah Gavriel yang benar-benar terlihat lelah dan lesu itu membuat Gadis sadar bahwa mereka tidak perlu baper saat mengubah nama panggilan telebih ini hanya untuk menyenangkan hati seorang anak balita yang harus menjadi yatim piatu sejak kecil ini.
"Iya, Yah. Ayah cuci tangan terus makan dulu. Biar Lean sama Bunda."
Aduh Gusti....
Kenapa tiba-tiba rasanya ada kupu-kupu yang berterbangan di dalam perut Gavriel hingga ia bisa melupakan rasa laparnya sepersekian detik.
Gadis yang melihat Gavriel diam saja akhirnya mencoba memanggilnya.
"Yah... Ayah! Buruan, Yah."
Gavriel menelan salivanya. Ia segera mengangguk dan pergi ke arah tempat cuci tangan berada. Beberapa saat berada di tempat itu, ia berpikir apakah apa yang ia lalui bersama Gadis ini benar-bensr nyata? Sejujurnya ia tak pernah mengira hubungannya dengan gadis justru tidak jelas juntrungannya seperti ini. Keberadaan Leander yang ia kira bisa menjadi penengah dan membuatnya tidak harus berinteraksi banyak dengan Gadis nyatanya gagal sudah. Keberadaan Leander justru membuat hidupnya di weekend ini seperti naik rollercoaster.
***