XXIV. Kisah di Korea

114 13 0
                                    

Sepeninggal Alaric, hanya ada Emlyn, Ettan, dan tentunya Nita. Ettan dan Nita saling bersenggolan untuk memulai percakapan. Pasalnya, Emlyn sedari tadi sibuk dengan ponsel tanpa melihat ke arah mereka. Bukan berarti pendendam, hanya saja ia merasa wajar untuk masih kesal dengan tingkah mereka. Meski sebenarnya sudah lumayan mereda setelah mendapat penjelasan dari Alaric.

"Maaf." Satu kata itu keluar dari bibir Emlyn yang berhasil membuat kaget kedua temannya.

"Kamu minta maaf? Kami yang salah, kenapa kamu yang minta maaf?" tanya Nita tidak mengerti.

"Mungkin karena dia nggak terima permintaan maaf kita, jadinya dia minta maaf balik," sahut Ettan sekenanya.

Emlyn mengetukkan ujung siku ponsel tepat di atas punggung tangan Ettan yang diam di atas meja. "Aku masih marah sama kalian. Aku kecewa dengan cara kalian yang meninggalkan aku begitu aja di negeri yang baru pertama kali aku kunjungi. Terutama kamu, Nit. Kamu tahu aku buta arah, tapi saat itu terkesan kamu nggak peduli dan nggak berusaha untuk nyari aku. Wajar, kan, aku marah?"

Ettan dan Nita diam. Ini bukan saatnya mereka menyela. Mereka memberi waktu dan ruang agar Emlyn bisa mengeluarkan emosinya dan setelah itu mereka bisa berbaikan.

"Setelah aku mendengar penjelasan Pak Alaric, aku bisa sedikit memahami kondisi kalian. Sepertinya aku juga salah karena aku pergi begitu aja dari bandara. Tapi, aku beneran nggak tahu kalau pas aku ambil jalan itu tembusnya malah ke luar bandara. Yaudah, aku jalan aja ke mana yang sampai. Aku mikirnya kalian juga nggak nyari aku padahal udah dua kali diumumin sama pihak informasi, tapi kalian nggak datang-datang," lanjut Emlyn sambil mengerucutkan bibir.

Ettan menepuk-nepuk pundak Emlyn yang berbalut kemeja berbahankan flanel. "Kamu pasti ribet banget ya tinggal di negara yang kamu nggak kenal siapa pun? Padahal kamu pengen ke tempat idolamu itu. Udah terlanjur kesasar, jangankan jumpa idola, makan aja pasti kamu susah, kan?" ujarnya sambil memasang tampang berduka.

Nita pun turut bersedih mendengar ujaran Ettan. Ia tahu betapa inginnya Emlyn bertemu—atau setidaknya berada di perusahaan sang idola—saat tiba di Korea. Itu bahkan menjadi wish list teratasnya. Namun, mereka berpikir hal tersebut tidak terjadi karena kejadian malang yang menimpa Emlyn.

Emlyn menggaruk tengkuknya sambil tersenyum miring. "Aku nggak sesial itu, kok," gumamnya.

Ettan dan Nita mendekatkan pendengaran mereka ke arah Emlyn. Tidak mengerti apa yang dimaksud Emlyn melalui kata-katanya, dan berharap Emlyn akan memberi penjelasan setelah ini.

"Aku percaya di setiap kejadian—semalang apa pun itu—pasti ada hikmahya, dan aku membuktikan hal itu. Nggak ada yang perlu aku sesali. Dan setelah aku pikir-pikir aku harus berterima kasih dengan kalian karena nggak mencariku,"ucapnya dengan sedikit tergagap.

Baik Ettan maupun Nita masih saja tidak mengerti arah pembicaraan Emlyn. Perempuan berhijab itu awalnya marah-marah karena ditinggalkan, dan kini mengubah pikirannya dengan mengucapkan rasa terima kasih. Hal ini semakin membuat Ettan dan Nita penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu selama di Korea.

"Bisa kamu berbicara lebih jelas, Em?" pinta Nita.

"Aku menangkap sesuatu yang kamu sembunyikan dari kami. Ayolah, kamu nggak bisa merahasiakan hal penting dari kami. Kamu harus berbagi. Apa kamu mendapatkan pengalaman yang seru di sana? Apa kamu bertemu lelaki tampan dan menolongmu? Atau mungkinkah kamu bertemu idolamu secara nggak sengaja?" Ettan mulai menebak-nebak tentang apa yang terjadi pada perempuan yang dikenalnya sejak dua tahun lalu itu.

Nita mengibaskan tangannya saat mendengar tebakan Ettan yang terakhir. "Kalau nebak itu mikir dulu, jangan ngaco. Nggak semudah itu bertemu idola. Mereka yang udah mati-matian ikut fan meeting aja ada yang masih belum beruntung. Apalagi si Emlyn yang nyasar," remeh Nita.

