Pagi-pagi buta seperti ini memang jalanan Jakarta cukup ramah untuk dilewati karena tidak ada macet di mana-mana. Sepanjang perjalanan juga Gadis lebih banyak diam dan menatap jalanan dari jendela mobil.
"Lo diam aja kenapa, Dis?"
Mendengar suara Gavriel ini, Gadis memilih untuk menoleh ke arah Gavriel yang sedang sibuk pada kemudi mobil.
"Lagi mikir buat batalin reservasasi atau tetap gue ke sana."
"Memang lo mau ke mana?"
"Harusnya weekend ini gue sama Alena ke Lembang, tapi dia batalin dadakan tadi waktu gue di toilet."
"Kalo lo batalin, terus lo mau ke mana?"
"Enggak tahu. Gue punya misi habisin duit sebanyak-banyaknya sih ke Jakarta ini."
"Pantesan tipe kamar hotel lo yang termahal."
"Harus begitu, Gav. Lebih baik uangnya gue habisin daripada Rachel yang habisin semua."
"Ya sudah berangkat aja, nanti gue temani, tapi Minggu malam sudah balik lagi ya? Senin gue kerja."
Gadis cukup terkejut dengan tawaran dari Gavriel ini. Ia bahkan sampai menelan salivanya sebelum bisa menanggapi tawaran Gavriel.
"Cewek lo enggak akan marah lo pergi sama gue?"
"Boro-boro punya cewek. Hidup gue beberapa tahun ini cuma gue habisin buat kerja. Kalopun bisa hangout paling-paling sama 3 pendosa itu aja."
"Pendosa?" Gumam Gadis pelan yang membuat Gavriel berusaha menahan tawanya.
"Iya. Elang, Adit sama Wilson. Sama mereka aja ke mana-mana sampai pernah dikira kita semua maho."
"Setidaknya lo masih jauh lebih beruntung karena punya teman-teman buat berbagi meksipun tidak punya istri. Belum tentu yang punya pasangan hidupnya akan lebih indah daripada lo yang single."
"Sejatinya enggak punya pasangan itu bukan hal yang menakutkan, lebih menakutkan kalo enggak punya kerjaan sama duit."
Gadis tertawa mendengar perkataan jujur Gavriel ini. "Cukup realistis pemikiran lo, Gav."
Obrolan Gadis dan Gavriel terus berlanjut hingga akhirnya mobil yang dikemudikan Gavriel berhenti di depan lobby hotel tempat Gadis menginap. Tanpa membuang banyak waktu lagi, Gadis segera turun dan ia ucapkan terimakasih.
"Thanks, Gav. Nanti jam sepuluh pagi gue tunggu di lobby."
"Okay, gue duluan, Dis."
Gadis menganggukkan kepalanya dan kini ia tutup pintu mobil Gavriel. Baru saat mobil Gavriel sudah tidak tampak lagi, Gadis mulai memasuki lobby hotel. Sambil berjalan menuju ke arah meja resepsionis, Gadis mulai memikirkan apa yang sudah ia lakukan malam ini. Jika ia sakit hati dengan cara Pradipta yang berselingkuh di belakangnya, bukankah ia sama saja? Ia pergi bersama Gavriel malam ini meskipun tidak hanya berdua, ada Adit diantara mereka.
Gadis menggelengkan kepalanya. Tidak-tidak, ia tidak mau jika hanya berdua dengan Gavriel saja. Harus ada orang lain bersama mereka. Otak Gadis terus berpikir siapa yang bisa ia ajak kali ini untuk menginap di Lembang bersama Gavriel?
Sejenak Gadis melupakan semua yang ada di kepalanya dan mengambil kartu kunci di meja resepsionis. Begitu mendapatkannya, Gadis segera berjalan ke arah lift sambil mencari nomer telepon Alena di handphonenya. Begitu mendapatkannya, Gadis langsung menghubungi temannya itu.
Gadis kira Alena akan lama mengangkat teleponnya, ternyata tidak. Pada deringan kedua temannya itu sudah mengangkatnya meskipun suaranya terdengar seperti orang yang baru saja menangis.
"Lo ngapain malam-malam nangis begini?"
"Habis rewatch Alice Boy in Wonderland, Dis. Harusnya gue takut karena ini film horror, tapi yang ada gue malah nangis."
Sompret....
Gadis benar-benar ingin mengumpat ketika mendengar jawaban Alena ini. Ia tahu bahwa Alena adalah pecinta drama Korea dan drama Mandarin. Sampai-sampai temannya itu tidak pernah melewatkan kesempatan mengikuti fans meet para artis-artis yang berkunjung ke Jakarta.
Ting....
Pintu lift terbuka, Gadis segera masuk ke dalam lift. Baru setelah lift tertutup, Gadis menanggapi perkataan Alena.
