Pradipta menatap martabak manis yang ada di atas meja dengan tatapan penuh keheranan. Tumben sekali Gadis mengiriminya makanan seperti ini. Biasanya juga Gadis melarang dirinya untuk makan serta ngemil ketika jam sudah lebih dari pukul tujuh malam.
"Kamu kenapa sih, Dip?"
"Aneh aja, Hel. Enggak biasanya Gadis kirimin aku kaya beginian."
"Dia lagi kangen kali. Kamu mudik aja."
"Dia lagi di Solo. Makanya aku minta kamu ke sini."
"Kamu mau bicarakan apa?" Tanya Rachel sambil mulai duduk di sofa yang ada di ruang keluarga.
Mau bagaimanapun, sejak Pradipta menikah dengan Gadis, rumah ini adalah salah satu neraka bagi Rachel. Terlebih di setiap sudut dinding rumah penuh dengan foto Dipta dan Gadis. Mulai foto sejak berpacaran, prewedding hingga foto pernikahan. Foto yang paling membuatnya jengkel adalah foto resepsi pernikahan mereka yang kini ada di hadapannya dan dalam ukuran besar.
"Hubungan kita."
"Kenapa? Masih galau buat minta Gadis untuk bercerai?"
"Bukan itu, Hel. Mbak Susan sudah tahu semua dari tante Ermita. Tadi siang dia telepon aku dan marah besar. Katanya kalo sampai Gadis enggak pulang ke rumah, aku adalah sumber bencananya."
Mengenal Pradipta bertahun-tahun baru belakangan ini Rachel melihat pacarnya itu segalau ini. Bahkan sampai memintanya terbang dari Jakarta ke Bontang.
Rachel diam karena ia sadar jika dirinya bersalah, sayangnya sudah kepalang tanggung. Mau sampai kapan ia harus seperti ini? Lebih baik jika hancur, hancur semua saja. Kini bahkan beberapa temannya yang mengetahui jika dirinya tetap mempertahankan hubungannya dengan Dipta memilih menjauh. Salah satunya Gavriel yang sangat menjaga jarak. Gabriel juga sudah tidak mengambil barang dagangan dari dirinya. Ia telah memperbesar usahanya dengan menjadi distributor tangan pertama. Itu juga salah satu alasan yang membuat Rachel beberapa bulan ini sudah tidak bertemu dengan Gavriel.
"Sudah kepalang tanggung kalo kita mundur," Kata Rachel dengan jujur.
"Aku merasa ini salahku, Hel. Andai dulu aku memperjuangkan hubungan kita dan tidak mengundang Gadis masuk ke dalamnya, sepertinya tidak akan seruwet ini."
"Sekarang kamu mau apa? Enggak mungkin kita akan kembali ke masa lalu."
"Aku masih belum tahu. Belum kepikiran," Kata Pradipta sambil mulai berdiri dari sofa yang ia duduki dan memilih berjalan menuju ke kamarnya yang ada di lantai dua.
Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Gadis baru saja makan malam bersama Om dan Tantenya. Ia utarakan maksud kedatangannya ke Jogja dan tentunya rencananya untuk mengunjungi suaminya di Bontang besok. Bukannya marah atau melarang, justru tatapan kasihan yang ia dapatkan dari Om dan Tantenya.
"Om, bisakan rahasiakan masalah ini dari Mama sama Papa, terlebih Mas Banyu?" Kata Gadis mencoba memastikan.
"Sebenarnya Om enggak mau ikut-ikut, Dis. Kalo saran Om sih kamu tetap jujur ke orangtuamu. Bagaimanapun setelah menikah istri memang seharusnya mengikuti suami bukan orangtuanya."
"Memang, Om. Mama sama Papa melarang aku berhubungan dengan Dipta serta keluarganya. Mereka sudah menyiapkan pengacara buat mengurus proses perceraian aku."
Eliza dan Dimas Bimantara langsung menegang di tempat mereka duduk saat ini. Tak pernah mereka sangka jika Aryanti dan Sudibyo benar-benar telah murka kepada menantunya itu. Padahal dulu mereka menyanjung Dipta habis-habisan hingga Eliza merasa insecure karena anaknya yang sudah melanglang buana sampai Eropa masih fiktif jodohnya.
"Kamu mau cerai?" Tanya Eliza hati-hati kepada Gadis.