Mendengar tanggapan tersebut membuat mata bulat Emlyn melotot dengan alis yang bertaut. Kalian meremehkanku? Justru karena aku kesasarlah aku bisa bertemu mereka. Mungkin kalau saat itu aku masih bersama kalian, aku nggak akan merasakan gimana bisa bertemu idola, hidup serumah dengannya, makan di meja yang sama, bersenda gurau, bahkan dibawa jalan-jalan keliling Korea. Ah, kalian memang bukan teman yang mendukung impian temannya. Emlyn hanya menggerutu dalam hati dengan wajah kesal.

"Mari kita dengar jawaban Emlyn biar lebih pasti. Apa yang kamu syukuri selama di sana?" tagih Ettan tidak sabar ingin mendengar cerita Emlyn.

Emlyn menelengkan kepala seraya berpikir kejadian apa yang bisa diceritakannya pada mereka berdua. "Kalian ingat tempat-tempat yang tuliskan dalam daftar kunjungan? Aku berhasil pergi ke beberapa tempat yang kutulis. Sungai Han dan Bukcheon Hanok Village," ungkapnya sambil mengenang. Mata Nita berbinar mendengar jawaban Emlyn. Ia tak sabar mendengar kelanjutannya. Emlyn yang mengerti bahwa kedua temannya ingin mendengar lebih pun mulai berbagi kisah, "Aku ditolong oleh orang yang sangat baik. Awalnya aku pikir dia penculik, tapi ternyata aku salah. Dia memberikanku tempat tinggal, makanan, bahkan pakaian. Dia tahu bahwa aku tersesat, dan dia membawaku untuk mendatangi beberapa tempat di Korea yang memang jadi tempat wisata. Bukankah itu bentuk keberuntungan? Karena itu aku nggak perlu untuk menyesal telah tersesat."

Nita yang mendengar cerita singkat Emlyn terlihat takjub. Ketakjuban itu berubah menjadi rasa penasaran berlanjut saat pertanyaan Ettan terlontar, "Apa dia laki-laki?"

"Laki-laki dan perempuan," jawab Emlyn cepat. Ia tidak berbohong. Selain Chanyeol, ada Yoora, Mama Park, dan Papa Kim di sana. "Mereka pribadi yang hangat, yang tidak mempermasalahkan perbedaan. Ya, perbedaan." Kata terakhir itu tersebut dengan lirih dengan tatapan kosong tapi bibir menyunggingkan senyuman.

"Kalian tahu, ada satu hal yang sampai sekarang aku masih menunggu jawaban mereka. Mereka selalu menyebutkan tentang perbedaan untukku. Saat aku bertanya, kenapa mereka baik padaku padahal nggak tahu aku siapa, mereka menjawab karena aku berbeda. Ketika mereka sedang berbicara serius, mereka kembali mengungkap bahwa aku berbeda. Aku nggak mengerti arah berbeda yang mereka maksud. Yang aku tahu bahwa kami memang jelas berbeda, baik itu dari suku, negara, bahkan agama," papar Emlyn yang mengajak keduanya ikut berpikir.

Ettan memetik jarinya setelah berpikir beberapa saat. Matanya mendelik, "Gimana kalau ternyata, mereka tertarik padamu? Jadi, meskipun kamu berbeda, mereka nggak akan menyalahkan perbedaan itu karena mereka udah terlanjur tertarik sama kamu. Mereka menepis perbedaan itu dan hanya berpedoman pada rasa tertarik yang muncul."

Nita mengangguk-angguk sepakat. "Aku sependapat. Itu bisa aja terjadi. Hal apa lagi yang membuat orang asing mengabaikan perbedaan kalau bukan ketertarikan? Waaah, kamu berhasil menarik pikat orang Korea? Bisa beritahu aku ciri-ciri orang yang kamu temui? Tampankah?" tanya Nita bersemangat.

Pendapat Nita membuat alam pikir Emlyn melambung. Benarkah itu rasa ketertarikan? Aku ingin menepisnya, tapi gimana kalau benar dia tertarik padaku? Ah, jantungku rasanya mau lompat di jalanan sambil salto dan terbang lagi ke Korea. Oh, ayolah ini terlalu berlebihan. Tapi, gimana kalau seandainya benar? Emlyn sangat girang saat memikirkan hal tersebut.

"Kamu nggak dengar tadi kalau katanya laki-laki dan perempuan? Bisa jadi mereka itu pasangan. Itu artinya mereka tertarik dengan kepribadian Emlyn dan bukan sebagai couple, tapi sebagai keluarga," tandas Ettan menjatuhkan harapan Emlyn.

Seketika musnah apa yang dibayangkan Emlyn. Jantung yang tadinya ingin lompat di jalanan kini lebih memilih mengurung diri jauh di dalam tubuh Emlyn. "Keluarga. Hmm, sepertinya itu jawaban paling tepat," lirihnya dengan senyum segaris.

Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang