Gavriel tak menyangka jika Gadis sudah resign dari kantor selama enam bulan lamanya. Selama itu pula pekerjaannya semakin banyak. Kini tak ada lagi yang membuatnya bersemangat untuk mencapai target. Mungkin karena ia tidak memiliki saingan baru yang kompetitif seperti Gadis. Rata-rata rekan kerjanya hanya kerja secukupnya saja. Ini membuat jiwa figter-nya tidak berkobar seperti dulu.
Seperti saat acara gethering tahun ini yang diselenggarakan di Anyer, entah kenapa Gavriel sedikit tidak bersemangat untuk mengikuti perlombaannya. Acara pemberian pengharagaan karyawan terbaik saja terasa hambar baginya. Sesuai prediksi banyak orang, tahun ini dirinya yang menyabet gelar karyawan terbaik.
"Sedih amat lo, Gav. Enggak dapat jatah dari Ayang?" Tanya Ragil kepada Gavriel kala mereka duduk di pinggiran kolam renang malam ini.
"Ayang... Ayang, gue kagak sempat beredar, lo tanya tentang Ayang lagi. Mana mungkin gue punya?"
"Elo makin lama makin ganteng. Side hustle lo juga sudah kelihatan hasilnya. Umur sudah 31 tahun. Sudah saatnya cari istri dan berkembang biak."
"Kalo bisa friend with benefits, kenapa juga mesti married?"
Ragil yang mendengar jawaban Gavriel langsung menggelengkan kepalanya.
"Wong edan kowe, Gav. Ngeri tahu kalo sampai lo kena penyakit menular seksual karena ganti-ganti pasangan?"
Gavriel tersenyum kecil karena nyatanya sejak Gadis tidak lagi bekerja di perusahaan ini, client Gadis dialihkan menjadi client-nya yang secara otomatis menambah beban pekerjaannya. Jangankan untuk hura-hura seperti dulu di club malam, sekedar untuk live langsung di akun toko onlinenya saja Gavriel tidak sempat. Toko onlinenya kini dipegang oleh dua orang karyawannya dibagian packing dan satu orang dibagian host.
"Gimana mau menikmati hidup kalo dari jam enam pagi gue sudah berangkat ke kantor. Sampai di kantor jam delapan langsung kerja. Keluar dari kantor jam tujuh malam paling cepat. Sampai rumah paling cepat jam sembilan malam. Itu juga enggak langsung bisa istirahat. Gue cek penjualan, stock barang, order dan masih cek administrasi. Capek benar gue jadi manusia. Andai bisa, gue mau jadi burung walet aja."
"Burung walet?" Desis Ragil pelan yang langsung mendapatkan anggukan kepala dari Gavriel.
"Yup, gue mau jadi burung walet yang rebahan sama ileran aja bisa jadi cuan."
"Halah, lo kerja sampai kaya begini, gue yakin saldo rakening posisinya aman 'kan?"
Gavriel menganggukkan kepalanya. Siapa sangka jika side hustle yang ia jalani telah membuahkan hasil sebuah tanah yang baru saja ia beli di daerah Sleman. Meskipun tidak terlalu luas, namun setidaknya kelak jika ada rezeki lagi, ia bisa menbangunnya tanpa harus mengambil kredit karyawan di bank tempatnya bekerja. Sengaja ia memisahkan penghasilannya dari kantor dan usaha yang ia jalani agar ia bisa melihat hasilnya.
Kini Gavriel dan Ragil menoleh ke arah sisi barat kolam renang kala mendengar suara perempuan sedang mengomel. Saat melihat jika itu adalah Alena, Gavriel dan Ragil saling bertatapan. Seakan mereka paham jika kini mereka harus mempertajam pendengarannya untuk mendengar apa yang sedang Alena bicarakan di telepon.
"What? Dipta minta lo buat merawat emaknya yang sakit?"
"..."
"Okay, gue paham karena lo menantu perempuan mereka satu-satunya. Tapi yang gue enggak terima nih, alasan kedua yang bilang lo enggak punya tanggungan kerjaan dan anak, jadi lo yang diutus untuk merawat emaknya Dipta yang sakit. Mereka kira jagain orang sakit di rumah sakit itu kerjaan enak dan mudah? Terus mereka yang statusnya anak kandung pada ngapain aja? Kerja? Jagain anak yang masih kecil di rumah? Basi!"