Meskipun berusaha menahan tanggul air matanya agar tidak jebol, nyatanya semua itu gagal. Gadis akhirnya menangis di depan Om dan Tantenya. Begitu sulit untuk menjawab pertanyaan Eliza karena ia sendiri belum siap untuk mengakhiri rumah tangganya. Mudah saja orang memintanya untuk bercerai, tetapi apakah orang-orang tahu apa yang ia rasakan. Bertahun-tahun berjuang mempertahankan rumahtangga itu tidak mudah? Gadis tahu jika rumahtangga tidak mungkin tanpa adanya masalah, tapi bercerai adalah hal yang sebisa mungkin akan ia hindari. Sejak dulu ia berprinsip, lahir sekali, menikah sekali, mati pun juga hanya sekali.
Gelengan kepala Gadis membuat Eliza dan Dimas saling bertatapan satu sama lain.
"Meksipun semua orang meminta kamu bercerai, tapi semua keputusan ada di kamu. Kalo kamu tidak mau, jangan kamu tanda tangani berkasnya. Jangan kamu berikan buku nikah asli kamu sama Dipta ke pengacara itu."
"Iya, Tante. Kebetulan buku nikah aku ada di Bontang. Mama sama Papa enggak akan bisa menemukannya."
Mencoba menyudahi sesi pembicaraan yang hanya membuat keponakannya merasa sedih, Dimas langsung bertanya kapan Gadis akan pergi ke Bontang? Ketika Gadis menjawab jika besok pagi ia akan ke Yogyakarta Internasional Airports, Dimas hanya menganggukkan kepalanya dan akan mengantarnya ke bandara. Kali ini dirinya dan Eliza hanya bisa menjadi penonton saja karena ia tidak memiliki kapasitas untuk berbicara. Gadis sudah dewasa dan Dimas yakin jika ia bisa menentukan langkah terbaik yang bisa diambil.
***
Kerlap kerlip lampu disko malam ini dan riuhnya suasana malam di dalamnya nyatanya tetap gagal membuat Gavriel melupakan pembicaraannya dengan Alena beberapa hari lalu. Kini tidak hanya kala malam hari ia memikirkan sosok Gadis Sekarwangi, tapi juga dari pagi hingga malam. Semakin ugal-ugalan otaknya memikirkan Gadis kala ia sudah menaruh kepalanya di atas bantal untuk tidur. Kegilaan ini membuat Gavriel memilih menyambangi Wilson di club malam saat ini. Siapa tahu saja jika ia bisa melupakan sosok perempuan dengan kulit khas wanita Indonesia itu.
Tak perlu bertanya apa yang membuat seorang Gavriel menjadi seperti ini. Wilson tahu bahwa sosok Gadis adalah sumber masalah teman dekatnya ini sejak beberapa waktu belakangan. Sejak dulu ia sudah meminta Gavriel mendekati Gadis layaknya pria mendekati wanita, bukannya justru mengajaknya bersaing, tapi yang ada temannya ini memilih cara lain yang berujung ditinggal kawin.
"Lo mau mabuk malam ini?" Tanya Wilson tanpa berniat basa-basi.
"Maunya gitu, tapi enggak bisa. Gue besok pagi ada meeting sama jajaran direksi."
"Patah hati lo positif juga, Gav. Ditinggal kawin yang ujungnya lo makin moncer di urusan pekerjaan. Jabatan naik, online shop makin meningkat penjualannya. Bentar lagi mengepakkan sayap jadi konten kreator."
Gavriel memutar kedua bola matanya dengan malas. Demi apapun, ia termasuk orang yang paling malas menceritakan kehidupan pribadinya apalagi jika harus dikomersilkan. Baru hitungan biji orang yang tahu masalahnya dan Gadis saja, ia sudah sering menjadi bahan candaan, apalagi jika satu negri konoha tahu. Bisa-bisa jangankan ke kantor, keluar rumah saja ia tak akan berani.
"Apaan sih, ini juga kalo enggak kepepet mana mau gue terima. By the way si Elang enggak ke sini?"
"Belum, bentar lagi kayanya. Katanya ada pelanggan yang rese di karaokenya."
Gavriel menganggukkan kepalanya. Apalagi kini Wilson memilih meninggalkannya sendirian di meja bar. Tidak bisa mabuk, tapi juga tidak bisa tidur. Benar-banar hal ini menyiksa diri Gavriel.
