XXXVIII. Berbicara Cinta

104 11 0
                                    

Melupakan bukan menjadi hal yang mudah saat hati telah menetap selama bertahun pada orang yang sama. Sekalipun orang itu tidak memandang kita seperti cara kita memandangnya, bukan berarti perasaan akan hilang dan berlalu begitu saja. Perasaan tidak bisa diperintah sesuai kehendak, tapi setidaknya bisa dikontrol agar tidak membuncah.

Hal itu lah yang dilakukan Emlyn belakangan ini. Ia menyibukkan diri dari pagi sampai siang untuk latihan vokal, dan sore sampai malam menyiapkan tuntutan naskah. Sesekali saat kepalanya sudah tidak sanggup menanggung beban antara menyanyi dan menulis, ia akan meminta bantuan Ethan untuk menemaninya menghabiskan waktu di luar; entah itu ke pantai, nonton bioskop, atau sekadar keliling daerah sekitar.

Media sosial memang tidak seramai tiga minggu lalu saat namanya trending sebagai orang yang paling banyak dibicarakan dan dicari oleh para penggemar, tapi tetap saja pesan masuk ke akun instagramnya masih mengalir. Dari mereka masih banyak yang penasaran bagaimana ia bisa bertemu dengan Chanyeol hingga beredar rumor kencan. Mereka ingin Emlyn berbagi kisah yang menurut mereka itu sangat menarik. Berbanding terbalik dengan apa yang dipikirkan Emlyn, urusan itu baginya masuk dalam ranah pribadi yang tidak harus diceritakan atau berbagi dengan orang yang tidak dikenal sama sekali.

Seperti yang pernah disampaikan Aqmar, bahwa ada baiknya Emlyn menggunakan masker kala di luaran. Karena pernah beberapa kali ia berada di sebuah restoran bersama Ethan dan Nita, segerombolan perempuan memperhatikannya sambil berbisik-bisik. Sungguh, hal itu sangat mengganggu kenyamanan. Ia bukan pelaku kejahatan yang harus digunjingkan demikian.

"Gimana kerjaanmu, lancar?" tanya Anka yang tepat duduk di depannya.

Lelaki beralis tebal itu tiba-tiba menghubunginya untuk bertemu. Katanya baru memiliki waktu luang dan ingin menghilangkan penat. Ia meminta kesediaan Emlyn untuk menemaninya. Emlyn bukan dengan senang hati menerima tawaran tersebut, melainkan karena ada hal yang harus dilupakan dan mungkin ini salah satunya jalan. Terlihat jahat sebab terkesan ia memanfaatkan Anka dalam hal ini, tapi selama ia tidak benar-benar bermaksud demikian sepertinya tidak masalah, berhubung Anka juga membutuhkannya.

Hubungannya dengan Anka tidak berkembang pesat. Ia tetap jaga jarak dan hanya menganggap Anka sebatas teman. Tidak tertarik untuk menuju ke tahap yang lebih serius. Anka juga menunjukkan gelagat yang sama. Mereka tidak sering berkirim pesan atau pun melakukan panggilan. Hanya sesekali jika sudah penting barulah Anka menghubungi Emlyn. Seperti sekarang ini contohnya.

"Aku sedang mengupayakan selesai segera. Masih ada beberapa adegan untuk ending yang harus aku bereskan. Karena setelah itu kami akan lanjut ke tahap pemilihan aktor, dan briefing. Akan membutuhkan waktu lama," jawab Emlyn seadanya. Ia tidak ingin terlalu terbuka pada lelaki yang belum pasti akan diberi hati. Membuka hati untuk orang baru bukan hal yang mudah, apalagi jika di dalam sana masih bersemayam seseorang yang enggan untuk pergi.

"Kamu pasti sangat mencintai pekerjaanmu," ungkap Anka melihat Emlyn yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya. Bahkan sejak duduk di sudut kafe ini satu jam yang lalu, tidak sedetik pun Emlyn menatap ke arahnya.

"Aku mencintainya karena ia bagian dari diriku. Kurasa kamu juga begitu dengan pekerjaanmu," balas Emlyn dengan terus fokus ke arah layar.

"Kamu pernah mencintai lawan jenis seperti itu?"

Setelah satu jam, akhirnya mata Emlyn tertuju pada Anka karena pertanyaan yang dilontarkan. Pertanyaan yang tidak ada niat menyindir itu entah kenapa begitu menusuk Emlyn. Ingin rasanya memungkiri, tapi kebalikan yang terjadi. Ia mengakui bahwa ia pernah melakukan hal itu dan mungkin masih hingga kini. Pengakuan tersebut hanya tersampaikan dalam hati, tidak berniat sedikitpun untuk berbagi dengan Anka. Anka tidak memiliki hak istimewa apa pun untuk mengetahui perihal tersebut.

Anka mengarahkan telunjuk ke wajah Emlyn dengan curiga, "Nggak seperti yang ada dalam pikiran saya, kan?"

Emlyn mengendikkan bahu dan menurunkan bibirnya.

"Luar biasa. Kamu bertahan dalam kesendirian selama dua puluh tahun lebih? Kamu nggak pernah merasakan jatuh cinta? Nggak ingin merasakan gimana jalinan asmara dengan pasangan? Nggak kepikiran bakal menikah suatu hari nanti? Saya akhirnya menemukan alasan kenapa tante Danita ingin mencarikanmu pasangan," respons Anka sekenanya. Ia terlihat tertarik dengan hal ini.

Bukan hal asing bagi Emlyn mendapat respons demikian dari orang-orang ketika mengetahui tentang dirinya yang tidak pernah menjalin hubungan khusus dengan lawan jenis. Menurutnya, bukan suatu dosa tidak melakukan hal itu. Masih banyak hal lain yang lebih patut dipermasalahkan daripada sekadar tidak punya pasangan.

"Gimana dengan kamu, berapa kali kamu udah jatuh cinta?" tanya Emlyn balik pada Anka yang sigap menjawab pertanyaannya.

Anka menopang dagu dengan pandangan yang mengawang—mengulang kembali memori lama dan memastikan hatinya pernah jatuh pada pasangan-pasangannya. "Tiga atau empat kali?"Anka seakan ragu dengan kepastian berapa kali ia jatuh hati.

"Atau?" ulang Emlyn. Kini giliran Emlyn yang tertarik hingga ia berhasil mengabaikan laptopnya dan melanjutkan percakapan saling bertukar pandang dengan Anka. "Kenapa ada kata 'atau' di sana? Ada yang kamu ragukan di antara mereka?"

Anka mengangguk pelan dengan mata menyipit. "Sepertinya. Saya ragu apakah dulu saya benar-benar mencintainya atau itu hanya rasa kasihan karena membantunya lolos dari sebuah permasalahan berat hingga membuat kami terikat pada suatu hubungan yang nggak bertahan lama," jawab Anka masih mencoba mengingat kejadian yang telah terjadi bertahun-tahun lalu.

"Wah, kamu merasakan hal yang rumit. Hatimu nggak bisa konfirmasi bahwa itu adalah rasa suka, cinta, atau kasihan? Bahkan setelah berakhir?"

Anka menggeleng. Ia benar-benar tidak dapat membedakannya. Emlyn pun hanya bergumam untuk menanggapi ketidaktahuan Anka atas perasaannya sendiri.

Sebuah pesan masuk di ponselnya, dari kode negara +82. Seseorang yang selama tiga minggu terakhir selalu berkomunikasi dengannya. Tidak hanya untuk latihan vokal, tapi juga untuk berbagi kisah-kisah lucu. Ia tidak menyangka, di waktu sibuknya, Baekhyun masih sempat menemaninya.

Ia berjanji akan mengirimkan rekaman akhir atas lagu yang mereka nyanyikan. Emlyn telah melakukan rekaman dengan bantuan salah seorang kenalan Ethan. Ia ragu hasilnya akan baik, karena itu ia meminta Baekhyun untuk memeriksanya terlebih dahulu.

Tidak selesai setelah Emlyn mengirim rekaman suaranya, Baekhyun pun mengirimkan pesan yang membuatnya terpaku sesaat.

Kamu masih mengharapkannya?

Sudah cukup aku mengharapkan sesuatu yang aku tahu tidak akan pernah menjadi milikku.

Seberapa lama kamu telah bertahan dengan pemikiran itu?

Sambil mengigit sudut bibir bawahnya ia pun mengetik kalimat,

Tidak lebih lama dari saat aku mencintainya.

Baekhyun telah mengetahui seperti apa perasaannya untuk Chanyeol, sehingga tidak ada lagi yang perlu ditutupi. Ia juga tidak pernah mencari tahu melalui Baekhyun mengenai perasaan Chanyeol untuknya. Ia juga tidak bertanya lagi bagaimana keadaan lelaki itu. Mereka berpisah begitu saja, dan Baekhyun lebih senang mendengar cerita betapa gilanya Emlyn untuk Chanyeol.

Let Me Love YouWhere stories live. Discover now