IV. Terselamatkan

269 44 77
                                    

Emlyn kembali berjalan mencoba mengingat-ingat jalan yang tadi dilaluinya hingga tiba ke toilet. Ia bertanya ke beberapa orang yang berlalu lalang, di mana letak pusat informasi, mereka hanya menunjuk tanpa arah yang pasti. Emlyn seakan kehilangan harapan. Ia tidak mengenali siapa pun di tempat ini. Jika Mamanya tahu, dia pasti akan mendapat rentetan kalimat yang menyalahkannya sebab pergi seorang diri tanpa mengajak teman.

Beberapa kali ia keliru mengenali orang yang dipikir adalah teman-temannya. Setelah hampir satu jam ia tersesat, ia berhasil menemukan pusat informasi. Langsung saja ia meminta petugas untuk mengumumkan bahwa ia terpisah dari rombongan.

Petugas memberikannya sebotol minuman untuk diteguknya sambilan menunggu. Terlihat peluh membasahi pinggiran hijabnya. Ia sangat lelah karena kehilangan arah saat mencari teman-temannya.

Harap-harap cemas, Emlyn melihat ke segala arah, tapi tidak terlihat seorang pun yang dikenalinya. Emlyn meminta petugas untuk memberikan pengumuman sekali lagi. Mungkin saja mereka tidak mendengar pengumuman itu.

Emlyn juga meminjam ponsel salah seorang petugas untuk menghubungi ponselnya. Nahas. Ia berada di negara yang berbeda. Tentu saja ia tidak bisa menghubungi nomor ponselnya karena jaringan tidak tersedia. Ia belum sempat membeli kartu milik negara ini.

Emlyn terduduk lemas. Pupus sudah harapannya untuk berkeliling Korea dan mengunjungi tempat-tempat idolanya. Bagaimana ia bisa pergi jika sekarang ia terpisah seorang diri dan parahnya lagi ia buta arah? Sepertinya ia harus memesan tiket dan kembali pulang ke Indonesia. Tidak. Ia tidak bisa melakukannya. Dompet berisi uang tunai ada di dalam tas yang dititipkannya pada Ettan. Lengkap sudah penderitaannya. Mungkin dia harus menunggu selama tiga hari di bandara hingga ia bertemu kembali dengan teman-temannya.

Emlyn tidak mungkin terus-terusan menghabiskan waktu di ruang pusat informasi. Ia pun pamit dengan membawa botol minuman yang sengaja disisakan air setengah lagi. Ia harus mewanti-wanti mana tahu di ketersesatan selanjutnya ia membutuhkan minuman ini. Tidak lupa ia meminta petugas keamanan untuk mengantarkannya ke luar bandara.

Emlyn berjalan tanpa tujuan. Ia hanya melangkah ke mana yang kakinya inginkan. Tak ada lagi semangat membara di matanya. Sirna sudah harapannya menikmati liburan kali ini. Mungkin ini yang dikatakan oleh orang-orang bahwa kenyataan tak seindah ekspektasi.

"Sekarang aku harus ke mana?" tanyanya pada diri sendiri saat berada di persimpangan jalan.

Di matanya yang tampak hanyalah gedung-gedung tinggi seperti yang biasa dilihatnya dalam drama-drama Korea. Ternyata tempat ini memang indah dan sangat bersih. Tidak terlihat sampah tergeletak di sembarangan tempat.

Selagi dirinya menatap gedung-gedung tinggi, terdengar beberapa kali bunyi klakson dari mobil yang terparkir di sampingnya. Mata Emlyn bergerak ke kiri dan kanan. Ia waspada. Bagaimana jika ini merupakan modus penculikan? Bisa tidak berjumpa lagi nanti dia dengan Indonesia. Ia meneruskan langkah ke arah kiri, dan sepertinya mobil itu mengikutinya. Jantungnya semakin berdegup cepat. Ia menelan salivanya berulang kali. Pada siapa ia harus minta tolong, sementara bahasa Korea saja dia tidak bisa.

"Heiii ...." teriak seorang pemuda di mobil.

Emlyn tidak memedulikannya. Ia terus melangkah setengah berlari. Hatinya terus melambungkan doa-doa meminta perlindungan pada Yang Maha Kuasa.

Tidak lagi diikuti oleh mobil, kini tapak kaki yang mengikuti langkahnya. Sepertinya lelaki tadi memutuskan turun dari mobil. Semakin menakutkan saja, pikir Emlyn.

Sebuah tangan berhasil mendarat di bahu Emlyn, menghentikan langkahnya, dan hampir saja menghentikan napasnya. Matanya tertutup. Ia berulang kali beristighfar dalam hati, serta membaca dua kalimat syahadat. Ia berpikir, setidaknya, jikalaupun ia meninggal, ia sudah membaca dua kalimat syahadat.

"Are you okay?" tanya lelaki tersebut yang kini sudah berdiri di depannya.

Lelaki bertubuh tinggi tegap, mengenakan masker dan kaca mata hitam. Ia juga mengenakan jeans selutut. Tunggu. Bukankah ini lelaki yang menghampirinya tadi di bandara? Kenapa hanya seorang diri? Bukankah tadi mereka berdua?

Jantung Emlyn kembali berdegup kencang. Kali ini bukan karena rasa takut, tapi disebabkan oleh rasa yang tak bisa dijelaskan. Ada yang berdesir di dalam sana.

Lelaki itu terus mengoceh dalam bahasanya, tanpa tahu bahwa Emlyn sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkannya.

"Hey, Sir, aku tidak mengerti apa yang kamu katakan," balas Emlyn dalam bahasa Inggris. Beruntung, ia sangat menguasai bahasa internasional itu, sehingga lebih memudahkannya berkomunikasi dengan orang luar.

Lelaki itu menepuk jidat, seakan baru sadar bahwa lawan bicaranya bukanlah warga negara Korea. Ia mengubah perbincangan dengan bahasa Inggris, seperti yang dilakukan Emlyn.

"Apa kamu tersesat? Kenapa kamu seperti orang yang kebingungan tak menentu arah?" Kira-kira begitulah yang disampaikan lelaki tersebut.

"Benar. Aku tersesat. Aku pergi dengan teman-temanku, dan aku kehilangan mereka."

"Apa kamu sudah makan?"

Emlyn menggeleng.

Lelaki itu menggunakan tangan besarnya untuk menarik Emlyn masuk ke dalam mobilnya. Emlyn berusaha menepis, tapi percuma. Lelaki itu lebih kuat darinya. Emlyn hanya duduk diam tanpa merasa khawatir sama sekali.

Senyuman tipis menghiasi wajahnya saat lelaki itu membuka maskernya. Mungkin lelaki itu merasa pengap terus-menerus mengenakan masker.

"Jeo-neun Kim Chanyeol-imnida," ujarnya mengulurkan tangan.

"Emlyn," balasnya singkat dengan wajah yang bersemu merah. Rasa malu dan senang tak bisa dipisahkan.

"Tidak ada yang sia-sia. Sekalipun aku tersesat, nyatanya takdir terus berpihak padaku. Buktinya, orang yang selalu aku kagumi dan biasanya aku lihat di layar, kini sedang duduk di sebelahku. Tuhan, sungguh Engkau mendengar do'aku. Terimakasih telah mengirimnya sebagai penyelamatku." Batinnya tak henti memuji tentang kekuasaan Yang Maha Esa. Ia memang selalu percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Semua hanya berbicara tentang waktu dan kesabaran.

Let Me Love YouWhere stories live. Discover now