Gavriel duduk di ruang kerjanya yang ada di lantai satu. Ia tinggalkan Gadis di kamarnya seorang diri. Pikirannya terus memikirkan sikap gila yang Gadis ambil malam ini. Sepanjang dirinya mengenal Gadis, Gavriel tahu bahwa Gadis adalah sosok wanita lugu yang tidak pernah aneh-aneh dalam menjalani kehidupannya sejak dulu. Itu terbukti dari perilaku Gadis dulu yang selalu menolak saat diajak ke club malam atau sekedar pergi berkaraoke bersama teman-teman sekantor. Ada saja alasan yang Gadis berikan hingga akhirnya mereka semua sudah tidak pernah mengajak Gadis lagi karena Gadis selalu menolak.
Berbeda dengan dirinya yang berdarah campuran dan hidup lebih bebas, Gavriel tahu bahwa Gadis sangat memegang teguh nilai-nilai ketimuran. Sikap Gadis malam ini telah membuat Gavriel yakin bahwa konflik rumah tangga yang Gadis alami begitu berat hingga ia harus meluapkan apa yang ia rasakan di club malam. Tidak ingin berlarut-larut memikirkan hal yang bukan dalam kapasitasnya untuk ikut campur, Gavriel memilih mencari contoh barang-barang dagangannya yang baru saja datang. Setelah mendapatkannya, ia berjalan ke ruangan yang dulu sering digunakan untuk jualan live. Lebih baik ia mencoba peruntungan pada pagi dini hari seperti ini karena ia benar-benar tidak bisa memejamkan matanya lagi setelah mendapatkan telepon dari Wilson. Lagipula siapa tahu ia bisa menambah penjualan produk-produk yang sudah ia stock di gudang.
Hampir dua jam lamanya Gavriel melakukan live. Seperti biasa, suaranya hampir habis kali ini dan untungnya sebanding dengan omset penjualan paginya hari ini. Selesai melakukan live, Gavriel menuju ke dapur untuk membuka kulkas. Ia cek apa yang bisa ia masak pagi ini. Sepertinya ia bisa membuat menu sarapan pagi berupa sop untuk dirinya dan Gadis. Entah Gadis akan cocok dengan masakan buatannya atau tidak, ia tidak peduli. Lagipula Gavriel yakin Gadis tidak akan bangun sebelum tengah hari nanti.
Tanpa banyak membuang-buang waktu, Gavriel segera memasak dengan berbagai bahan yang ia temukan di kulkas. Selesai memasak, dirinya memilih langsung sarapan baru kembali ke kamarnya yang ada di lantai dua. Jika biasanya ia mandi di kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, maka tidak pagi ini. Ia hanya mengambil baju kerjanya dan memilih untuk mandi di kamar mandi bawah.
Pukul 06.30 WIB, Gavriel sudah siap untuk pergi ke kantor, namun sebelum ia meninggalkan rumah, dirinya meninggalkan sebuah pesan untuk Gadis yang ia taruh di meja dekat tempat tidur.
Selesai melakukan itu, Gavriel memilih keluar dari kamar ini dan segera berangkat ke kantor mengingat kantor dan rumahnya cukup jauh jaraknya.
***
Gavriel keluar dari mobil dan segera menuju ke arah lift berada. Saat sampai di sana, tidak sengaja ia bertemu Alena yang sedang menunggu pintu lift terbuka dan tengah sibuk dengan handphonenya.
"Good morning, Len."
Alena tak perlu mengangkat pandangannya untuk tahu siapa yang baru saja menyapanya. Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar handphone, Alena membalas sapaan ramah Gavriel.
"Morning, Gav."
"Muka lo panik banget pagi-pagi, ada apa?"
Ting....
Pintu lift terbuka, Alena memilih memasuki lift terlebih dahulu diikuti Gavriel dan baru setelah pintu tertutup, Alena menjawab pertanyaan Gavriel.
"Si Gadis enggak bisa dihubungi. Gue samperin ke hotel pagi ini juga dia enggak ada di hotel. Gue takut dia kenapa-kenapa."
Mendengar kekhawatiran Alena, Gavriel tersenyum tipis.
"Lo enggak usah panik. Gadis ada di rumah gue."