"Duh, gue kagak tahu deh itu film apa. Yang gue tahu lo harus bantuin gue buat nyari orang yang bisa temani gue ke Lembang pagi ini."
"Gue sudah kirim Gavriel buat lo. Memangnya dia enggak mau bantuin?"
Satu detik...
Dua detik....
Tiga detik....
Gadis diam dengan mulut sedikit terbuka. Bahkan sampai pintu lift terbuka, Gadis memilih untuk keluar dari lift ini. Ia masih mencoba mencerna perkataan Alena ini. Kini ia tahu bahwa temannya ini sudah merencanakan semua ini tanpa berbicara lebih dulu dengannya.
"Oh, jadi lo sengaja batalin dadakan biar gue pergi sama Gavriel berdua begitu?"
"Ya kurang lebih begitu, tapi beneran gue besok ada acara sama keponakan gue."
"Len, lo pernah mikir enggak kalo kaya gini, gue itu enggak beda sama Mas Dipta. Bagaimanapun juga gue masih istrinya."
"Ngapain lo mikir sampai sejauh itu sih, Dis? Dia aja enggak pernah memikirkan hal itu ketika memutuskan liburan bareng Rachel. Lagipula nih ya, si Gavriel itu sudah cukup mapan dan tampangnya di atas rata-rata. Kalo kepepetnya lo sampai dikawinin sama dia, hidup lo juga enggak akan nelangsa."
Gadis mencoba menarik napas dalam-dalam dan pelan-pelan ia embuskan perlahan. Kini saat dirinya sampai di depan pintu, Gadis segera membukanya dan masuk ke dalam. Saat sudah berada di dalam kamar, Gadis segera melemparkan tasnya ke atas ranjang tempat tidur dan ia mulai duduk di pinggiran ranjang.
"Len, gue bukan mas Dipta! "
"Iya, lo Gadis Sekarwangi. Seorang perempuan yang sedang berusaha membuat suaminya kere mendadak sebelum perceraian."
"Sekarang lo bantuin gue mikir. Siapa yang bisa temani gue sama Gavriel ke Lembang. Gue enggak mau kalo kita cuma berdua aja. Harus ada orang lain."
Beberapa saat Alena terdiam hingga akhirnya ia menemukan sebuah ide.
"Ajak aja keponakannya Gavriel. Dia punya ponakan cewek kayanya."
"Lo gila aja kalo gue yang harus ngomong sama dia tentang masalah ini."
"Ya udah biar gue aja. Lo tinggal terima beresnya."
Tutt.... Tut... Tutt....
Gadis melihat ke layar handphone miliknya yang ternyata Alena sudah mengakhiri sambungan telepon di antara mereka berdua tanpa pamit sama sekali. Melihat kelakuan sahabatnya ini membuat Gadis menggelengkan kepalanya. Tak ingin menambah rasa gemas dan kesalnya kepada Alena, Gadis segera berdiri dan berjalan ke arah kamar mandi untuk berganti pakaian dan mencuci wajahnya.
Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Gavriel baru saja turun dari mobil ketika Alena meneleponnya. Sejak mereka pergi ke Bontang bersama-sama, Alena lebih sering menghubunginya di luar jam kerja. Padahal dulu mereka hanya berhubungan sebatas membicarakan masalah pekerjaan. Meskipun awalnya ingin ia abaikan, namun takut ada sesuatu yang serius, akhirnya Gavriel mengangkatnya.
"Hallo, Len."
"Hallo, Gav. Sorry gue ganggu lo malam-malam."
"Santai aja. Ada apa?"
"Si Gadis. Dia barusan telepon gue sambil ngomel-ngomel. Dia bilang enggak mau kalo cuma pergi berdua sama lo aja ke Lembang."
"So? Dia mau batalin?"
"No....No... No... Bukan itu."
"Terus?"
"Kalo lo ajak keponakan lo buat ikut sama kalian berdua liburan ke Lembang gimana? Soalnya gue beneran enggak bisa."
Gavriel diam dan mencoba mencari solusi terbaik atas permintaan Alena ini.
"Okay, gue akan ajak keponakan gue, tapi ada syaratnya."
Di ujung telepon, Alena langsung tersenyum lebar. "Apa syaratnya, Gav?"
"Gadis harus bantuin momong. Gue enggak mau repot sendirian."
"Beres kalo masalah itu. Serahkan sama gue."
Setelah Alena menyetujui usulannya, Gavriel segera menutup teleponnya. Kini mau tidak mau ia harus menghubungi Elang untuk meminta ijin membawa Leander ke Lembang selama weekend ini. Semoga saja Elang mengijinkannya karena ia tidak memiliki cukup waktu untuk terbang ke Bali hanya untuk membawa Moanna ke Jakarta.
***