Dengan telinga yang rasanya sudah pekak karena ocehan Banyu, akhirnya hari ini Gadis memilih menuruti keinginan kakaknya itu untuk pulang ke Solo. Padahal Gadis ingin menyelesaikan semua ini terlebih dahulu baru pulang ke Solo. Sayangnya Banyu tidak mengijinkannya berada di kota ini sendirian tanpa ada orang yang bisa ia percaya. Terlebih lagi Alena dan Gavriel tidak mengunjungi adiknya kala weekend kemarin. Ini yang membuat Banyu tidak bisa meninggalkan Gadis seorang diri. Cuti panjangnya juga akan berakhir tiga hari lagi dan ia harus kembali ke Singapura.
"Sebenarnya aku bisa tanya sama Papa via telepon, Mas tentang masalah kepemilikan saham itu. Enggak harus kita pulang ke Solo."
"Masalah seperti ini tidak pantas dibicarakan melalui telepon, Dis. Lagipula kita landing di YIA bukan Adisumarmo."
Gadis langsung menoleh untuk menatap kakaknya itu dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. Bagaimana bisa kakaknya memilih penerbangan ini.
"Kenapa harus turun di Jogja sih, Mas?"
"Karena Mas bilang ke Mama dan Papa kalo kita sedang ada di Jogja, bukan di Bontang. Pak Manto akan jemput kita di stasiun Balapan. Biar tidak ada yang curiga."
Seketika kepala Gadis terasa pusing kala mendengar penjelasan kakaknya ini.
"Mama sama Papa tidak tahu kabar rumahtanggaku yang porak-poranda ini sampai sekarang, Mas?"
Banyu menggelengkan kepalanya. "Enggak, Dis. Aku enggak mau kehilangan Mama sama Papa karena mereka jantungan mendengar semua ini. Kamu anak kesayangan mereka. Kalo mereka tahu kamu sampai diperlakukan seperti ini, entah akan seperti apa keadaannya."
Gadis tersenyum lalu ia memeluk Banyu dengan kedua tangannya. Sambil masih memeluk sang Kakak, Gadis berkata, "Makasih ya, Mas. Mas Banyu memang kakak yang terbaik. Aku beruntung punya kakak seperti Mas Banyu."
Setelah mengatakan itu, Gadis mendongakkan kepalanya. Ia daratkan sebuah kecupan di pipi kanan Banyu.
Muach....
"Duh, kena jigongmu, Dis," Ucap Banyu sambil mengelap pipinya.
Gadis yang melihat reaksi kakaknya ini hanya tertawa geli. Kini tanpa menunggu lebih lama lagi, mereka akhirnya segera berangkat ke bandara. Jangan sampai mereka ketinggalan pesawat.
***
Gadis mengira jika Banyu akan mengajaknya untuk langsung pulang ke Solo setelah mereka mendarat di YIA. Ternyata Banyu justru mengajaknya untuk menginap di salah satu hotel yang ada di kawasan Malioboro, dekat dengan stasiun Tugu.
"Mas, kenapa enggak langsung pulang aja sih?"
"Kamu tahu enggak, Dis?" Bisik Banyu pelan di dekat telinga sang adik.
"Enggak. Apaan?"
"Papa tadi WA, katanya malam ini kita harus wakilin Mama sama Papa buat datang ke acara nikahan anak teman mereka."
Kedua mata Gadis langsung membelalak lebar mendengar hal ini.
"Hah? Mana bisa begitu. Aku enggak bawa baju buat kondangan."
Banyu langsung menjentikkan jarinya di depan wajah sang adik.
"Karena itu kita menginap di sini. Kita bisa langsung ke butik batik buat cari pakaian. Nanti kamu bisa colong-colong start untuk menjalankan misi kamu kemarin."
"Benar juga kata kamu, Mas. Kalo begitu sekarang aja kita langsung berangkat," Kata Gadis sambil mulai berdiri lalu ia menarik sang kakak untuk segera keluar dari kamar hotel mereka.
Gadis bersyukur karena dirinya bukan tipe wanita yang terlalu pilih-pilih dalam urusan merek pakaian dan model pakaian. Baginya selagi nyaman saat digunakan, ia tidak akan banyak pilih-pilih. Tidak sampai dua puluh menit, Banyu dan Gadis sudah mendapatkan pakaian yang akan mereka kenakan malam ini.
"Mas, ini kita enggak akan telat? Sekarang sudah jam setengah delapan."
"Enggak asal kamu enggak kebanyakan dandan."
"Gadis menganggukkan kepalanya. Kini saat sudah berada di kamar, Gadis segera melesatkan dirinya ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Setelah itu ia menuju ke meja rias dan berdandan semaksimal yang ia bisa dalam waktu kurang dari lima belas menit.
"Kita turun, Dis. Sebentar lagi taxi online-nya datang."
Gadis segera berdiri dan mengikuti Banyu dengan berjalan di sampingnya. Sambil berjalan menuju ke arah lift, Banyu mencoba mencari tahu tentang apa yang akan Gadis lakukan di sana.
"Nanti kamu mau langsung bilang kalo akan terjun ke bisnis keluarga, Dis?"
"Kalo ada yang tanya aja. Kalo enggak ya ngapain gembar-gembor sih, Mas."
"Semoga ada yang tanya."
