LXXII. Emlyn Egois

56 11 5
                                    

Emlyn kelimpungan seorang diri. Tidak ada yang bisa dihubungi untuk mencari tahu keberadaan Chanyeol. Nomor ponsel Chanyeol pun memang tidak bisa dihubungi. Mengirim pesan melalui media sosia rasanya percuma saja. Menghubungi member XO lain di Korea sepertinya akan menambah masalah. Mereka bahkan mungkin sekarang sedang menghujat dirinya habis-habisan. Bukankah Chanyeol pergi dari Korea untuknya? Ternyata yang didapat hanyalah kepahitan dan berakhir dengan kepergian.

Ya Tuhan, Emlyn sekarang benar-benar ingin memiliki kekuatan Kai untuk dapat berteleportasi dan langsung tiba di tempat Chanyeol berada.

"Kamu coba ingat ulang, mungkin dia ada beri petunjuk saat kalian berpisah," pinta Ethan agar Emlyn lebih bersikap tenang.

"Aku hanya menangis di hari itu. Nggak banyak hal yang aku dengar dari mulutnya." Bahkan kini pun Emlyn hanya bisa menangis setelah mendapat kabar buruk itu.

"Satu pun?" pancing Ethan, berupaya menguak ingatan Emlyn yang mungkin tertutupi akan kesedihan berpisah dengan pujaannya.

Masih dalam tangisnya dan pikiran kacau balau, Emlyn mencoba mengingat kembali semua ucapan yang dilontarkan Chanyeol dari balik pintu kamarnya. Sungguh, tidak mudah mengingat momen tersebut. Mengingat hari itu sama saja menambah rasa perih pada lukanya. Mengingat bagaimana ia memutuskan untuk berhenti dan Chanyeol harus pergi seorang diri saat ingin memperjuangkannya. Tunggu, kata itu.

"Dia ... dia bilang akan berjuang. Aku ingat kalimat itu," ucap Emlyn menatap Ethan dengan serius dan penuh harap.

"Berjuang? Itu artinya dia sedang melakukan sesuatu untukmu dan bukan kembali ke negaranya sendiri?" terjemah Ethan semampu akalnya.

Emlyn menggeleng. "Aku nggak ngerti. Dia bilang jangan nunggu dia, dan dia akan berjuang dengan caranya. Itu artinya dia nggak mau ngasih harapan walau dia akan berusaha, kan? Dia takut kecewain aku, tapi malah menghilang seperti ini dan buat semua orang khawatir."

Ethan menarik napas berat. Isi pikiran Emlyn saat ini lebih berat daripada tarikan napasnya. Ethan tidak tahu harus menyarankan sahabatnya ini bertindak seperti apa. Pasalnya, ia sendiri tidak memiliki kedekatan dengan lelaki berdarah Korea tersebut.

Sebentar.

Ethan pergi menjauh dari Emlyn guna menghubungi salah seorang yang bisa menghubungi Chanyeol secara langsung.

"Kamu waktu itu bilang bernegosiasi tentang Wendy Red Velvet melalui Chanyeol, kan?" tanya Ethan pada anak laki-laki di seberang.

"Iya. Kenapa? Wendy ada acara kerjasama dengan kalian? Dia mau datang ke Indonesia? Kapan?"

"Aqmar. Aku lagi nggak bahas Wendy. Aku mau bahas Chanyeol. Kamu bisa hubungi Chanyeol, nggak?"

Di seberang, adik Emlyn itu melengos kesal mendengar kalimat Ethan. "Sejak Bang Chanyeol pergi, Kak Emlyn hapus nomor dia di ponselku. Katanya biar nggak ada lagi caranya mencari tuh abang ganteng. Padahal kan itu ponselku. Kak Emlyn rada nggak waras sejak mereka pisah," cerocos Aqmar memberikan kesimpulan ia tidak bisa berkomunikasi dengan Chanyeol.

Ethan kehabisan cara untuk mengetahui keberadaan Chanyeol. Melihat Emlyn yang mulai kembali kacau, rasa kasihan tak bisa ditampik Ethan terhadap teman dekatnya itu.

Emlyn pasti berpikir, perpisahan mereka hari itu akan menjadi akhir dari kisah cinta mereka. Tapi, siapa yang mampu menduga bahwa Chanyeol membuat kisah baru dengan kepergiannya yang entah kemana. Membuat seluruh orang terdekatnya khawatir.

Dalam kondisi seperti ini Emlyn hanya bisa membuat perandaian yang tidak berujung. Andai ia tidak mengucapkan kalimat pisah malam itu. Andai ia menahan kepulangan Chanyeol. Andai ia merubah perpisahan menjadi perjuangan. Andai ia menggenggam Chanyeol untuk memperkuat pertahanan mereka. Semua hanya kata andai yang tidak bisa diwujudkan lagi. Segala kejadian ini tidak seperti yang diharapkan.

Sebuah notifikasi menghidupkan layar ponsel Emlyn.

Jangan telat pulang. Kita berencana untuk kasih surprise di ulang tahun Mama. Kamu nggak lupa, kan?

