Group Lapak Dosa
Gavriel : Dit, lo punya rumah di Bontang enggak?
Wilson : Enggak usah tanya, gue yakin dia punya.
Elang : Duh, enaknya jadi Adit. Udah tajir sejak embrio. Seketika gue ingin tukar nasib sama dia, tapi gue yakin sih, dia yang enggak akan mau.
Gavriel : lo berdua diam dulu. Urgent ini.
Elang : telepon aja kenapa, sih kalo memang urgent.
Wilson : jam segini dia pasti masih sibuk. Enggak kaya lo, Lang. Jam segini baru mau merem.
Elang : Ngaca, Bro. Kaya situ enggak aja.
Gavriel : enggak diangkat telepon gue.
Aditya : sorry lagi rapat tadi. Gue enggak punya rumah di sana, tapi kalo apartemen ada.
Wilson : Nah 'kan tebakan gue hampir mendekati kebenaran. Enggak punya rumah tapi punya apartemen.
Gavriel : Ada yang tempati enggak sekarang?
Aditya : Kosong. Biasanya cuma buat singgah sebentar aja kalo Papa ada urusan di sana.
Gavriel : gue pinjam, eh sewa aja deh. Soalnya kayanya bisa lebih dari seminggu.
Aditya : pakai aja kalo lo mau. Gue japri kontak orang yang bisa bantu lo di sana.
Gavriel : thanks, Bro. Gue do'ain lo cepat ketemu Mbak Hanna.
Aditya : aamiin.
Setelah mendapatkan nomer pribadi orang yang bisa membantunya di Bontang ini, Gavriel segera menghubunginya. Ia bahkan berjanji untuk bertemu dengan orang itu sebentar lagi. Kala ia melihat jam, ia tahu bahwa waktunya tinggal sedikit lagi. Kini ia segera mengetuk pintu ruangan Gadis. Begitu ia masuk ke dalam, dirinya segera menginformasikan tentang hal ini kepada Gadis dan Alena.
"Dis?" Panggil Gavriel kala ia sudah berada di dekat ranjang tempat Alena dan Gadis duduk.
"Ya?"
"Gue sudah dapat tempat di mana lo bisa tinggal untuk sementara waktu."
"Di mana?"
"Apartemen teman gue yang di sini kosong. Dia bilang lo boleh tinggal di sana untuk sementara waktu."
"Alhamdulillah," Ucap Alena sedangkan Gadis sudah tersenyum karena ia yakin dirinya bisa aman dari suaminya dengan tinggal di tempat itu.
"Ada nomer rekening, Gav?"
Mendengar pertanyaan Gadis, Gavriel langsung mengernyitkan keningnya.
"Nomer rekening siapa dan buat apa?"
"Teman lo. Gue mau bayar biaya sewa."
"Enggak usah. Mending uangnya buat sewa pengacara aja."
"Kok gitu?"
Tidak ingin meneruskan pembahasan ini, Gavriel segera mengajak Alena dan Gadis keluar dari kamar. Saat mereka berjalan menuju ke arah lift ternyata Banyu baru saja sampai di rumah sakit dan sedang berjalan ke arah mereka bertiga.
"Mampus," Desis Gadis pelan.
Sedangkan Alena yang sudah terpana melihat kakak Gadis itu justru menatap laki-laki itu dengan tatapan penuh puja.
"Gue siap jadi kakak ipar lo, Dis."
Berbeda dengan kedua perempuan ini, Gavriel menatap Banyu dengan tatapan menilai. Ia menilai Banyu secara keseluruhan namun paling lama ia menilai wajah Banyu yang terlihat marah bercampur khawatir. Tentu saja ia merasa marah karna sejatinya tidak akan ada laki-laki yang bisa menerima jika saudara perempuannya disia-sikan oleh pasangannya apalagi jika sampai mendapatkan kekerasan fisik seperti Gadis kemarin.
Saat Banyu sampai dihadapan mereka bertiga, ia langsung memeluk Gadis seerat yang ia bisa. Gavriel dan Alena hanya bisa melihat semua itu dalam diam. Gavriel kira Gadis akan menangis di dalam pelukan sang kakak, ternyata tidak. Perempuan itu justru tersenyum tipis seakan dirinya berusaha kuat dan tegar. Senyumnya seolah memiliki arti jika ia baik-baik saja setelah apa yang terjadi kemarin.
Baru saat Banyu mengurai pelukannya, ia mulai menanyakan keadaan Gadis lalu berterimakasih kepada Gavriel dan Alena karena sudah menyelamatkan nyawa sang adik.
"Mas, kita tidak punya banyak waktu. Aku harus ke kantor polisi sekarang."
"Mas temani."
Gadis menganggukkan kepalanya sebagai jawaban atas tawaran Banyu kepadanya.
Untuk menghemat waktu, Gavriel memilih memberikan solusi atas semua rencana hari ini.
"Ee... Dis?"
"Ya?"
"Biar hemat waktu, lo sama kakak lo dan Alena ke kantor polisi. Gue akan ambil kunci apartemen dulu gimana?"
Beberapa saat Gadis memikirkan hal ini dan ia anggukkan kepalanya. Tidak ada salahnya ide Gavriel ini karena Alena juga harus mengejar penerbangan ke Jakarta.
"Boleh, Gav."
"Kalo begitu gue duluan, ya?"
"Okay."