Di kala ia merutuki kebodohannya ini, tiba-tiba kedua mata Gavriel menangkap sosok yang tidak asing untuknya. Segera saja ia berjalan untuk mendekati Bagas. Sosok orang kepercayaan Rachel yang sering diberi tugas untuk menangani bisnisnya.
"Gas, Bagas."
Sebuah suara membuat Bagas berhenti berjoged dan menoleh. Sosok Gavriel yang sedang berusaha berjalan mendekatinya membuatnya membalikkan badan.
"Lo di sini, Gav?"
"Iya, bisa kita bicara berdua sebentar."
"Okay."
Merasa bahwa mereka membutuhkan tempat yang lebih tenang, Gavriel memilih mengajak Bagas beejalan menuju ke pintu samping hingga mereka sampai di dekat sebuah tangga. Saat Gavriel menaiki tangga itu, Bagas hanya mengikutinya. Ia mengedarkan pandangannya dan sedikit heran karena sepertinya ini bukan masuk dalam area publik yang bisa dikunjungi semua orang secara bebas.
Kini Bagas memilih diam saat Gavriel sedang menelepon seseorang.
"Hallo, Wil."
"... "
"Gue pinjam ruangan lo sebentar ya?"
"..."
"Kata sandinya?"
"... "
"Okay, thanks."
Beberapa saat kemudian pintu ruangan itu terbuka dan Gavriel langsung mempersilahkan Bagas untuk masuk ke dalam. Gavriel tersenyum saat melihat Bagas yang takjub dengan ruangan ini. Ruangan ini benar-benar sunyi. Tak terdengar suara riuh yang berasal dari bawah. Bahkan interior ruangan ini mencerminkan bahwa pemiliknya adalah laki-laki.
"Ruangan lo ini, Gav?"
"Bukanlah. Gue belum terlalu kaya sampai punya club malam."
Bagas tertawa mendengar perkataan Gavriel. Bagas tahu jika Gavriel menjalani kehidupan sederhana setelah kedua orangtuanya berpisah. Mungkin anak lain akan stress dan pupus harapan kala kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat, namun tidak dengan laki-laki ini yang memilih menjalaninya dengan baik hingga dirinya bisa berdiri di kaki sendiri seperti saat ini.
"Duduk, Gas."
Bagas segera duduk dan kini ia memilih duduk di sofa panjang yang ada di dalam ruangan ini. Kali ini Gavriel memilih duduk di hadapan Bagas. Beberapa saat Gavriel mencoba menata dirinya terlebih apa yang akan keluar dari bibirnya.
"Sebenarnya ada hal yang harus gue tanyakan ke lo meksipun sebenarnya ini bukan masalah gue."
"Gue tahu kenapa lo ngajak gue ke sini. Pasti ini mengangkut kisah cinta segitiga itu 'kan?"
Gavriel langsung mengangkat kedua alisnya dan tak menyangka jika Bagas sepertinya lebih banyak tahu daripada dirinya.
"Sejauh apa lo tahu tentang hubungan Rachel, Dipta dan Gadis?"
"Yang pasti lebih banyak gue tahunya daripada lo karena gue saksi hidup perjalanan kisah cinta mereka dari awal sampai sekarang."
"Apa sampai sekarang mereka masih berhubungan?"
Mendengar pertanyaan dari Gavriel ini, Bagas langsung tertawa hingga air mata keluar di sudut matanya. Gavriel hanya bisa diam sampai tawa Bagas reda.
"Masih, malah lebih gila sekarang. Rachel sudah enggak bisa gue kasih tahu sama sekali. Dia bilang kepalang tanggung kalo harus mundur. Dipta itu cinta pertama Rachel, begitu pula sebaliknya. Sekarang mereka sering liburan bareng secara terang-terangan. Gue sampai enggak habis pikir gimana bisa mereka senekat itu. Apa enggak takut ketahuan bininya Dipta?"
"Terus lo kok bisa santai ke sini. Si Rachel enggak nyariin?"
"Hari ini dia terbang ke Bontang buat ketemu sama Dipta."
Satu detik...
Dua Detik...
Tiga Detik...
Gavriel langsung terdiam dan otaknya sempat tidak bisa berpikir apa-apa selain memikirkan perkataan Alena tadi sore ketika mereka bertemu di ruangannya yang mengatakan terimakasih kepadanya karena sudah memberikan ide yang briliant hingga Gadis bisa kabur dari rumah dan akan menuju ke Bontang secepatnya.
***