XXIX. Permintaan Mama

118 12 0
                                    

Emlyn pulang ke rumah dengan kondisi yang tidak sepenuhnya baik-baik saja. Walau senang ada kabar dari Chanyeol, tapi ia merasa lelaki itu tidak baik-baik saja. Pastilah ada kegelisahan serta beban tersendiri bagi seorang idola saat dirundung skandal yang tidak pernah diinginkannya.

Emlyn merebahkan tubuh di sofa, di samping Aqmar yang sedang membolak-balikkan buku pelajaran. Sedikit membosankan melihat rutinitas adiknya yang selalu saja membaca buku pelajaran. Tidakkah adiknya ingin membaca komik saja? Atau novel karyanya. Sebanyak beberapa karya yang telah diterbitkan dan difilmkan, tidak ada satu pun yang pernah dibaca oleh adiknya ini. Alasannya sungguh tak terduga, semua itu hanya fiksi belaka. Zaman sekarang, anak milineal sepertinya jauh lebih tertarik dengan karya fiksi dari pada ilmiah. Adiknya memang berbeda. Sepertinya lelaki itu adalah kelahiran zaman batu yang muncul di masa sekarang melalui perjalanan waktu.

"Aku membaca skandal itu. Itu Kakak, kan?" Aqmar bersuara dengan atensi yang tidak lepas dari buku setebal 200 halaman itu.

Emlyn segera membekap mulut adiknya karena khawatir Danita akan mendengarnya. Musibah yang sempat tertunda, bisa terjadi sekarang andai perempuan yang telah melahirkannya itu mendengar apa yang diucapkan oleh adiknya barusan.

"Diamlah. Jangan buat kekacauan sekarang. Otakku sedang mumet mikirin hal ini," balasnya dengan bisikan.

"Kakak, kan, tipikal yang bodo amat, jadi kenapa harus mumet dengan hal yang udah diklarifikasi? Udah tugas dia menyelesaikan hal ini di sana. Karena dia tahu, kalau nggak dijelasin, karirnya yang akan tamat," sahut Aqmar sekenanya yang berhasil membuat Emlyn berdecak kesal.

Ia juga tidak tahu pastinya kenapa ia harus sampai pusing memikirkan hal yang—mungkin—sudah selesai ini. Padahal, ia hanya merasakan ketertarikan pada Chanyeol sebagai seorang penggemar yang sesekali berhalu ria. Tidak lebih. Mungkinkah ini karena rasa bersalah sebab telah menimbulkan masalah? Atau mungkinkah—.

"Siapa yang karirnya tamat?" Danita menyapa kedua anaknya dengan membawakan sepiring roti berisikan selai kacang. Ia juga turut menyobek salah satunya untuk disantap oleh Aqmar yang sedang belajar.

"Teman-teman perempuanku di sekolah terlalu berisik hanya karena seorang artis yang terkena skandal. Padahal ia sudah mengklarifikasi hal itu hari ini, tapi mereka masih saja merasa ada yang nggak beres," jawab Aqmar seadanya. Ia menutup buku sejenak untuk berbincang dengan kedua perempuan ini.

"Begitulah kehidupan para artis. Nggak bisa hidup tenang dan nggak bisa bertindak semaunya. Mereka itu sering kali dijadikan contoh oleh masyarakat, padahal pada dasarnya kita semua manusia yang sama, yang bisa aja berbuat salah. Apalagi kalau udah menyangkut kepribadian. Mana bisa kita-kita ini mengatur kehidupan pribadi seseorang, sekali pun dia seorang artis terkenal. Dia punya hak dan kewajiban atas dirinya sendiri yang nggak bisa dicampuri oleh orang lain."

Penuturan Danita berhasil membuat Emlyn terkagum. Mamanya memang perempuan yang cerdas dan memiliki sudut pandang tersendiri akan suatu hal. Ia berprinsip, sesuatu yang salah tetap salah, tidak bisa dibenarkan, begitu pula sebaliknya. Jadi, Danita tidak akan pernah membela sesuatu yang salah, sekali pun di mata orang lain itu adalah tindakan yang benar.

Dalam hal ini, yang membuat Emlyn terkagum, secara tidak langsung Danita sedang membela Chanyeol. Meski tidak diketahui, jika Danita tahu artis yang mereka maksud adalah idola putrinya, apakah pembelaan itu akan terjadi atau tidak. Namun demikian, setidaknya ada yang tetap berpihak pada hal yang benar dan semestinya.

"Kenapa kamu yang senyum-senyum sendiri?" tanya Danita melihat ekspresi Emlyn yang merekah.

Emlyn mengulum senyumnya malu, "Nggak kenapa-napa, kok. Aku senang aja dengan pendapat Mama. Mama emang terbaik dalam hal membela," pujinya. Sementara Aqmar yang mengetahui watak kakaknya, terkekeh geli mendengar jawaban sang kakak.

