LIII. Lelaki Termanis

78 8 3
                                    

Emlyn memutar otak demi mencari cara agar esok ia bisa bertemu dengan member XO guna melakukan gladi. Sampai sekarang, sudah pukul tiga dini hari, ia belum bisa tidur setelah mendapat ancaman dari Danita. Ia membuka tirai jendela, berpikir mungkin bisa kabur seperti adegan di film-film. Sial, ada jerjak yang sengaja dipasang untuk menghindari masuknya maling. Jika sudah begini, maling memang tidak bisa masuk kamarnya, serta ia pun tidak bisa kabur dengan leluasa.

Ia mengintip dari lubang pintu, memastikan kondisi di ruang tengah aman terkendali. Dapat dipastikan, di luar sana pasti masih sangat dingin berhubung subuh pun belum tiba. Akan tetapi, ia bisa beristirahat di lobi hotel atau masjid terdekat sebelum bertemu dengan member XO.

Fix. Emlyn menyukai ide tersebut. Kadangkala memang harus berkorban lebih demi tercapainya tujuan. Ini salah satunya. Emlyn segera mengambil salah satu hoodie yang menggantung di dinding dan segala perlengkapan yang ia butuhkan langsung dimasukkan dalam ransel. Kembali mengecek situasi di luar kamar, kali ini ia menempelkan telinganya di badan pintu, ternyata memang aman.

Pintu dibuka dengan sangat hati-hati. Jangan sampai mama atau pun adiknya bangun dan melihatnya yang siap untuk kabur. Tidak lupa ia membaca basmalah agar rencana kaburnya berjalan dengan lancar.

Sebagaimana ia membuka pintu dengan hati-hati, ia juga menutup pintu dengan hati-hati. Ruangan tengah ini gelap, hanya sinar lampu dari teras rumah yang secara samar menerangi Sebagian sisi ruang. Tanpa mengenakan alas kaki, ia berjinjit ketika mengambil langkah agar tidak ada yang terjaga. Sangat hati-hati. Mengendap-endap bagaikan pencuri.

"Emlyn?" Sebuah suara menegurnya seraya dengan lampu yang dinyalakan.

Mampus. Belum juga lima langkah udah ketahuan aja. Bakal dikurung sebulan ini kayaknya. Jangankan ketemu idola, cari duit aja bakal terhalang ini, cerocosnya dalam hati dengan mata terpejam.

Emlyn memutar badannya ke arah kanan, tepatnya menghadap ke pintu samping. Di sana berdiri Harry yang sepertinya baru pulang dari lembur. Mengurangi rasa curiga, Emlyn melebarkan bibirnya hingga menampakkan deretan gigi putih. Dengan lekas ia mendekati Harry dan menggandeng lelaki tegap tersebut.

"Kamu kenapa ngendap dalam gelap?" tanya papanya tanpa curiga sama sekali.

"Papa sayang aku?" tanya Emlyn tanpa menjawab pertanyaan Harry. Ia memasang mata iba tanpa melepaskan gandengannya sama sekali.

"Kamu sedang mengigau? Tengah malam begini keluar kamar dengan penampilan begini, dan itu pertanyaanmu? Lebih baik Kembali ke kamar dan lanjutkan tidur nyenyakmu," titah Harry. Wajahnya begitu lelah dan matanya juga sepertinya sudah sangat ingin terpejam.

"Aku butuh bantuan Papa," sahut Emlyn tidak menggubris perintah papanya sendiri.

"Kamu mau apa lagi kali ini? Apa nggak bisa kita bicarakan besok? Badan papa udah pengen cepat-cepat nempel di kasur."

"Kalau Papa nggak membantuku sekarang, nggak akan ada kesempatan lagi di besok. Aku akan frustrasi, gila, dan kehilangan selera hidup karena ini," ucapnya terdengar seperti ancaman, padahal nyatanya ia hanya sedang membujuk.

Harry melayangkan tatapan selidik. "Kamu bertengkar lagi dengan Mama? Masalah apa lagi kali ini yang kamu sebabkan?" Rasa kantuk hilang seketika berganti dengan rasa penasaran akan ulah si sulung keras kepala satu ini.

Emlyn melipat bibirnya sendiri. Matanya menerawang tak pasti. "Mama aja yang berlebihan. Terlalu mengikuti isi pikirannya sendiri tanpa mempertimbangkan kemungkinan lain. Nggak mau kasih kesempatan dengan melihat hal-hal yang sebenarnya nggak seperti yang Mama pikirkan."

"Apa bedanya dengan kamu? Kamu juga begitu, makanya kalian sering beradu," tanggap Harry cepat.

Emlyn menghela napas berat. Waktu terus berjalan, dan ia masih berdiri di sini meladeni papanya yang belum tentu mau menolongnya. Haruskah ia segera lari mumpung pintu samping terbuka? Tapi, jika demikian, maka seisi rumah akan menolak kepulangannya nanti. Bisa lebih berbahaya.