Deg'
Jantung Alena seakan baru saja menabrak tulang rusuknya. Apakah ia tidak salah dengar? Gadis ada di rumah Gavriel? Sejak kapan? Semalam ia mengantarkan Gadis sampai ke kamar hotel sudah pukul sepuluh malam, lalu jam berapa mereka bertemu? Lebih dari itu semua, apa yang terjadi diantara dua temannya itu? Apakah Gadis membalas perbuatan suaminya dengan berselingkuh juga? Ah, tidak-tidak. Alena yakin Gavriel masih waras untuk menolak jika hal itu sampai ditawarkan oleh Gadis. Lagipula jika sampai Gadis menawarkan hal gila itu kepada Gavriel, Alena yakin bahwa Gadis sudah gila.
Ia menoleh untuk menatap Gavriel.
"Di rumah lo?" Tanya Alena pelan hingga nyaris seperti bergumam
"Iya. Semalam dia mabuk di club-nya Wilson. Sekarang dia masih tidur."
Ting....
Pintu lift terbuka. Tanpa menunggu jawaban Alena, Gavriel memilih untuk segera keluar dari dalam lift. Ia segera berjalan menuju ke arah mesin absensi lalu setelahnya ia menuju ke ruangannya. Hari ini ia harus fokus pada pekerjaannya dahulu. Tidak ada waktu untuk memikirkan masalah apa yang membuat Gadis menggila seperti semalam.
***
Sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela kamar membuat Gadis membuka matanya sedikit. Ia menggeram karena tidur nyenyaknya terganggu. Awalnya ia masih santai hingga saat hidungnya mencium aroma sprei yang ada di bawah tubuhnya, kedua mata Gadis langsung membelalak lebar. Kenapa ini berbau Gavriel di mana-mana? Gadis langsung bangun dari posisi tidurnya dan saat ia mengangkat pandangannya, ia bisa melihat foto Gavriel dan keluarganya berukuran 10 R yang dipajang di dinding kamar ini. Kini kedua mata Gadis turun untuk melihat tubuhnya yang ternyata masih menggunakan pakaian komplit. Seketika Gadis merasa lega atas semua ini. Berarti benar, semalam Gavriel membawanya pulang ke rumah. Untung saja Gavriel tidak berbuat hal mesum kepadanya.
Pelan-pelan Gadis mulai turun dari atas ranjang. Baru juga kakinya melangkah satu langkah, ia sudah menghentikan langkah kakinya karena tiba-tiba berpikir tentang apa yang akan ia temui di rumah ini? Apakah ia akan bertemu orangtua, kakak atau justru pacar Gavriel? Jika iya, apa yang akan ia katakan sebagai penjelasan atas kehadirannya di kamar laki-laki yang bukan suaminya ini? Meksipun kenyatannya antara dirinya dan Gavriel tidak melakukan hal yang iya-iya, tetapi orang mungkin tidak akan berpikir demikian. Perempuan dalam keadaan mabuk dan justru berada di kamar laki-laki. Ah, gila... tak pernah Gadis sangka jika ia akan ada di situasi yang memalukan seperti ini terlebih ia berakhir di ranjang musuh bebuyutannya selama bekerja dulu.
Gadis menggelengkan kepalanya dan kini ia memilih melanjutkan langkah kakinya untuk menuju ke kamar mandi. Saat pertama kali membuka pintu kamar mandi, Gadis cukup terkejut karena kamar mandi Gavriel ini lumayan luas dengan fasilitas bathub hingga ruang shower ada sendiri.
"Enggak nyangka gue kalo selera kamar mandi lo boleh juga," Ucap Gadis pelan dan segera ia menuju ke arah wastafel berada.
Seketika Gadis langsung berteriak ketika melihat wajahnya sendiri. Rambutnya sudah seperti kuntilanak telat pulang, makeup yang ia kenakan sudah hancur dengan lipstik yang sampai ke pipi. Bagaimana bisa Gavriel tidak tertawa melihat kondisinya yang seperti ini?Cepat-cepat Gadis membasuh wajahnya. Biasanya Gadis akan menggosok giginya namun tidak kali ini karena di hadapannya tidak ada sikat gigi baru. Hanya ada satu sikat gigi yang tidak perlu ditanyakan milik siapa, tentu saja milik sang empunya rumah.
Beberapa saat melakukan kegiatan paginya di kamar mandi, akhirnya Gadis keluar dari sana dan menuju ke arah tas miliknya. Baru juga ia akan mengangkat tas miliknya, ia menemukan sebuah kertas kecil yang ditujukan untuknya. Segera saja Gadis mengangkatnya dan membaca isinya.
To : Gadis.
Kalo sudah bangun, langsung turun ke dapur. Ada nasi sama sop ayam untuk sarapan.
