LXXVI. Isi Hati Mama

48 9 2
                                    

Danita lebih ceria dari biasanya. Ia berlenggang di dapur sambil bernyanyi. Emlyn dan Aqmar bersitatap melihat tingkah mamanya yang jarang-jarang seperti ini. Mungkin kali terakhir Danita berdendang di dapur adalah saat menyiapkan pertemuan antara Emlyn dan Anka. Sudah lama sekali.

"Susu untuk dua anak kesayangan Mama, dan teh hangat untuk suami tercinta," ujarnya sembari menyajikan minuman untuk keluarganya. Senyum itu masih tidak lekang di bibirnya.

"Mama menang arisan ya?" tebak Harry melihat kelakuan istrinya. Danita memang selalu menyajikan sarapan untuk suami dan anak-anak, tapi dengan semangat ekstra seperti pagi ini patut dipertanyakan.

"Mama dapat arisan bulan lalu, Pa. Enggak lihat, Mama udah ganti pemanggang roti dengan yang baru? Lebih canggih, hasilnya juga lebih renyah," sahut Danita bangga dengan pembeliannya.

"Aku lihat mesin pemanggang roti Mama masih yang lama," balas Aqmar sambil menyantap nasi putih yang berlaukkan ikan sambal dan tempe goreng.

"Bukan pemanggang roti untuk jualan, Mar, tapi untuk kita sehari-hari. Kamu enggak ngerasa roti kemarin pagi yang Mama panggang itu lebih krenyes dan nikmat?" Danita mencoba untuk memberitahu tanpa emosi.

"Roti panggang ya tetap roti panggang, Ma. Mana ada beda rasa karena alat pemanggangnya berubah," timpal Harry sekenanya yang disetujui anggukan Aqmar.

Emlyn dapat melihat raut wajah Danita berubah seketika karena ucapan sang suami. "Laki-laki emang enggak ngerti apa-apa tentang alat masak. Tahunya makan doang. Asal enak aja udah cukup," omel Danita. Ia berjalan lewat belakang Harry untuk duduk di kursinya sendiri setelah selesai menyajikan semua sarapan di atas meja.

Harry menanggapi hal tersebut cukup dengan mengangkat bahu dan melanjutkan kunyahan berikutnya.

"Lalu, apa yang membuat Mama begitu bahagia?" Emlyn kembali mencari tahu dan itu berhasil membuat Danita hilang kesalnya.

Tangan danita mengambil sesendok ikan untuk diletakkan di pinggir nasi. "Akhirnya keinginan Mama selama ini hampir terwujud seutuhnya," jawabnya masih dengan senyum yang mengembang.

"Keinginan? Memangnya selama ini ada keinginan Mama yang enggak Papa wujudkan?" Kini Harry menjadi serius. Selama masa pacaran sampai menikah, ia selalu mendengar segala keinginan Danita dan berusaha mewujudkannya.

Danita memainkan jemari telunjuknya ke kiri dan ke kanan secara berulang. "Ini bukan dari Papa, tapi Emlyn." Danita menolehkan fokusnya pada Emlyn yang tidak tahu mengapa ia dijadikan alasan dalam keinginan mamanya. "Akhirnya dia akan menikah." Danita melanjutkan seruan tersebut begitu bersemangat.

Emlyn tersedak. Aqmar sigap menyerahkan gelas minum untuk kakaknya dan menepuk punggung Emlyn.

"Mama bersemangat sekali, padahal dulu Mama yang menentang keras hubungan mereka," celetuk Aqmar.

Danita menahan semangatnya. Bibir yang semula melengkung kini hanya berbentuk garis lurus. Ia meletakkan alat makan dan bersiap untuk berbicara panjang.

"Mama rasa kalian tahu apa alasan Mama bersikap sekeras itu. Mama enggak pernah menghakimi pekerjaan atau kepribadiannya, kan? Saat Emlyn tersesat di sana, Mama senang karena Emlyn dipertemukan dengan keluarga yang baik. Memikirkan bagaimana Emlyn harus tetap beribadah dengan memberikan mukenah, padahal mereka bukan muslim. Toleransi antar beragama yang mereka miliki sangat tinggi, dan Mama kagum dengan hal itu. Lantas, itu harus membuat Mama restu? Enggak bisa selama kalian dua penganut yang berbeda. Setinggi apapun toleransi yang kalian miliki, sebesar apapun keikhlasan kalian dalam memahami, suatu saat pasti akan runtuh. Pasangan yang seiman aja bisa hancur kalau pondasinya enggak kokoh, apalagi yang berbeda.