Harry menatap putri sulungnya lekat. Dilihat ada kecemasan di sana, serta mata yang sedari tadi terus mencuri pandang ke arah kamar utama miliknya.

"Jika Papa membantumu kali ini, kamu yakin bisa menghadapi Mamamu setelahnya?" tanya Harry memastikan. Ia tidak pernah meragukan Emlyn, sebab ia tahu putrinya tersebut tidak bertindak di luar kendali. Akan ada pertimbangan-pertimbangan sebelum ia memutuskan sesuatu.

"Pa, ketika Papa telah membuat janji temu dengan salah satu pasien, lalu tiba-tiba salah satu petinggi Rumah Sakit menghalangi si pasien karena adanya kekurangan yang tidak masuk akal, apa Papa akan diam aja? Membiarkan si pasien tanpa memeriksanya lebih dahulu? Papa lebih memilih ikuti larangan petinggi karena mengkhawatirkan posisi Papa yang terancam dibanding kondisi pasien yang mungkin sama sekaratnya?" Emlyn mencoba menarik Harry untuk memosisikan diri padanya. Emlyn jelas tahu karakter papanya seperti apa. Nyawa seseorang lebih penting daripada apa pun.

Ia teringat, dulu Harry pernah melanggar janji padanya hanya karena tiba-tiba ada pasien kecelakaan yang harus segera ditindak. Emlyn marah? Jelas. Itu adalah perayaan ulang tahunnya yang ke sepuluh. Harry menjanjikan mereka akan menghabiskan waktu di akhir pekan ke luar kota. Nyatanya, Emlyn hanya menghabiskan waktu di rumah sambil menunggu kepulangan Harry. Harry perlahan menjelaskan tentang pentingnya nyawa seseorang. Apa konsekuensi bila tidak segera ditindaklanjuti. Seperti apa rasa bersalah yang akan menghantui. Bagaimana perasaan keluarga pasien. Dan bagaimana tanggungjawabnya atas profesi yang telah dipilihnya selama bertahun-tahun ini.

Sejak saat itulah, Emlyn bertekad untuk mengikuti jejak papanya; bertanggungjawab atas apa yang semestinya dilakukan. Harus bisa memilih mana yang pantas diutamakan, tapi tidak pula mengenyampingkan hal lain. Akan ada penjelasan di akhir untuk menyelamatkan keadaan.

"Kamu pasti benar-benar jatuh hati padanya," gumam Harry yang terdengar jelas di telinga Emlyn. Namun, ia pura-pura tidak mendengar.

Harry mematikan lampu dan menarik tangan putrinya untuk segera keluar. Anggap saja ia sedang menolong seorang putri yang kabur untuk menemui pangeran dari negeri seberang. Perihal akan adu mulut dengan istrinya? Lihat saja nanti, paling hanya akan mendengar rentetan kata yang disampaikan dengan sangat cepat. Setelah itu, semua akan mereda seiring berjalannya waktu.

Bukan niat hati berpihak pada Emlyn, tapi Harry sudah bertemu lelaki itu secara langsung, termasuk keluarganya. Sekilas lihat, ia memiliki kepribadian yang baik, bahkan tata kramanya juga patut diancungi jempol. Permasalahannya hanya satu; agama. Mungkin jika bukan karena itu, istrinya pun tidak akan menghalangi anak mereka sekeras ini.

Bantuan yang diberikannya ini pun bukan tanpa alasan. Ia ingin memberikan putrinya kesempatan untuk bisa terus mencari alasan tentang lelaki yang ada dalam hatinya. Putrinya jelas tahu halangan terbesar yang harus dilewatinya, pilihannya; menerobos atau berpaling? Emlyn sekarang pasti sedang di posisi bimbang berkepanjangan. Oleh sebab itu, jadikan kesempatan ini untuk ia bisa lebih yakin dalam mengambil keputusan.

"Papa nggak nanya ke mana tujuanku?" lirikan Emlyn penuh tanda tanya saat mobil telah melaju di jalanan.

"Tentu saja menemui idola kesayanganmu," jawab Harry dengan senyum manis.

Deg. Emlyn menjadi tidak nyaman. Walau satu sisi ada rasa lega, tapi kenapa rasanya lebih mendebarkan ketika ada satu pihak yang menolongnya walau tahu apa yang dilakukan berlawanan dengan pihak lainnya?

"Mama tadi telepon Papa dan nge-rapp menceritakan kekesalannya padamu. Dia juga memberitahu tentang hukumanmu untuk tidak keluar rumah," ujar Harry santai menjawab ekspresi wajah Emlyn.

"Lantas, Papa tetap membantuku?"

"Agar kamu mendapat jawaban dari segala yang selama ini kamu risaukan."

Emlyn menatap Harry dengan mata berkaca. Lelaki paling manis di dunia. Lelaki yang memiliki cara paling romantis untuk menunjukkan cintanya.

"I love you, Pa."

Let Me Love YouWhere stories live. Discover now