Gadis tersenyum setelah membacanya. Tidak ia sangka jika Gavriel masih bisa jadi tuan rumah yang baik dengan seabrek beban pekerjaannya di kantor. Entah beli atau memasak sendiri, namun Gadis yakin Gavriel harus bangun pagi-pagi sekali untuk menpersiapkan sarapan untuknya.
Gadis taruh lagi kertas itu di meja lalu ia membuka tasnya dan begitu handphone ada di tangannya, mata Gadis membelalak lebar melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 11.35 WIB. Seketika Gadis langsung menepuk keningnya dengan tangan kanan.
"Mampus. Tidur berapa lama gue di sini?"
Gadis menggelengkan kepalanya lalu ia melihat pesan-pesan yang masuk ke handphone miliknya. Beberapa pesan yang masuk ke handphone miliknya sebagian besar datang dari Alena, selain Pradipta.
Ya Tuhan,
Gadis tak menyangka jika mantan suaminya akan menghubunginya lebih dulu seperti ini. Terlebih Pradipta membombardir whatsapp miliknya dengan panggilan video call, telepon hingga pesan yang tidak ada satupun itu nyatanya membuat Gadis bangun dari tidurnya sejak tadi. Senyenyak itukah rasanya? Jika iya, ternyata mabuk tidak selalu buruk untuk dicoba sesekali.
Gadis tahu bahwa ia tidak bisa lari dari masalah yang kini mendera rumahtangganya. Ia tidak bisa mengabaikan Dipta seperti ia mengabaikan keluarga mertuanya. Siap tidak siap, ia harus berdiri tegar. Gadis yakin bahwa badai ini akan berlalu cepat atau lambat. Penasaran dengan apa yang membuat Dipta menghubunginya, Gadis memilih membukanya.
Pradipta : Dis, kamu menjual semua tabungan saham kita?
Pradipta : sejak kapan kamu menjualnya dan tidak memberitahukan ke aku lebih dulu?
Pradipta : Dis, angkat telepon aku!
Pradipta : Gadis! Jangan abaikan pesan ini. Kamu tahu kita menginvestasikan lebih dari separuhnya ke sana.
Entah kenapa Gadis bisa tertawa setelah membaca pesan dari suaminya. Apakah ia sudah gila? Mungkin saja sudah karena uang lebih dari setengah milyar rupiah ia hambur-hamburkan begitu saja dalam beberapa hari ini. Tawa Gadis semakin menjadi kala membayangkan ekspresi wajah suaminya jika tahu bahwa uang itu hanya tersisa kurang dari 30 juta. Ya, uang 30 juta itu pun akan ia sumbangkan pada sebuah yayasan yang menangani para bayi terlantar.
Setelah tawanya reda, Gadis menimbang-nimbang apa yang bisa ia katakan kepada Pradipta. Beberapa saat Gadis berpikir hingga akhirnya ia memilih untuk menjawabnya secara bijak dan sopan.
Gadis : Iya, Mas. Semua saham sudah aku jual dan aku pergunakan untuk menghibur diriku. Kalo kamu bisa menghibur diri dengan berselingkuh, aku juga bisa menghibur diri dengan berlibur dan membeli apa yang aku mau sesuka hatiku.
Setelah membaca kembali pesan yang ia akan kirimkan ke Pradipta, Gadis mencoba menyenggol tombol send. Beberapa detik kemudian, pesan yang ia kirimkan ke Pradipta itu sudah berubah menjadi centang dua.
Gadis tahu bahwa setelah Pradipta membaca pesan balasan darinya, bisa dipastikan jika laki-laki itu akan menggila, tapi Gadis berpikir bodo amat. Silahkan Pradipta memulai segalanya kembali dari nol bersama Rachel. Yang penting harta yang bisa menjadi gono gini mereka berdua di mulai dari saham terlebih dahulu sudah ia habiskan. Misi keduanya adalah menjual cincin kawin bertahtakan berlian yang Pradipta belikan untuknya. Gadis bersyukur karena kala Pradipta membeli cincin itu, semua atas namanya dan ia masih menyimpan surat serta certificate-nya. Ia tinggal membawanya ke gerai toko perhiasan itu yang ada di mall. Persetan, jika potongan harganya lebih dari 15 persen. Yang penting ia sudah tidak akan melihat cincin itu lagi di hidupnya. Biarlah cincin itu dilebur bersama kenangan rumah tangganya bersama Pradipta.
Kini Gadis menilih untuk menutup kembali handphone miliknya dan turun ke bawah. Ia mencoba mengabaikan rasa pusing yang mendera kepalanya. Siapa tahu saja jika ia makan, pusing ini akan hilang.
***