Gavriel dan Ragil saling bertatapan sekilas. Beberapa saat kemudian mereka menganggukkan kepalanya. Seakan mereka paham siapa yang sedang menguji kesabaran Alena. Perempuan yang terkenal memiliki kesabaran setipis tisu dibagi dua.
"..."
"Kalo gue jadi lo, gue langsung lari sejauh-jauhnya."
"..."
"Ya udah kalo lo yakin mau terima semua ini. Berarti lo harus siap LDR-an sama suami lo."
Setelah mengatakan itu, Alena menutup sambungan teleponnya dan ia kembali menuju ke arah kamarnya berada. Malam ini sepertinya dirinya membutuhkan alkohol untuk meredakan amarahnya kepada Gadis yang telah menjadi perempuan paling pasrah dan tidak memiliki pilihan lain selain menuruti keinginan suaminya. Seakan Gadis menjadi sosok yang berbeda dengan dirinya yang dulu sebelum menikah.
Selepas Alena tak terlihat lagi, Gavriel memilih untuk segera mengajak Ragil menuju ke kamar mereka. Mereka harus segera beristirahat karena besok pagi masih ada acara outing.
Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Gadis masih menatap layar smartphonenya. Rasanya ia seperti tentara yang sudah kalah berperang. Sejak menikah dengan Pradipta enam bulan lalu, secara otomatis Gadis mengikuti suaminya untuk tinggal di Bontang, Kalimantan Timur. Dengan ikhlas Gadis mengikuti suaminya yang bekerja di salah satu perusahaan besar disana. Posisi Pradipta yang lumayan memiliki posisi di perusahaan itu membuatnya sering keluar kota bahkan keluar pulau dan luar negri. Terkadang hal ini yang membuat Gadis was-was terutama jika Pradipta pergi ke Jakarta tanpa mengajaknya.
Sejak mendengar pembicaraan Pradipta dan Rachel, ia mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tanpa bertanya kepada suaminya. Tentu saja semua itu juga bisa berjalan dengan baik karena bantuan Alena yang rela menjadi informan baginya.
"Aku harus ke Jakarta besok, Dis."
"Sudah aku siapkan koper kamu, Mas."
"Makasih, ya?" Kata Pradipta sambil mengusap punggung istrinya naik turun. Gadis yang mendapatkan perlakuan seperti itu dari suaminya hanya bisa tersenyum.
Hubungan rumahtangga yang ia jalani bersama Pradipta bisa dibilang baik-baik saja. Hubungan badan mereka berlangsung dua hingga tiga kali seminggu, namun tetap saja ia belum hamil sampai sekarang. Sering kali ia meminta kepada Pradipta untuk berkonsultasi ke dokter kandungan bersama, sayangnya sampai saat ini suaminya selalu menolak dengan alasan pernikahan mereka masih hitungan bulan.
"Berapa lama, Mas kamu di Jakarta?"
"Seninggu, Dis. Habis itu aku nyusul kamu ke Surabaya buat tengok Mama."
"Beneran ya, Mas. Awas aja kalo kamu bohong."
Atas pembicaraan mereka itu, Gadis percaya jika Pradipta akan datang ke Surabaya untuk menyusulnya. Sayangnya sudah seminggu berlalu dan suaminya belum juga menginjakkan kakinya di kota ini. Gadis sudah mencoba menghubungi dua nomer telepon Pradipta yang semuanya tidak aktif. Ada perasaan takut yang menyelimuti hati Gadis. Ia takut terjadi hal buruk kepada suaminya. Ingin rasanya ia bercerita, sayangnya ia tidak mau menambah beban pikiran Mama mertuanya yang terkena stroke setelah jatuh di kamar mandi.