Banyu yang memperhatikan interaksi Gavriel dan Gadis memilih diam. Ia menganalisa sikap Gavriel kepada adiknya. Kini setelah Gavriel berlalu dari hadapan mereka, Banyu segera mengajak Gadis untuk menuju ke arah lift. Sepanjang perjalanan menuju ke lift hingga mereka berada di dalam taxi online, tidak satupun dari mereka yang berbicara. Alena sibuk dengan ipad miliknya, Banyu sibuk dengan handphonenya dan mau tidak mau Gadis juga melakukan hal yang sama. Ia membuka akun sekuritas tempat ia dan Pradipta menabung saham setelah menikah selama ini di handphonenya. Ia menghela napas lega kala melihat jika suaminya itu tidak menjual saham-saham ini setelah pertengkaran hebat mereka kemarin.
Kali ini ia merasa bersyukur karena semua ini menggunakan namanya sehingga tanpa memikirkan lebih lama lagi, Gadis memilih menjual semua kepemilikan saham di beberapa perusahaan yang melantai di BEI itu. Sebaiknya ia menghabiskan uang ini terlebih dahulu daripada semua ini akan menjadi harta gono gini kala ia dan Pradipta bercerai. Ia tidak ikhlas jika nantinya uang ini dinikmati oleh Rachel dan Pradipta. Toh, susah payah selama ini ia melakukan frugal living agar dirinya dan Pradipta dapat menjadi pasangan financial freedom di usia 40 tahun. Tapi memang terkadang rencana tak selalu berjalan dengan mulus serta sesuai harapan. Karena itu rencana cadangan diperlukan. Untung saja otaknya cukup cerdas untuk membuat rencana kedua dalam waktu yang singkat.
Alena yang tidak sengaja melihat apa yang dilakukan Gadis hanya bisa membelalakkan matanya.
"Serius lo jual semuanya?" Bisik Alena pelan di dekat telinga Gadis.
Dengan penuh keyakinan, Gadis menganggukkan kepalanya.
"Mau buat apa duit sebanyak itu?"
"Buat foya-foya. Lebih baik gue pakai uang ini buat diri gue sendiri daripada dinikmati perempuan lain."
Alena menganggukkan kepalanya. Dalam hatinya ada rasa syukur karena ternyata temannya ini masih memiliki sedikit kecerdasan. Ia masih berjuang mempertahankan apa yang masih bisa dimilikinya. Meskipun Pradipta memilih wanita lain, namun setidaknya saham-saham itu menjadi milik Gadis.
"Dengan duit segitu bukannya lebih baik buat beli properti aja?"
"No. Itu semua bisa jadi harta gono gini nantinya. Uang ini akan gue pakai untuk membeli paket liburan dan sebagian gue sumbangkan ke yayasan."
"Susah memang kalo ngomong sama orang yang sudah mandi duit sejak lahir."
Banyu yang duduk di kursi penumpang depan dan mendengar pembicaraan Alena serta Gadis justru tersenyum. Ia yakin adiknya yang termasuk perempuan cerdas dan pintar berinvestasi ini jika bukan karena rasa sakit hati yang teramat dalam, mana mungkin akan menjual semua kepemilikan sahamnya. Meskipun ia tidak suka orang yang boros, tapi kali ini ia justru mendukung langkah yang Gadis ambil untuk menghambur-hamburkan uang itu daripada uang itu dipakai oleh adik iparnya.
Kini saat mereka sampai di depan kantor polisi, Banyu segera mengajak Gadis dan Alena turun. Mereka harus cepat karena Alena harus mengejar penerbangan ke Jakarta hari ini bersama Gavriel.
Untung saja tidak sampai satu jam mereka berada di sini. Sebagai bukti pelaporan, Gadis menyerahkan rekaman CCTV yang diambil Gavriel di rumahnya. Tidak lupa juga ia meminta surat untuk melakukan visum. Begitu ia sudah selesai membuat laporan kepolisian, Gadis keluar dari ruangan ini.
Siapa sangka saat ia keluar, sosok Gavriel sudah menunggunya dengan duduk di ruang tunggu. Tanpa alasan yang jelas, Gadis justru tersenyum melihat laki-laki yang dulu jangankan bisa membuatnya tersenyum, yang ada setiap kali melihat wajah Gavriel, ia sudah eneg dan mual. Tidak hanya itu, Gavriel juga selalu berhasil membuat jiwa bar-bar yang tersembunyi di dalam dirinya keluar.
"Sejak kapan lo di sini, Gav?"
Pertanyaan Alena membuat Gadis kembali menapaki realitas dari memikirkan hal yang tidak-tidak. Ia berusaha untuk fokus pada apa yang ada di hadapannya kali ini.
Kala Gavriel mulai berdiri, Gadis juga mulai berjalan mendekati laki-laki itu bersama Alena dan Banyu.
"Belum lama. Gue ke sini mau jemput lo sekalian ngasih kunci apartemen buat Gadis. Ini, Dis kuncinya," Ucap Gavriel sambil mengulurkannya dengan tangan kanan.
Meskipun sedikit ragu, Gadis mencoba menerimanya. Untung saja kali ini Gavriel tidak berniat menjahili dirinya.
"Makasih," Ucap Gadis saat kunci itu ada di tangannya.
"Gue kirim alamat apartemennya ke lo. Lo cukup tahu jalanan di sekitar sini 'kan?"
"Iya, Gav."
"Kalo gitu gue sama Alena pamit ya, Dis."
Meskipun sedikit berat, akhirnya Gadis menganggukkan kepalanya. Setelah sejak kemarin ia memiliki teman berbagi segala rasa yang sedang ia rasakan ini, kini dirinya harus sendiri lagi. Tidak akan ada sosok Alena yang cerewet karena terus mengomentari segala sesuatu di hidupnya. Dan juga tidak akan ada Gavriel yang menyebalkan tetapi selalu siap membantunya dalam situasi apapun.
Kini dirinya harus bangun dan kembali berdiri dengan tegak. Karena setelah ia keluar dari kantor polisi ini, kehidupan baru untuk membalas sakit hatinya pada Pradipta baru saja di mulai.
***