XVII. Kamu Berbeda

131 22 35
                                    

Usai menyelesaikan kesalahpahaman semalam, masih tersisa kecanggungan antar Chanyeol dan Emlyn. Chanyeol merutuk dirinya sendiri yang mengucapkan hal tersebut pada Emlyn. Ia merasa malu dan khawatir hal tersebut malah menyebabkan Emlyn tidak nyaman. Chanyeol menjadi ragu untuk sekadar keluar dari kamarnya sendiri. Ada rasa khawatir harus bertingkah seperti apa jika nanti bertemu Emlyn.

"Auurghhh ... Kalau ketemu dia aku harus bicara apa nanti?" monolog Chanyeol gusar sambil mengacak-acak rambut tebalnya. Sedari tadi ia hanya mondar-mandir di kamar, padahal perutnya sudah berkokok kelaparan.

Jam weker sudah menunjukkan angka sembilan. Pukul tujuh, Mama Park sudah mengetuk pintu kamarnya untuk mengajak sarapan bersama, tapi ia mengunci pintu dan berpura-pura tidur. Dapat didengar obrolan mereka bahwa Emlyn meminta izin untuk menunggu Chanyeol bangun terlebih dulu sebelum berangkat ke kafe, entah apa yang ada dalam pikiran perempuan tersebut.

Sedang risaunya memikirkan cara bagaimana keluar kamar, ia dikagetkan dengan suara ketukan pintu.

"Apa kamu masih tertidur?" Jelas itu suara Emlyn dari balik pintu. Suara itu terdengar seperti biasanya, seolah tidak terjadi apa pun.

Sebentar, kenapa sekarang aku gugup bertemu dia? Sebelumnya tidak seperti ini. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Aku hanya mengatakan yang aku rasakan. Itu bukan kesalahan. Iya. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Mari kita temui dia, dan berlakon seperti biasanya.

Chanyeol meyakinkan dirinya untuk bisa mengatasi situasi ini. Sebab, tidak mungkin ia mengurung diri dalam kamar terus-terusan hanya menghindari kontak mata dengan Emlyn. Mau sampai kapan?

"Ah, sudah bangun ternyata. Mau sarapan dulu?" tanya Emlyn begitu melihat pintu kamar dibuka.

Chanyeol mengusap pelipisnya, ternyata ia tidak bisa melihat ke arah perempuan yang sudah mengenakan hijab berwarna hitam di depannya.

"Kamu sakit?" tanya Emlyn sedikit memajukan tubuhnya, berusaha melihat Chanyeol lebih dekat.

"Tidak. Aku tidak apa-apa. Aku akan pergi ke studio seharian ini, mungkin juga tidak pulang," ucapnya cepat.

Tanpa memandang Emlyn, Chanyeol mengambil langkah cepat dan hampir saja tersandung di anak tangga. Seolah tahu Emlyn akan membantunya, ia mengangkat tangan pertanda ia tidak butuh bantuan, ia bisa berjalan sendiri.

Berjalan ke dapur dan meminum segelas air putih, lalu bergegas berjalan ke arah pintu keluar. Nahas. Emlyn yang menangkap gelagat aneh tersebut, menghadang jalannya dengan merentangkan tangan dan menatapnya tajam.

"Kamu menghindariku? Apa lagi yang salah? Kita telah membicarakannya semalam. Kamu masih marah padaku karena aku akan pulang?" cerocos Emlyn masih dengan kedua tangan yang terentang. Alisnya mengernyit membuat tatapannya semakin tajam. Bibirnya mengerucut seakan kesal dengan sikap Chanyeol.

"Apa kamu tahu, aku sudah menyiapkan sepiring galbi untukmu. Aku bangun pagi-pagi buta dan meminta bantuan Mama Park untuk membuatkan makanan itu untukmu. Aku merasa bersalah karena telah membuatmu merasa seperti kemarin. Aku ingin meminta maaf dengan sepiring galbi. Apa itu tidak cukup? Kenapa kamu masih saja menghindar?" Emlyn berbicara dengan nada kesal dan menunjuk ke arah meja makan yang masakannya sudah ditutup tudung saji.

Dia memang berbeda. Dia berani menunjukkan kekesalan padaku yang katanya begitu diidolakan. Mungkin jika penggemar lain di luar sana, akan segan menunjukkan kekesalan. Dia tidak demikian. Apa karena kami tinggal serumah? Semakin dia bertingkah seperti ini, semakin aku sulit membiarkan ia pulang ke Indonesia. Ah, jaebal.

Chanyeol hanya bisa menggerutu dalam hati sambil memandang Emlyn yang tetap berdiri di depannya. Perempuan yang setinggi dadanya itu mengerjapkan mata pelan dan entah mengapa hal sederhana itu terlihat cantik di mata Chanyeol.