"Saat Mama mendengar dari Papa kalau dia mulai mendalami Islam di saat hubungan kalian berakhir, Mama terharu, menangis dan terus berdoa, semoga dia melakukan itu bukan demi kamu. Karena ketika kita memutuskan hal besar demi seseorang, bukan demi diri sendiri, itu enggak akan bertahan lama. Apalagi ini menyangkut keyakinan. Maaf, Em, karena Mama membiarkanmu larut dalam keputusasaan setelah perpisahan kalian. Mama juga enggak bisa memberimu harapan yang belum pasti. Mama senang karena akhirnya dia konsisten dan memutuskan hal yang dia yakini baik untuknya.

"Melihat latar belakang keluarga, kehidupan, tata krama, dan kini keputusannya yang begitu besar, Mama yakin dia akan memberimu kehidupan sebagaimana mestinya. Mama merasa enggak akan menyesal kalau harus mengikhlaskan kamu hidup dengannya. Mama akan ridha." Raut bahagia tadi kini berubah menjadi haru. Pelupuk mata Danita sudah digenangi bulir yang jika dikedipkan saja akan langsung menetes.

Emlyn pun sama. Ia bahkan sudah menangis mendengar kalimat-kalimat yang disampaikan Danita. Menjadi orang tua memang tidak mudah. Harus banyak yang dipikirkan untuk keberlangsungan hidupnya, apalagi terkait pasangan.

Emlyn yang sedari dulu hanya menilai dari sudut pandang perasaannya yang menggila terhadap Chanyeol, setelah mendengar penjelasan Danita semua terasa wajar. Ibu mana yang rela membiarkan anaknya hidup dalam perbedaan seumur hidup? Ibu mana yang tega melihat anaknya nanti kesakitan karena perbedaan keyakinan dalam berpedoman? Ibu mana yang ikhlas, jika suatu saat anaknya ditimpa kemalangan harus saling mendoakan pada Tuhan yang berbeda? Lebih baik membiarkan anaknya tersakiti karena dilarang sejak awal dibanding melihatnya terisak setiap hari karena terlanjur menjalani.

"Mau peluk Mama, tapi kita terpisah meja," ucap Emlyn menahan isak tangis.

"Mutar aja, Kak. Enggak jauh kok, enggak sampai satu kilometer," tanggap Aqmar pada kakaknya yang dramatis. "Tapi, kalian tahu kabar terbaru nggak?" tanya Aqmar dengan santai. Melihat tidak ada yang menyahut, Aqmar melanjutkan, "Sepertinya di media sosial udah tersebar kabar tentang Bang Chanyeol pindah agama. Ada beberapa netizen yang mengaitkan hal itu dengan Kak Em, dan ada juga yang mendukung putusannya."

"Apa?" Danita tidak bisa menutupi keterkejutannya. Sementara Emlyn diam saja, sepertinya dia sudah melihat berita ini tapi memilih untuk tidak berkomentar.

"Gini nih kalau misal punya hubungan dengan orang yang punya nama. Apa-apa disalahin, apa-apa dikaitkan. Dulu, pas kalian ke pasar, media sibuk bergosip tentang dia yang punya hubungan dengan muslimah. Pas konser juga mereka omongin tentang kamu. Sekarang terkait agama mereka juga nyeret-nyeret nama kamu. dasar netizen! Kenapa enggak memikirkan alasan lain, sih?" Danita yang mudah tersulut emosi tidak bisa membiarkan hal ini.

"Mama tahu semua yang terjadi selama ini?" tanya Emlyn.

"Kamu anak Mama, wajib Mama tahu semuanya," cetus Danita.

"Kalau Mama siap menerima Chanyeol sebagai menantu, Mama juga harus siap dengan segala asumsi media. Kita enggak bisa menahan mulut orang yang berbicara, tapi kita bisa tutup telinga dan mata untuk enggak menyaksikan itu semua," tanggap Harry berupaya memberikan solusi pada istrinya yang emosian.

Mengabaikan pendapat Harry, Danita menodong Emlyn. "Kamu pasti tahu hal ini, kan? Udah obrolin dengan Chanyeol? Apa tanggapannya? Dia diam aja?"

Emlyn mengangkat bahu. Bukan tidak tahu, ia hanya tidak ingin menjelaskan sesuatu pada Danita yang belum tentu bisa diterima. Emlyn tidak memaksakan aksi apapun dari Chanyeol terkait hal ini. Ia sependapat dengan Harry terkait menutup mata dan telinga. Itu lebih mujarab baginya dibanding harus terus mengikuti arus media. Mereka tidak akan pernah kenyang dan akan selalu berspekulasi sesuka hati.

"Dia pasti tahu apa yang harus dilakukan, Ma." Cukup itu saja jawabannya, meski itu jelas tidak cukup untuk memuaskan hati Danita.

Let Me Love YouDär berättelser lever. Upptäck nu