Iya. Kalau bukan karena pesan dari Harry itu ia pasti akan melupakan makan malam untuk Danita. Danita pasti akan mengamuk jika tahu ulang tahunnya dilewatkan begitu saja. Untung Danita memiliki suami yang romantis dan memiliki ingatan baik. Sehingga segala hari penting tidak akan terlewati, dan hadiah-hadiah kecil seringkali dibawa pulang.

"Pa...." Emlyn berusaha sekuat mungkin menahan tangisnya agar mereda. Menghubungi Harry saat seperti ini mungkin bukan hal yang tepat, tapi ia harus meminta izin karena akan telat atau mungkin tidak bisa memberi kejutan untuk mamanya. Ia percaya, Harry akan bisa memahami kondisinya sekarang.

"Em, kamu nangis? Apa yang terjadi? Di mana kamu sekarang? Papa ke sana ya." Bukan main cemas papanya saat mendengar putri kesayangannya menangis dari balik ponsel.

"Chanyeol, Pa ... Chanyeol menghilang dan aku nggak tahu dia di mana sekarang. Keluarga dia hubungi aku, berharap aku yang tahu keberadaan dia. Aku jahat banget, Pa. Aku membuat sebuah keluarga kehilangan anaknya." Gagal. Tangis Emlyn semakin kuat, bahkan bukan izin yang diucapkan melainkan curahan kecemasan.

"Orang tuanya menghubungimu? Dia nggak kabari keluarganya kalau nggak jadi pulang ke Korea hari itu?"

"Papa tahu dia nggak jadi pulang?" Emlyn berupaya menerjemahkan pertanyaan Harry yang terasa tidak masuk akal.

"Pa ...." panggilnya ulang.

"Iya. Karena Papa yang mengantarnya ke bandara hari itu, tapi kami berbalik arah. Tapi, dia udah janji untuk mengabari keluarganya."

"Berarti Papa tahu dia ada di mana? Dia di tempat yang aman kan, Pa? He's okay?"

"Papa mengunjunginya sebulan sekali. Dia sehat dan bahagia," jawab Harry dengan santainya.

"Kenapa Papa nggak kasih tahu aku?" jerit Emlyn kesal.

"Saat kamu memutuskan untuk mengakhiri semuanya, apa kamu berpikir masih ingin tahu segalanya tentang dia? Saat kamu memilih berpisah, bukankah kamu udah siap menutup kisah itu? Apa yang kamu harapkan lagi?" Jelas terdengar tegas pertanyaan Harry pada putrinya. Ia ingin putrinya tahu keputusan apa yang harus diambil sekaligus dengan risikonya. Putrinya tidak bisa semena-mena dengan apa yang telah dipilih.

"Pa, bawa aku ke tempat dia. Aku harus ketemu dia. Aku mau lihat dia, Pa," rengek Emlyn mengabaikan semua pertanyaan Harry yang menusuk.

"Setelah kamu bertemu dia, apa kamu akan menyakitinya lagi dengan umpatan dan kemudian terjadi lagi perpisahan?"

"Pa, aku ini anak Papa, kenapa Papa seolah berpihak sama dia?"

"Bukan Papa berpihak pada dia atau kamu. Papa mau, kalian itu nggak bermain dengan ego. Kamu berpikir itu yang baik untuk kalian berdua, apa kamu ada minta pendapat dia saat memutuskan itu? Kamu terlalu dibuai oleh imajinasi yang kamu sendiri nggak bisa atasi. Dulu, saat Mamamu menentang hubungan kalian, kamu membela dia habis-habisan. Saat dia berniat serius dengan keputusan berat yang belum sempat dia ungkap, kamu seenaknya berkata pisah dan abai sama perasaan dia. Kamu nggak bisa seegois itu, Em. Ini bukan hanya hati kamu, tapi hati dia juga. Memutuskan sesuatu terkait hubungan tanpa adanya kompromi, itu egois, Em. Papa nggak pernah setuju tentang itu."

Harry dengan tegas menyatakan jalan yang dipilih Emlyn saat ini adalah salah. Emlyn harus mengakui bahwa ia egois tanpa menampiknya. Semakin menampik, maka akan semakin egois dirinya. Harry tidak mau membiarkan anaknya dewasa dengan keegoisan. Bukan seperti itu caranya manusia tumbuh. Itu hanya jalan menuju kehancuran. Seperti yang dirasakan Emlyn belakangan ini.

"Kalau aku bisa berkompromi, apa Papa mau bawa aku tempat dia?" tanya Emlyn pelan. Ia ragu Harry akan mewujudkan permintaannya setelah memberitahu tentang keegoisannya.

"Papa akan membawamu kalau kamu pulang dan memberi kejutan pada Mama. Ingat, Mama nggak boleh tahu kalau kamu akan bertemu Chanyeol," peringat Harry mewanti-wanti.

"Kenapa Mama nggak boleh tahu, Pa?"

"Jangan rusak hari bahagia istri kesayangan Papa."

Emlyn mengulum senyum. Air matanya sudah mengering di pipi. "Mama beruntung banget."

Let Me Love YouTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon