Da-dah, Sagara.

"Pesawat Sagara jatuh."

"Korban langsung dicari malam ini dan diperkirakan semuanya tewas di laut."

Kiana tidak bisa merasakan kakinya yang menapak di lantai. Ia melepaskan tangan papanya yang merengkuhnya, dan cepat beralih ke arah mamanya yang menangis, berharap dapat pembelaan bahwa kalimat yang barusan di dengar Kiana adalah bohong.

Tapi ternyata mamanya mengangguk. Sejak detik itu, pertama kalinya Kiana membenci kebenaran.

Mamanya ingin menyentuh pundak Kiana, namun Kiana langsung berlari naik ke arah tangga dengan cepat, hingga suara jemari kakinya yang berantukan dengan lantai terdengar sampai bawah.

"Kiana--"

"Let her," ucap Papa Kiana sambil bergerak keluar dari rumah.

Semua orang panik, tak terkecuali Papa Kiana. Namun di setiap kondisi harus ada orang yang berpikir jernih agar semua tak semakin rumit.

Papa Kiana tak banyak bicara, dia langsung menjalankan mobil di tengah-tengah malam mau subuh seperti ini menuju bandar udara SOEKARNO HATTA, untuk meminta penjelasan lebih lanjut, sesuai dengan prosedur yang sudah diberitahu padanya saat pertama kali ditelepon pihak penerbangan.

Sembari mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai, pria itu semakin sedih ketika menyadari bahwa Sagara menulis nomor teleponnya untuk diisi di formulir pemesanan tiket, yang jadi pertinggal di bandara, pada kolom nomor lain yang bisa dihubungi.

Sagara tidak menulis kontak salah satu orang tuanya yang ada di Australia karena anak itu tau bahwa orang tuanya tidak akan pernah peduli apa pun tentang Sagara.

Tentu alasan laki-laki umur 17 tahun itu ingin pindah dan tinggal sendiri di negara yang belum pernah ia datangi, bukan hanya karena ia tidak ingin berpisah dari Kiana, walau alasan itu adalah alasan yang paling besar.

Namun meninggalkan Australia, negara yang seharusnya menjadi rumah bagi Sagara, adalah hal yang sepertinya memang harus ia lakukan, karena rumahnya pun tak lagi terasa seperti rumah bagi Sagara kecil maupun yang sekarang.

Dari dulu Sagara memang benci merepotkan orang lain. Bahkan dalam hal kecil saja, walau itu dengan orang terdekatnya. Semuanya terjadi karena orang tua Sagara selalu menunjukkan rasa lelah dan bosan ketika anak itu meminta bantuan untuk menjadi wakil ke sekolah, atau pun saat ia sangat ingin diapresiasi.

Dan sekarang semuanya selesai.

Kini, Indonesia pun tidak lagi menjadi rumah bagi Sagara.




˙益˙




Sagara selalu di samping Kiana.

Sagara tidak boleh ke mana-mana.

Sagara harus mendengar maaf Kiana.

Kiana tidak percaya apa pun.

Ia harus melihat Sagara, sahabat masa kecilnya yang pasti akan tetap ada di sampingnya.

"Kiana buka pintunya, please, you make me worry, sayang???" Mama Kiana harus berteriak keras karena Kiana tak menjawab panggilannya sekalipun dari dalam kamar.

Kiana mendengar mamanya, tapi dia tidak lagi sanggup untuk menggerakkan kaki berjalan menuju pintu.

"...Kiana???"

Rewrite My Heart [TERSEDIA DI GRAMEDIA]Where stories live. Discover now