Gadis tersenyum kala melihat rumah kedua orangtuanya yang bergaya Jawa modern. Halaman depan rumahnya yang luas dan terdapat air mancur serta taman ini membuatnya benar-benar merasa nyaman di sini. Rumah yang sudah ia huni sejak lahir, tempat ia tumbuh dan dewasa, benar-benar menyimpan banyak kenangan di hidupnya yang tak mungkin ia lupakan sampai akhir hayatnya.
Ketika sampai di depan pintu, Gadis segera membunyikan bel. Tidak lama menunggu, akhirnya seorang asisten rumah tangga muda yang baru kali ini Gadis temui muncul di sana.
Begitu mempersilahkan Gadis masuk, Sari segera mendorong koper cabin size Gadis. Baru sekali ini Sari bertemu dengan Gadis. Nama yang beberapa hari ini sering terdengar di rumah ini.
"Assalamu'alaikum, Mama," Ucap Gadis sambil berjalan cepat untuk menuju ke Mamanya yang sedang membaca majalah.
"Waalaikum salam," Ucap Aryanti sambil memeluk Gadis.
"Papa mana, Ma?" Tanya Gadis setelah mengurai pelukannya pada sangat Mama.
"Belum pulang."
"Jam segini masih di kantor, Ma?"
"Enggak, cuma ada acara perkumpulan Paguyuban, Dis. Kamu sendiri aja ke sini?"
"Iya, Ma. Mas Banyu mana?"
"Di kamarnya. Coba aja kamu ke sana."
Gadis tersenyum lalu ia segera pamit kepada Mamanya untuk mengunjungi kakak laki-lakinya. Sambil berjalan menuju ke arah tangga, Gadis terus memikirkan pembicaraannya dengan Sumanto tadi. Gadis hanya berharap apapun yang membuat kakaknya itu murka, tidak ada hubungannya dengan suami dan keluarga suaminya.
Begitu Gadis sampai di depan kamar Banyu, ia menyiapkan dirinya sebelum akhirnya ia memberanikan diri untuk mengetuk pintu kayu jati berwarna coklat itu.
Tok...
Tok...
Tok...
"Mas... Mas Banyu?"
"Come in," Ucap Banyu dari dalam kamarnya yang membuat Gadis memberanikan diri untuk membuka pintu.
Begitu pintu kamar itu dibuka, Gadis langsung mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok Banyu yang ternyata sedang melakukan plank di teras kamarnya. Melihat kakaknya yang sudah berusia 35 tahun tetapi masih tampak muda seperti pria berusia 25 tahunan ini membuat Gadis tersenyum.
"Masuk, Dis. Jangan di situ aja," Kata Banyu sambil menyudahi sesi olahraga malamnya.
Gadis segera melangkahkan kakinya menuju teras kamar kakaknya. Berbeda dengan saat bertemu Mamanya, kali ini Gadis tidak mau memeluk kakaknya ini karena tubuh kakaknya penuh dengan keringat.
"Aku enggak mau peluk dan dipeluk ya, Mas?" Ucap Gadis yang membuat Banyu tertawa.
"Iya, aku tahu kamu enggak suka dipeluk sama orang yang habis olahraga. By the way, kamu baru sampai?"
"Iya, Mas."
"Sendiri aja?"
"Memang mau sama siapa lagi? Suami aku ada di Bontang."
"Luar biasa suami dan keluarga suami kamu."
Gadis langsung menutup bibirnya rapat-rapat. Sepertinya ia harus memasang kuda-kuda karena Banyu terlihat lebih banyak mengetahui hal-hal yang ia sembunyikan selama ini dari kelurga.
"Kalo enggak luar biasa, enggak akan aku pilih, Mas."
Gadis mencoba mengelak dan mengamini prediksi Banyu. Hal ini justru membuat Banyu memilih duduk di samping adik perempuannya ini.
"Apa kamu bahagia dengan pilihan kamu?"
Pertanyaan sederhana namun begitu sulit untuk Gadis jawab secara jujur. Jika dirinya jujur tentang apa yang terjadi, mungkin Banyu akan memasukkan dirinya ke dalam gudang dan tidak pernah mengijinkannya untuk pulang ke Surabaya lagi.
Diamnya Gadis cukup untuk membuat Banyu paham atas situasi yang sedang dihadapi adiknya ini.
"Cukup selama ini aku diam dan memahami kenapa kamu enggak mau cerita ke keluarga tentang semua hal yang kamu alami, tapi aku sudah tidak tahan melihatnya."
"Maksud Mas Banyu?"
"Jangan pura-pura bodoh, Dis. Kamu terlalu pintar untuk memahami maksud pembicaraan kita malam ini."
"Aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri, Mas. Bukankah selama suami tidak menjerumuskan istri ke hal negatif, kita wajib menurut?"
"Bodoh. Jaman sekarang perempuan wajib berpenghasilan. Bukan karena suami tidak sanggup memberikan nafkah, Dis. Bukan, bukan itu! Tapi kalo kamu berpenghasilan, kamu mandiri secara finansial, Pradipta enggak akan menyepelekan kamu. Ketika kamu disudutkan, kamu juga tidak akan goyah."
Tidak perlu mendebat kakaknya ini karena Gadis tahu apa maksud dari perkataan Banyu. Pasti ini ada sangkut pautnya dengan dirinya yang diberi tugas untuk merawat kedua mertuanya sedangkan suaminya bekerja di luar pulau.
"Tidak sesimpel itu, Mas ketika kita sudah menikah dan menjadi seorang istri."
Banyu tersenyum sinis kala mendengar Gadis masih saja mengelak dengan kenyataan yang sudah ia ketahui. Bahkan pertama kali ia menjabarkan semua kenyataan ini di depan kedua orangtuanya, Mama dan Papanya langsung menangisi nasib anak perempuannya.
