XXXII. Fase Selanjutnya

105 16 2
                                    

Danita menggedor-gedor pintu kamar putrinya yang terkunci sejak sore tadi. Padahal ini sudah pukul sembilan malam. Anak sulungnya tersebut bahkan tidak keluar untuk malam. Ia hanya mengirim pesan singkat pada Aqmar bahwa akan makan telat malam ini, tidak perlu ditunggu.

Danita tahu apa yang sedang dilakukan putrinya di dalam sana, tapi ia juga memiliki kabar penting yang harus diberitahukan. Tidak boleh telat sama sekali, nanti semangat ceritanya menurun.

Harry sudah memperingati Danita untuk memberitahu Emlyn esok hari, tapi semangat yang menggebu dalam diri serta bibir yang gatal ingin langsung berbicara, tidak membuat Danita mendengar saran sang suami. Selaku suami yang sudah mengenal istrinya tiga puluh tahun lebih, tentu Harry sangat mengetahui watak dan sifat Danita. Keras kepalanya awet dari zaman pacaran hingga anak dua.

"Em ... bukain dong pintunya. Mama dobrak ntar kalau kamu diam di dalam," teriak Danita seraya mengetuk pintu kamar Emlyn.

Aqmar keluar dari kamarnya yang bersebelahan dengan milik Emlyn. Ia terganggu dengan kelakuan Mamanya, dan langsung berdecak kesal, "Mama udah kenal dia sejak dua puluh enam tahun yang lalu, kenapa lupa terus, sih, gimana cara buat dia keluar dari kamar dalam situasi ini?"

Danita terdiam. Benar. Ia melupakan sesuatu yang penting. Emlyn tidak akan mendengar ketukan pintu itu sama sekali waktu dilempar batu. Ia duduk menghadap ke jendela yang terbuka, ditambah dengan musik yang menyempil dalam dua lubang telinganya. Caranya hanya satu. Melakukan panggilan via ponsel. Hal tersebut akan membuat musik yang diputar terhenti, dan ia akan tahu bahwa ada yang memanggil di luar kamar.

Tidak butuh waktu lama untuk melihat hasil dari cara tersebut. Pintu berwarna putih polos tersebut langsung terbuka, menampakkan wujud yang sedari tadi diincar Danita. Emlyn tampak masih segar dengan baju kaos oversize, rambut dicepol dengan satu tusukan puplen, serta di tangannya ada secangkir minuman yang sudah dingin.

Setelah membuka pintu, Emlyn kembali masuk dan menempelkan kembali tubuhnya di atas kursi putar yang sedari tadi didudukinya. Danita melangkah cepat mengikuti putrinya dan duduk di ranjang single berlapiskan seprai monokrom. Sampai saat ini ia masih tidak mengerti, kenapa putrinya tidak memiliki sifat feminim yang kentara. Kamarnya memang rapi, tapi warna dinding, meja, lemari, rak, dan perintilan lainnya semua serba monokrom.

Memasuki kamar Emlyn, tidak berbeda jauh dengan memasuki kamar Aqmar. Keduanya memilih desain warna yang sama, hitam-putih. Secara biaya, ini hal yang sangat ekonomis, karena bisa sekali kerja. Akan tetapi, jika menyadari ada dua gender antar mereka, akan lebih indah jika Emlyn memilih tema kamar dengan warna yang lebih cerah.

"Mama mau ngomong apa sampai gedar-gedor kamar? Pasti hal yang menurut Mama penting banget sampai nggak bisa nunggu besok, kan?" tebak Emlyn memandang Danita dengan tatapan penuh tanya.

Danita yang duduknya sudah seperti cacing kepanasan, tidak sabar untuk menjawab. Perempuan yang hampir kepala lima itu mengatur napas agar apa yang disampaikannya tidak disalahtanggapi oleh anaknya yang satu ini. Salah bicara, Emlyn bisa salah cerna. Anaknya ini tipikal yang harus dibicarakan poinnya langsung tanpa diembel-embeli prakata terlebih dahulu. Setelah disampaikan inti pembicaraan, barulah boleh dilanjutkan dengan beberapa penjelasan—jika diperlukan.

"Anka mau melanjutkan kisah kalian," ucap Danita dengan sangat hati-hati.

Emlyn? Ia menanggapi dengan ekspresi datar. Tidak ada senyum, tidak ada keterkejutan. Bukan karena ia sudah menyangka, tapi ada hal lain yang seketika muncul dalam kepalanya. Tidak ingin memperumit isi kepala, Emlyn menempatkan titik fokus pada lanjutan cerita Danita.

