83

400 65 16
                                    

"Kalian ngerasa sunyi hening gitu nggak sih?" ujar Cho Cho sambil memandang arah sekitar. Nggak ada tanda tanda rombongan temen temen kelas mereka. Ustadz Abu, ustadzah Hikari, ustadz ustadzah pendamping, juga nggak keliatan, suaranya pun nggak kedengeran padahal tadi berisik banget malah ada yang teriak teriak. Sekarang seakan akan mereka semua lenyap ditelan bumi.

Shikadai dan Inojin menghentikan aktifitas mencari ulet pucuk. Mereka menoleh kearah Cho Cho.

Mata Mitsuki mengedar ke segala arah. Perasaannya langsung nggak enak.

"Coba kita jalan kesana", tunjuk Ken ke depan. Boruto melengos.

"Tapi Shikadai belum nemuin uletㅡ"

"Ntar aja di depan banyak", Shikadai auto menarik kerah kaos Boruto supaya tuh anak nggak banyak cingcong. Mereka berenam pun jalan mengikuti arahan Ken.

"Perasaan tadi cerah dah, nggak kabut kek gini", timpal Inojin kemudian mendongak ke langit, "awannya juga jadi abu abu".

Semua jadi mendongak melihat langit karena ocehan Inojin barusan.

"Eh iya ya, apa perasaan gue aja tadi langit biru?" Boruto meletakkan ulet pucuknya diatas rambut. Mereka terus jalan mencari rombongan kelas. Semakin lurus ke depan, kabut malah jadi semakin tebal.

Ken menatap jam tangan biru yang membalut pergelangan tangan kirinya, lalu menoleh ke Sarada yang jalan bersisian, "udah 10 menit tapi kok nggak ada satupun yang kita temuin", katanya mulai cemas. Otak Sarada langsung berpacu ke pengalamannya menuju gua ryūchi. Cewek itu berhenti dan mengedarkan matanya ke tanah yang sedang mereka pijak. Banyak jejak sepatu disitu.

"Coba angkat tapak sepatu kalian!" perintah Sarada. Sontak semua refleks ngeliatin tapak sepatu masing masing. Tapi, nggak ada yang cocok dengan jejak yang terukir di tanah.

"Genjutsu?" Sarada menatap Boruto, Mitsuki, Inojin, Shikadai dan Cho Cho bergantian.

"E-Eh, genjutsu apaan?" tanya Ken pelan. Sumpah dia nggak ngerti.

Inojin menggeleng, "nggak. Ini bukan genjutsu".

"Trus apa?" alis Cho Cho bertautan, "gue nggak mau ya hari senang senang gue jadi kacau".

Boruto mendekap tangannya, "hah, dipermainin lagi. Bosen gue".

"Coba kita jalan terus", usul Mitsuki. Karena nggak ada pilihan lain, mereka pun sepakat buat lanjut jalan.

"Mereka pada kemana sih, atau jangan jangan udah pulang?" gumam Cho Cho yang sedari tadi nempel di lengan Mitsuki karena takut. Ya masa nempel di lengan Inojin. Yang ada auto murka dianya. Untung si anak uler orangnya baik. Mau nempel ya silahkan, asal jangan macem macem.

"Mereka belum pulang", sahut Mitsuki. Cho Cho mendelik, bibirnya cemberut.

"Bisa ya lo yakin gitu".

"Hah, mungkin ini tanda tandanya", keluh Shikadai. Sarada yang kebetulan jalan di depan cowok itu, langsung menoleh.

"Tanda apaan?"

Inojin menyikut lengan Shikadai supaya tuh anak jangan ngomong sembarangan dulu, mengingat Sarada nggak ada hubungannya sama ancaman pembunuhan yang mereka dapetin. Shikadai meringis.

"Ngㅡnggak, nggak kok", detik kemudian dia terkekeh. Sarada menatap tajam Shikadai, lalu balik menghadap ke depan.













Hampir satu jam mereka jalan dan masih belum nemuin satupun rombongan darma wisata, termasuk wakel dan ustadz ustadzah pendamping.

Boruto dan Shikadai terduduk di tanah saking capeknya muter muter. Dari tadi yang diliat daun teh mulu. Namanya juga kebun teh ya kan. Tapi masa sih nggak ada satupun manusia yang nongol selain mereka bertujuh. Aneh banget gila.

[1] Lost in Pesantren ㅡ BORUTO: NARUTO NEXT GENERATIONS ✔️Where stories live. Discover now