Gadis menganggukkan kepalanya. Tidak lama mereka menunggu di dekat lift hingga akhirnya pintu lift terbuka. Melihat pintu lift terbuka, Gadis mencoba menarik napas dalam-dalam dan pelan-pelan ia embuskan perlahan.
"Ayo, Dis buruan masuk."
Ucapan Banyu membuat Gadis menganggukkan kepalanya dan kembali ke realitas. Dalam hati Gadis, ia bertekad bahwa dirinya akan menunjukkan kepada calon mantan suaminya tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Terutama tentang kualitasnya agar Pradipta tahu bahwa ia sudah menyia-nyiakan sebuah batu berlian hanya untuk memungut kembali batu kali yang pernah ia genggam sebelumnya.
***
Gadis menatap sekeliling ballroom hotel bintang empat di kota Jogja ini dengan tatapan sedikit gugup. Tidak bisa ia pingkiri bahwa pada kenyataannya dirinya masih belum terbiasa menghadiri acara seperti ini apalagi jika membawa nama keluarga Bimantara.
"Enggak usah gugup, Dis," Bisik Banyu pelan yang membuat Gadis tersenyum.
Sepertinya kegugupannya terpancar dengan jelas. Hampir setengah menit Gadis mencoba memberikan sugesti kepada dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Kini saat ia sudah merasa siap, Gadis segera mengalungkan tangan kanannya pada lengan kiri kakaknya seakan kakaknya adalah pasangannya.
Sambil berjalan pelan di samping sang adik, Banyu berkata pelan, "Kita terlalu mesra enggak sih buat hitungan kakak beradik?"
"Enggak, Mas. Tenang aja. Aku butuh bantuan kamu."
Kini mereka langsung memberikan ucapan selamat menempuh hidup baru pada pengantin. Setelah itu Banyu dan Gadis segera turun. Untung saja Banyu cukup paham dengan kondisi Gadis saat ini, sehingga ia berusaha memberikan informasi tentang beberapa tamu yang mungkin akan sering berinteraksi dengan Gadis ke depannya.
"Arah jam sembilan. Namanya pak Siahaan. Dia salah satu orang penting di perusahaan sekuritas yang Papa pakai selama ini."
Gadis menganggukkan kepalanya. Ia beru akan melangkahkan kakinya kala Banyu meneruskan penjelasanya.
"Arah jam sebelas. Pakai dress merah. Namanya ibu Monica. Salah satu pemilik pertambangan di mana Papa menjadi investor di perusahaannya."
"Perusahaannya melantai di bursa enggak?" Bisik Gadis tidak kalah pelan di dekat telinga Banyu.
"Aku kurang tahu mengenai masalah itu, Dis."
"Lanjut, ya? Arah jam satu ada Pak Prayoga. Kamu tahu dia siapa. Salah satu orang terkaya di Konoha. Papa juga punya saham cukup banyak di perusahaan dia. Enggak ada salahnya kamu sapa kalo kamu mau terjun ke bisnis keluarga kita."
Gadis menganggukkan kepalanya. Ia tahu bahwa hari ini dirinya tidak akan menikmati hidangan yang disediakan di tempat ini. Tujuannya adalah memperkenalkan dirinya kepada beberapa orang yang mungkin akan sering berhubungan dengannya setelah terjun ke bisnis keluarga. Tanpa banyak mengulur waktu, Gadis mulai memasuki area VVIP bersama Banyu. Pertama kali yang ia sapa adalah Monica. Untung saja Monica sudah tahu siapa dirinya meksipun hanya sekilas saat menghadiri pernikahannya dengan Pradipta. Setelah basa basi yang berlangsung tidak terlalu lama ini, Gadis akhirnya memberanikan dirinya untuk bertanya kepada Monica perihal investasi sang Papa.
"Bu Monica, apakah Papa masih menjadi investor di perusahaan ibu?"
Bukannya langsung menjawab, wajah Monica justru terlihat kaget dengan pertanyaan Gadis ini. Melihat Monica yang tampak kebingungan dengan pertanyaannya, Gadis memilih mengambil sikap yang aman.
"Kalo ibu tidak berkenan menjawab tidak apa-apa. Saya yang salah karena telah menanyakan masalah ini ketika kita baru mengobrol sebentar."
"No, no, no... Kalian santai saja. Sampai saat ini masih, bahkan setahu saya pak Dibyo juga memiliki nilai investasi yang jauh lebih besar di perusahaan tambang lain," Ucap Monica cepat.
"Di mana?"
"Apa Papa kalian enggak cerita kalo dia punya lebih dari sepuluh persen kepemilikan saham di perusahaan tambang besar yang ada di Bontang?"
Gadis dan Banyu cukup terkejut mendengar hal ini. Sepuluh persen lebih tentunya bukan hanya hitungan lot yang masih bisa dihitung dengan jari. Gadis kini mulai merangkai puzzle-puzzle di dalam kepalanya hingga akhirnya kini terangkai dengan sempurna. Sungguh, ia tidak mengira jika Papanya memiliki saham di perusahaan tempat Pradipta bekerja sebanyak sepuluh persen lebih. Ini cukup untuk membuat seseorang memiliki 'taring' di sana. Pantas saja Pradipta bisa naik jabatan dengan mudah tanpa perlu waktu lebih dari sepuluh tahun bekerja di perusahaan itu.
***