"Jangan bersembunyi dibalik kata mengabdi ke suami? Sampai kapan kamu mau dibodohi Pradipta dan keluarganya?"
"Mereka sayang sama aku, Mas. Aku diperlakukan dengan baik di keluarga suami aku."
Gemas dengan sikap yang ditunjukkan oleh Gadis, Banyu segera berdiri dan berjalan ke dalam kamarnya. Ia menuju ke meja kerjanya dan mengambil amplop serta handphone miliknya. Begitu dua barang ini sudah ada di tangannya, Banyu segera membawanya ke teras kembali dan ia berikan kepada Gadis.
"Apa ini, Mas?"
"Kamu buka sendiri aja."
Gadis menghela napas panjang untuk yang kesekian kali sejak ia masuk ke kamar kakaknya ini. Entah kenapa jantungnya berdegup dengan kencang kala tangannya sibuk membuka amplop ini. Begitu amplop coklat ini terbuka Gadis segera mengambil beberapa lembar foto. Setetes air mata keluar dari pelupuk mata Gadis kala melihat foto suaminya sedang sibuk menikmati keindahan pulau Bali bersama seorang wanita yang tidak asing baginya. Ya, sosok Rachel yang dulu pernah ia lihat ketika acara pernikahannya.
"Kamu dinikahi sama Pradipta cuma untuk dijadikan babu."
Mencoba mengabaikan hinaan dari kakaknya, Gadis justru menanyakan hal lain pada Banyu.
"Mas Banyu dapat ini dari mana?"
"Bayar orang buat ngikutin suami kamu."
"Sejak kapan Mas Banyu tahu?"
"Enam bulan yang lalu. Sejak itu aku menahan diriku buat enggak terbang ke sini dan menghajar Dipta. Aku kira dia akan insyaf sewaktu tahu kalo kamu menerima permintaan keluarganya untuk merawat orangtuanya. Eh... tahunya malah makin menjadi-jadi aja."
Gadis berusaha menahan tanggul air matanya agar tidak jebol tapi gagal sudah. Ia telah kalah dalam perdebatan ini. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan yang ia temui kali ini. Ternyata keluarganya tahu semuanya tetapi berpura-pura diam.
Melihat reaksi adiknya yang seperti ini, Banyu segera berdiri.
"Sebagai kakak, mulai saat ini aku melarang kamu untuk kembali ke Surabaya apalagi menyusul Dipta."
"Ta... tapi, Mas. Enggak bisa begitu."
"Kalo kamu berani melanggar apa yang Mas bilang, Mas akan kunci kamu di gudang."
Kedua alis Gadis terangkat ke atas kala mendengar ultimatum kakaknya. Gadis tahu bahwa Banyu bukan laki-laki yang sekedar berbicara tanpa ada tindakan nyata. Melihat apa yang Banyu lakukan padanya, ia harus berbicara dengan kedua orangtuanya untuk meminta dukungan mereka.
***
Pagi hari selepas sarapan bersama, Gadis sengaja mengajak Mama dan Papanya untuk berbicara di halaman samping rumah. Meskipun Sudibyo dan Aryanti tahu tentang perdebatan kedua anak mereka semalam, mereka pura-pura tidak tahu sebelum anak-anak mereka bercerita.
"Ada apa, Dis? Tumben kamu ngajakin Mama sama Papa kumpul di sini."
"Si Gadis kayanya mau ngajakin kita ghibah, Ma."
"Bukan, Pa... bukan. Aku ngajakin Mama sama Papa ke sini buat ngomongin masalah semalam."
"Memangnya semalam ada apa?" Tanya Sudibyo sambil menutup koran yang tadi ia baca.
Setelah mengumpulkan keberaniannya sejak semalam, akhirnya Gadis menceritakan apa yang ia perdebatkan dengan Banyu. Gadis kira orangtuanya akan kaget dengan semua ini, tapi dia salah besar, Mama dan Papanya terlihat santai dan bisa menerima ceritanya dengan baik.
"Mama sama Papa kenapa enggak marah besar kaya Mas Banyu?"
"Karena percuma juga mau marah sama kamu. Kamu pasti akan belain suami kamu habis-habisan," Ucap Aryanti yang mendapatkan anggukan kepala dari suaminya.
"Ma... Jangan gitu dong. Aku bingung harus gimana. Andai kata suami aku beneran selingkuh dan sekamar sama perempuan itu di hotel. Aku harus dapat foto mereka tidur bersama."
Sudibyo tersenyum dan ia menepuk nepuk pelan pundak anak perempuannya itu.
"Tidak harus sejauh itu kamu melangkah. Cukup kamu punya bukti cctv masuk ke kamar hotel bersama dan invoice hotel saja. Lagipula orang-orang sudah tahu hal apa yang akan dilakukan laki-laki dan perempuan ketika sekamar bersama. Enggak mungkin 'kan mau main catur?"
"Aku mau nyari bukti itu, tapi Mas Banyu enggak kasih aku ijin untuk pulang ke Bontang apalagi ke Surabaya."
Aryanti yang sudah tidak bisa menahan dirinya lagi, justru setuju dengan langkah yang diambil Banyu.
"Mama setuju dengan Banyu. Kamu tidak boleh kembali ke sana. Mama tidak ikhlas kalo anak Mama dibodohi terus menerus seperti ini."
Kali ini Aryanti memilih segera berdiri dan meninggalkan Gadis bersama Sudibyo. Biarlah jika suaminya masih bisa memiliki kesabaran kala menghadapi Gadis yang sudah tahu dirugikan tapi terus menerus denial akan apa yang terjadi saat ini.
***