Fariz yang melihat kelakuan kekanak-kanakan itu hanya menghela napas berat,"kalian berdua mau bantu gue usut kasus ini, kan?"

Mendengar ajakan Fariz, Praja mulai berhenti mengacak-acak rambut Adit, begitu pun Adit berhenti memukul kepala Praja,"kita berdua?" mereka saling menatap wajah satu sama lain.

"Iya, karena firasat gue mengatakan kalau Riska itu dijebak. Gue gak percaya dia ngelakuin hal itu. Kalian mau bantu gue, kan?" sejak dari awal sepertinya hanya Fariz yang serius.

Praja? Ah, jangan diandalkan. Ia selalu bercanda, sulit sekali untuk serius. Adit? Apalagi, dia yang paling ambigu di antara Fariz dan Praja. Ya, ampun, kenapa Fariz dikelilingi manusia macam begini? Fariz baru sadar.

"Oke, atas dasar solidaritas. Gue terima," jawab Adit santai sambil menepuk pundak Fariz dan tersenyum simpul.

"Yaudah, gue juga. Atas dasar, Riska pasti punya banyak teman-teman lainnya yang cantik juga. Siapa tahu nanti gue dikenalin. Oke, gue terima," Praja ikut menepuk pundak Fariz sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Buaya lu!" Adit tiba-tiba mengatai Praja dengan wajah menyebalkannya.

"Ah, diem lu ganteng gak berguna!" lagi, Praja membalas ledekan itu sambil memamerkan senyumnya yang meremahkan.

Adit bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan Praja, ia menarik kerah baju belakang Praja kasar, "Apa lu bilang?!"

"Lu ganteng juga gak guna, dit. Ketampanan lu gak lu sebarluaskan. Mending gue, walau gak seganteng lu. Gue berguna! Tiap turnamen basket, pasti perempuan pada teriakin nama gue!" Praja mencengkram tangan Adit kuat berusaha melepaskan tangannya itu dari kerah bajunya. Bisa-bisa ia mati tercekik. Fariz yang melihat pemandangan itu lagi-lagi hanya bisa menghela napas berat sambil menampakkan wajah 'terserah saja'.

"Bentar, lu tadi bilang Fariz bucin? Yang bucin itu lu! Bukan Fariz! Bodoh lu sampai ke kromosom sama DNA tahu, gak!" Adit akhirnya melepaskan Praja sambil tersenyum sinis. Praja meringis kesakitan sambil mengelus-elus lehernya dan melihat ke arah Adit sambil melotot.

Fariz tertawa geli melihat dua sahabatnya yang selalu bertengkar seperti tikus dan kucing ini. Mereka berdua memang selalu begitu, sulit sekali serius dan tenang. Tapi, mungkin, itulah hiburan bagi Fariz. Belum pernah ada teman yang sejujur ini. Bersikap apa adanya, itu adalah yang terbaik menurut Fariz. Karena, tidak ada yang ditutupi apalagi topeng-topeng sandiwara yang memuakkan.

📚📚📚

"Fariz!" teriak Adit sambil menghampiri Fariz yang sedang mengangkat bangku-bangku ke atas meja.

"Ada apa, Dit? Gue kira lu udah pulang duluan sama Praja," Fariz menghentikan aktivitasnya sambil menatap lawan bicaranya yang terdengar terengah-engah karena berlarian cukup jauh.

"Kita harus susul Praja sekarang, tadi, di jalan dia tiba-tiba minta berhenti. Yaudah gue turunin dia di depan warung Mamang Juned. Gue gak tahu ada apa, cuma dia langsung lari kenceng sambil pegang handphonenya. Gue curiga, dia nyembunyiin sesuatu. Ayo, riz! Buruan!" Adit menarik lengan Fariz dengan wajah cemasnya dan dengan napas yang masih berantakan.