"Tadi Anka hubungi Mama langsung. Mama pikir siapa gitu, karena nomor baru. Terus, dia ngomongnya sopan banget. Dia bilang untuk pertemuan awal kalian, dia tertarik dengan kamu, dan dia mau mengenal kamu lebih jauh. Kamu tahu hal apa yang lebih bikin mama gemes? Dia bilang gini, kalau kamu juga merasakan hal yang sama, dia bakal senang untuk melanjutkan perkenalan kalian, tapi kalau kamu keberatan dia sama sekali nggak masalah untuk berhenti sebatas ini. Macho, kan? Dia itu menghormati kamu dan keputusan yang akan kamu pilih. Belum apa-apa aja udah gini," cerocos Danita dengan eluan yang terlihat jelas di ujung kalimatnya.

Emlyn masih terdiam belum menanggapi. Ia memutar kembali pertemuannya siang tadi dengan Anka. Lelaki itu terlihat tanpa cela. Seperti yang dikatakan Danita, lelaki beralis tebal tersebut memang memiliki sikap sopan dan tertata. Namun, bukankah terlalu cepat untuk memutuskan melanjutkan perkenalan ini? Atau sebenarnya itu perasaan Emlyn saja karena sebenarnya ada hal lain yang ditunggu, dan itu bukan Anka?

"Bisa aja sekarang dia begini untuk menarik hati, Ma. Kita nggak bisa nilai manusia dengan sekali tatap muka." Emlyn memilih jawaban yang tidak menyinggung untuk lanjut atau cukup sampai di sini. Untuk menolak pun Emlyn tidak memiliki alasan yang kuat. Ia menemukan poin tambah di diri Anka atas pendapat yang dituturkannya mengenai seorang penggemar. Namun, ada rasa yang mengganjal jika dia meneruskan hubungan ini. Entahlah. Emlyn belum siap memutuskan sekarang.

Danita menarik napas dan mengangguk menyetujui pernyataan anaknya. "Benar. Tapi, nggak ada salahnya juga kita berpikir positif, daripada keburu curiga akan keburukan," sahutnya.

Andai Mama juga menilai Chanyeol tanpa keburukan, jawab hati Emlyn atas sahutan mamanya.

"Kamu merasa ada yang nggak beres dari dia?" tanya Danita menyelidiki kediaman Emlyn.

Emlyn menggeleng cepat. "Nggak, kok. Cuma nggak ngerasa gimana-gimana aja. Dibilang tertarik nggak, ilfeel juga nggak. Biasa aja gitu. Jadi, kalau ditanya mau lanjut kenalan, aku sih selama bisa jadi teman, ayo aja. Toh, siang tadi aku juga ada ajak dia berteman. Nggak terpikir untuk yang jauh dulu, Ma," jawabnya yang diangguki paham oleh Danita.

Danita pun tidak memaksakan kehendaknya pada Emlyn. Seperti yang dikatakan kemarin, mereka hanya cukup memulai pertemuan dan melanjutkan jika memang saling mau. Meski dirinya yang mengusulkan pertemuan tersebut, keputusan tetaplah di tangan Emlyn, sebab ia yang akan menjalani hidup setelah pernikahan. Danita hanya mengambil peran sebagai penyambung hubungan. Tidak munafik jika dikatakan ia ingin putrinya ini segera menikah. Setiap orang tua ingin anaknya menemukan pasangan hidup yang tepat dan bahagia sebelum ajalnya duluan tiba. Itu adalah ketakutan terbesar Danita. Memang, takdir tidak pernah ada yang tahu. Sebab itu pula lah, ia ingin menyegerakan segalanya. Toh, menyegerakan pernikahan juga perbuatan yang mulia.

"Mama nggak akan memaksamu. Kalau hatimu berkata dia bukan orang yang tepat, Mama nggak akan menolak kalau kamu hanya ingin sebatas berteman dengannya. Silaturrahmi dijaga itu perlu. Jangan menolak dengan cara menyakitkan," pesan Danita pada putrinya sebelum akhirnya beranjak keluar dari kamar Emlyn.

Sepeninggal Danita, Emlyn memeluk kaki dengan dagu yang menempel di lutut. Hatinya tak bisa berbohong. Ia masih menanti lelaki itu. Lelaki yang tidak berkabar sama sekali, walau sekadar membaca pesannya. Apa sulitnya membuka sebuah pesan?

"Nggak ada kabar dari kamu bukan berarti aku harus milih dia, kan?" tanya Emlyn pada diri sendiri sembari membanyangkan lelaki bertelinga caplang itu.

Let Me Love YouWhere stories live. Discover now