"Mama terbaik, kan? Kalau begitu kamu bakal membalas kebaikan Mama juga dong," tanya Danita sambil menyuapi Emlyn sesobek roti dengan senyuman penuh maksud yang membuat Emlyn curiga.

"Mama masih—"

Danita mengangguk dengan cepat sebelum putri sulungnya melanjutkan pertanyaan itu dengan sempurna. "Kali ini kamu nggak boleh nolak. Kamu udah ke Korea seorang diri, tersesat. Itu efek kamu nggak dengar apa kata Mama. Sebagai gantinya, kamu harus mau kenalan dengan pilihan Mama. Dia tampan dan sukses. Dia punya penginapan di Bali," ucap Danita memperkenalkan secara singkat resume calon menantunya.

Aqmar menautkan kedua alisnya. Ia memiliki sebuah pertanyaan yang hendak diajukan sedari dulu, tapi selalu tertunda karena jika sudah membahas perjodohan, pastilah kedua perempuan ini akan beradu mulut. "Aku boleh menyela? Ini sangat serius. Lebih serius dari niat Mama menjodohkan Kak Emlyn." Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan izin dari Danita, sehingga ia bisa melanjutkan mencari tahu apa yang selama ini mengganjal dalm pikiran. "Dari mana Mama mendapat para lelaki itu? Anak teman-teman Mama kesulitan dalam perjodohan semua? Gimana bisa banyak anak muda yang mengalami kesulitan yang sama dengan satu perempuan? Apalagi mereka itu anak teman-teman Mama. Apa dulunya kalian mendapat kutukan atau sumpah serapah oleh musuh sehingga anak-anak kalian akan sulit menemukan pasangan? Apa itu artinya aku juga akan mengalami hal serupa?"

Pertanyaan-pertanyaan awal yang diajukan oleh Aqmar masuk akal bagi Emlyn. Ia sama sekali tidak pernah kepikiran bagaimana bisa Mamanya memiliki banyak kenalan dengan putra yang belum menikah. Akan tetapi, pertanyaan terakhir yang diajukan oleh adiknya membuatnya terpaksa memukul tubuh lelaki yang duduk di sampingnya. Itu pertanyaan yang sangat mengada-ada.

Danita mengelus dada menghadapi putranya yang kelewat pintar. "Mama baru menjodohkan kakakmu dengan lima lelaki. Belum banyak. Belum mencapai angka sepuluh. Kamu lebay sekali bertanya seperti itu. Pastinya mereka benar-benar anak dari orang yang udah Mama kenal, bukan asal-asalan ketemu di jalan terus tanya anaknya lajang atau duda. Mama tentu memikirkan juga sosok seperti apa yang tepat untuk kakakmu. Mana mau Mama anak perempuan Mama satu-satunya dapat pasangan yang salah. Pernikahan itu sekali seumur hidup. Nggak boleh ada kata cerai, Allah nggak suka. Harus mencari yang sepemikiran, sevisi-misi. Mama juga bukan yang begitu ada kenalan langsung minta mereka menikah, kan? Mama minta mereka untuk bertemu dulu. Tapi, kakakmu aja yang menghindar duluan. Entah apa yang ditakuti. Padahal kalau merasa nggak cocok, kan, tinggal menolak." Danita bersuara panjang lebar, menjelaskan pada Emlyn apa yang selama ini tidak terpikirkan olehnya. Selama ini, Emlyn berpikir, bahwa saat ia dijodohkan berarti ia harus menikah dengan lelaki itu. Ternyata tidak demikian. Ia mengutuk diri karena telah berpikira terlalu sempit hanya karena takut menikah dengan orang yang tidak sepemikiran dengannya.

Tanpa rasa gengsi ia berpindah posisi duduk ke samping Danita dan memeluk perempuan yang telah melahirkannya tersebut. "Maafin Em, Ma. Em nggak berpikir sejauh itu. Em emang belum kepikiran untuk nikah sama sekali, pun karena Em belum merasa tertarik dengan laki-laki yang pernah Em kenal," ucapnya dengan sambungan dalam hati, kecuali Chanyeol.

Danita menepuk-nepuk lengan putrinya dan menagih jawaban, "Jadi, gimana? Kamu mau ketemu dia?"

Emlyn melepaskan pelukannya. Ia berpikir sejenak. Menimang-nimang tentang hatinya yang risau dengan berita belakangan ini. Namun demikian, ia juga harus turut memikirkan masa depan yang sebenarnya. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk berani mengangguki permintaan tersebut. "Kapan aku harus bertemu dia?"

"Besok gimana?" tawar Danita cepat.

"Oke."

Let Me Love YouWhere stories live. Discover now