"Apa kamu sungguh sakit? Kamu tidak menjawab sama sekali perkataanku," kata Emlyn membuyarkan lamunan Chanyeol.

Lelaki itu membalikkan badan kembali ke dapur. Ia menarik kursi dan membuka tudung saji. Benar, makanan kesukaannya sudah terhidang di sana. Sangat menggugah selera. Sangat rugi untuk dilewatkan. Pantas saja perutnya meronta minta makan sedari tadi.

Emlyn menyodorkan sepiring nasi ke hadapan Chanyeol. "Apa kamu akan memakannya begitu saja tanpa nasi?"

"Terima kasih telah menyiapkannya untukku." Akhirnya Chanyeol bisa berbicara santai seperti biasanya. Emlyn tersenyum puas.

Senang sekali bisa menyiapkan sarapan untuk sang idola. Uuh. Berasa udah halal aja. Astaghfirullah. Emlyn cepat-cepat menghilangkan isi otaknya yang mengada-ada. Dalam situasi seperti ini, pikirannya malah membayangkan hal yang tak seharusnya. Ia menarik napas guna menetralkan isi pikiran dan guncang debar di jantung.

Mulutnya ikut terbuka saat Chanyeol menyuap potongan pertama, dan menelan saliva saat lelaki di depannya mengunyah dengan semangat. "Udah cocok," puji Chanyeol gamblang.

"Cocok? Cocok sebagai apa?" respons Emlyn membesarkan matanya.

Baru sadar salah bicara saking nikmatnya masakan pertama Emlyn, Chanyeol kikuk dan mencari jawaban yang tepat agar tidak terjadi kesalahpahaman. "Cocok kalau kamu mau jualan galbi."

"Seenak itukah?"

Chanyeol mengangguk. "Sangat enak. Persis buatan Ibuku."

"Wajar saja, aku mendapat resep dari beliau, dan dibantu saat membuatnya. Bukan utuh aku buat sendiri," kilah Emlyn, meski senang hati dapat pujian demikian.

"Tetap saja kamu berhasil membuatnya. Terima kasih sekali lagi," balas Chanyeol sambil mengacungkan jempol.

"Apa itu artinya kamu sudah tidak marah? Tidak akan menghindariku lagi?" simpul Emlyn dengan mata berbinar.

Chanyeol menghentikan santapannya. Ia menatap tepat ke mata Emlyn. Ia tahu apa yang dilakukannya tidak benar. Ia juga tidak tahu kenapa menatap perempuan tersebut sekarang seolah menjadi candu. Mata bening Emlyn dapat menambah semangat untuknya, sekaligus meneduhkan. Perempuan itu sangat menarik dan menyenangkan.

"Terima kasih karena telah bersedia tinggal di rumah ini," ujarnya.

Emlyn tidak mengerti mengapa Chanyeol mengucapkan kalimat tersebut. Bukankah semestinya dirinyalah yang mengucapkan terima kasih karena telah diberikan tumpangan gratis, makan enak, dan pekerjaan?

"Aku yakin, kedua orang tuaku juga akan berterima kasih dengan hal yang serupa," tambahnya.

"Kenapa demikian?" tanya Emlyn akhirnya.

"Karena kamu berbeda."

Lagi. Kenapa mereka dari kemarin membicarakan perbedaan? Apa mereka sangat menghormati perbedaan sampai harus berterima kasih? Lantas, perbedaan seperti apa yang mereka maksud? Kenapa sangat membingungkan?

Di tengah keheningan mereka, ponsel Chanyeol berdering. Seseorang, yang entah siapa, menghubunginya. Chanyeol berbicara sambil melirik Emlyn. Sungguh, Emlyn tidak tahu apa pun yang mereka bincangkan karena menggunakan bahasa Korea. Ia hanya berfirasat bahwa dirinya dibicarakan. Siapa yang akan membicarakan dirinya di ponsel? Dia tidak seterkenal itu.

"Kamu mau ikut denganku ke studio?" tawar Chanyeol begitu mematikan panggilan.

"Aku harus bekerja," jawab Emlyn apa adanya.

"Aku akan bilang pada mereka bahwa kamu libur hari ini," sahutnya santai. "Lekaslah bersiap, kita akan berangkat sekarang," sambungnya.

"Kenapa aku harus ikut? Bukankah kamu tadi hanya bertanya? Lantas, kenapa malah memutuskan sebelah pihak?" Pertanyaan Emlyn tak terjawab karena Chanyeol sudah melenggang meninggalkannya seorang diri di meja makan.

Emlyn tiba-tiba mengulum senyum malu karena isi pikirannya, Mungkin kedatanganku ke Korea adalah mengukir kenangan bersama Chanyeol, bukan untuk bekerja. Sungguh indah ketersesatan ini.

Let Me Love YouWhere stories live. Discover now