"Eh! Enak aja! Fariz masih harus piket! Hari ini jadwal piketnya!" Dea, seksi kebersihan yang tidak pernah absen apel piket itu menahan Adit yang menarik Fariz tepat di hadapannya. Adit menghentikan langkahnya sambil mendengus.

Fariz melepaskan cengkraman tangan Adit di pergelangan tangannya dan kembali menuju bangku miliknya.

"Dea," panggil Adit ke arah Dea yang sudah berlalu berjalan dan membelakanginya. Adit menarik tangan Dea kuat hingga membuatnya berputar melihat Adit yang mengedipkan sebelah matanya genit. Dengan ekspresi wajahnya yang sok keren, Adit menatap Dea dengan tatapan matanya yang dalam. Fariz yang melihat itu dari kejauhan tertawa kecil sambil memegangi perutnya. Menggelikan, batinnya.

"A-apa? Gak-gak jelas," tiba-tiba Dea menjadi gagap. Wajahnya sudah semerah tomat. Adit masih bertahan, ia masih terdiam sambil menatap Dea memohon.

"Ya-ya-yaudah, hari ini aja tapi," Adit langsung tersenyum lebar dan melepaskan tangan Dea dan berlari menarik Fariz bersamanya.

"Makasih, Dea!" teriak Adit dari kejauhan. Dea yang mendapat perlakuan tiba-tiba itu dari Adit langsung terdiam sambil melihat ke arah pergelangan tangan kanannya yang barusan Adit pegang. Hangat, masih terasa hangat.

Teman-teman yang sedang piket pun melihat ke arah Dea sambil tertawa cekikikan, berniat meledek Dea. Tapi, ujung-ujungnya mereka malah kena semprot Dea yang terkenal cerewet dan judes satu kelas.

Adit dan Fariz berlari kencang sepanjang koridor, mereka sudah seperti dua orang dewasa yang terlambat masuk kantor. Sempat terdengar keluhan orang-orang sekitar yang mereka lewati karena Adit dan Fariz berlari semaunya. Untungnya mereka tidak menabrak orang dengan kasar. Hanya sedikit menyenggol saja. Ya, sedikit.

"Lu baik-baik aja, Kan?" tanya Fariz masih sambil berlari di samping Adit.

Adit yang mendengar pertanyaan Fariz itu langsung melihat ke arah Fariz dengan wajah cemasnya, "lu dungu atau apa? Yang harusnya lu khawatirin itu sekarang Praja. Bukan gue!" jawab Adit sedikit membentak.

"Gak biasanya lu begini," balas Fariz sambil berlari menghindari kumpulan siswi perempuan yang sedang sibuk berfoto ria.

Ia menghindarinya dengan lihai dan cepat, tanpa menyenggol sedikit pun.

"Gue cuma gak mau kejadian kayak dulu terulang lagi, ngerti lu?!" jawab Adit sedikit membentak dengan kedua mata yang melotot dan sudah berkaca-kaca. Fariz yang melihat ekspresi wajah Adit barusan langsung terdiam.

"Argh!" teriak Adit frustasi dan semakin menambah kecepatan larinya.

Fariz masih terdiam sambil terus berlari, pikirannya tiba-tiba terbawa dalam memori masa lalu. Kalau dipikir-pikir, runtutan kejadian waktu itu percis seperti saat ini.

Bedanya, waktu itu baik Adit maupun Fariz sama-sama tidak peka dan memilih tak acuh. Adit yang waktu itu masih kesal karena habis bertengkar dengan Riko. Dan Fariz yang lebih memilih sibuk dengan tugas sekolahnya. Mereka berdua, waktu itu, benar-benar bodoh. Sangat bodoh.

"Argh!" teriak Fariz sambil berlari lebih kencang menyusul Adit yang sudah berlari cukup jauh di depan.

Cepatlah!
Cepatlah!
Cepatlah!







📚 Bersambung📚

SEKOLAH 2019Where stories live. Discover now