Selama seminggu ia di rumah sakit kedua kakak iparnya bahkan tidak ada yang meluangkan waktunya untuk datang ke sini. Padahal mereka hanya tinggal di Bandung dan Bali. Dua kota yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari Surabaya. Alasan kakak pertama Pradipta yang bernama Susan karena ia masih memiliki bayi berusia tiga bulan dan anak pertamanya yang masih bersekolah tidak bisa ditinggal, sedangkan kakak kedua Pradipta yang bernama Lisa tidak bisa datang menjenguk Mamanya karena ia tidak bisa mengambil cuti tahunannya sudah habis.
Sumpah....
Gadis ingin meledak saat ini namun ia harus meredam emosi dan rasa gemas yang ia rasakan. Andai kata suaminya tidak bisa datang pun ia akan mengerti asalkan Pradipta tidak hilang tanpa kabar seperti ini.
Andai ini juga bukan akhir bulan, maka ia akan dengan senang hati curhat kepada Alena, tapi Gadis tahu bagaimana pekerjaan kantornya dulu setiap menjelang akhir bulan. Kehidupannya setelah menikah hanya fokus mengurus rumahtangga dan suami. Ternyata kini timbul sedikit rasa penyesalan di dalam diri Gadis karena rasa sepi, jenuh dan seperti perempuan tidak berguna muncul di dalam dirinya. Andai saja ia bekerja, mungkin ia tidak akan menjadi seperti ini. Ia masih bisa tertawa bersama teman-temannya dan masih bisa menunjukkan kemampuan dirinya.
Deringan di handphone miliknya membuat Gadis kembali menapaki realitas. Ia menghela napas kala melihat nama suaminya muncul di layar handphone miliknya. Cepat-cepat ia berdiri dari kursi yang ia duduki dan berjalan keluar dari kamar perawatan ibu mertuanya. Saat berada di luar kamar, Gadis baru mengangkat telepon dari Pradipta.
"Hallo, Mas?"
"Hallo, Dis..."
Tanpa bisa menunggu Pradipta selesai berbicara, Gadis sudah menanyakan posisi suaminya kini berada.
"Sekarang kamu ada di mana, Mas?"
"Aku masih di Jakarta, Dis."
Kedua mata Gadis langsung membelalak lebar mendengar semua ini.
"Kok bisa?"
"Enggak dapat tiket pesawat ke Surabaya."
"Ya 'kan kamu bisa naik kereta. Kalo pun kereta juga penuh, bisa kamu naik bus, Mas."
"Maaf, Dis. Handphone aku juga lowbatt dan baru sadar ini setelah bangun tidur. Habis ini aku cari tiket kereta buat nyusul kamu."
"Ya sudah, Mas. Kamu ke sini sekarang!"
"Iya, Dis iya. By the way gimana keadaan Mama?"
Kala Pradipta menanyakan keadaan sang Mama, maka Gadis segera memberitahukan keadaan sang Mama mertua yang kemungkinan besar setelah pulang dari rumah sakit sudah tidak bisa berjalan seperti sedia kala.
"Papa enggak temani kamu di rumah sakit?"
"Mas, jagain Mama aja aku sudah capek, kalo Papa di sini, aku harus jaga dua orang. Kenapa sih enggak pakai perawat lansia aja?"
"Aku maunya gitu, tapi Mbak Susan dan Mbak Lisa enggak setuju."
"Mereka kemarin enggak setuju karena Mama masih sehat dan bisa jaga Papa yang sudah sepuh sendirian. Kalo sekarang Mama juga sakit, terus siapa yang harus jaga? Jangan bilang aku lagi ya, Mas?!"
Pradipta diam, tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibirnya. Karena sejak kemarin, kakak tertuanya sudah mengatakan jika Gadis yang harus merawat kedua orangtuanya mengingat Pradipta adalah anak laki-laki yang akan menerima bagian warisan paling banyak daripada kedua kakaknya, salah satunya adalah rumah yang kedua orangtua mereka tempati di daerah Darmo.
"Nanti kita bicarakan ini setelah aku sampai di Surabaya."
"Okay, Mas."
Karena masih gemas dengan kelakuan keluarga suaminya ini, Gadis langsung menutup sambungan teleponnya dengan Pradipta tanpa menberikan salam perpisahan seperti biasanya.
***