Pak Rasyid menarik napas panjang dengan tatapan matanya yang menatap ke arah sepatu kulit hitam miliknya. Terlihat seperti seseorang yang sedang berusaha menahan diri. Sambil berkacak pinggang, ia lalu mendongak ke atas langit-langit kelas. Setelahnya mulai menatap Adit dengan tatapan yang lebih tenang.

"Kerjakan ini, sampai selesai. Di depan, sekarang. Fariz, giliranmu nanti, kembali ke tempat dudukmu. Sekarang giliran Adit dulu," Rasyid menunjuk ke arah papan tulis yang sudah dipenuhi dengan soal-soal kimia.

Fariz langsung kembali ke tempat duduknya, sedangkan Adit kini berdiri di hadapan papan tulis dengan pandangan mata yang terlihat serius ke arah soal-soal di papan tulis. Teman-teman satu kelas hanya terdiam melihat pemandangan saat ini yang masih mereka anggap sebagai mimpi.

Praja memukul keningnya sambil mendengus, bagaimana bisa Adit selesaikan soal sesulit itu? Di kelas ini pasti hanya Fariz yang bisa selesaikan. Baik Praja maupun teman lainnya sudah angkat tangan. Praja masih memperhatikan Adit yang berdiri di hadapan papan tulis dengan tenang dan tatapan mata serius. Sok iye, batin Praja kesal.

"Pak, maaf, ini ada yang salah. Di bagian nilai RM dan RE glukosa. Karena untuk mengetahui indeks empiris suatu senyawa dan rumus empirisnya, baru kita dapat menentukan rumus molekul senyawa tersebut. Indeks empiris bisa kita ketahui dari nilai Mr senyawanya. Kalaupun rumus empirisnya itu sendiri, dapat kita hitung berdasarkan perbandingan mol unsur-unsur dalam senyawa," terang Adit sambil melihat ke arah Pak Rasyid yang menatapnya dengan tatapan sedikit terkejut.

Pak Rasyid bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Adit yang sibuk menghapus, dan menulis.

"Senyawa glukosa mempunyai RM= C6H12O6 dan RE = (CH2O)n; n=6. Bukan 12. Mungkin bapak sedikit keliru di bagian menentukan dan menggunakan urutan rumus empiris dan molekul, jadi ada kekeliruan. Rumusnya gak salah, cuma urutan dan konsep bapak menggunakannya aja. Jadi, saya gak bisa hitung ke sananya. Karena di awal sudah keliru," lanjut Adit dengan tatapan yakin.

Rasyid menatap semua hasil perhitungan Adit di papan tulis sambil berkacak pinggang dan menggeretakkan giginya. Bagaimana bisa anak SMA sudah mampu berpikir sekelas anak universitas? Cara dia menghitung dan memahami konsep abstrak itu. Ini bukan main, Rasyid langsung menatap Adit yang masih sibuk melihat soal -soal lainnya di papan tulis.

Seisi kelas dibuat hening dan terkejut, seorang Adit yang lebih dikenal tukang membuat ulah itu ternyata mudah memahami soal sesulit itu. Bagaimana bisa?!

"Baik, abaikan soal itu dulu. Bapak mau tanya. Gas mulia memiliki konfigurasi elektron valensi duplet berapa?"

Adit terdiam sebentar, kedua matanya mendelik ke arah kanan,"dua elektron atau octet yang setara dengan delapan elektron."

Praja menatap ke arah Adit dari kejauhan tanpa berkedip. Bagaimana bisa bocah itu?! Mungkin reaksi teman-teman sekelas sama hebohnya dengan Praja. Ada beberapa di antara mereka hingga menutup mulut mereka yang terlihat takjub. Hanya Fariz saja yang terlihat tenang, ia hanya tersenyum simpul penuh arti.

"Dan untuk mencapai konfigurasi gas mulia. Suatu unsur dapat melakukan apa?"

"Melepaskan satu atau beberapa elektron terluarnya, mengambil elektron dari luar atau memakai elektron secara bersama-sama dengan unsur lain," jawab Adit sambil melihat Pak Rasyid dengan santai dan tenang.

Rasyid mengangguk-angguk pertanda mengerti. Adit, bukan anak pembuat masalah. Ia hanya terjebak dalam masalah. Dan semua penilaian buruk tentangnya seketika sirna dari pikiran Rasyid. Ia baru saja menemukan emas di kelas ini selain Fariz. Bahkan mungkin, anak ini bisa jauh melampaui Fariz. Siapa yang tahu?

📚📚📚

"Kan, lagi-lagi, kan. Gue ngerasa dibodohi sama kalian berdua. Dan, kenyataannya gue emang paling bodoh di antara kalian berdua," Praja berdiri sambil berjalan bulak -balik dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada tepat di hadapan Adit dan Fariz yang sedang sibuk memakan mie ayam di bawah pohon rindang.

"Eh, lu berdua! Dengerin gue gak, sih?" kini Praja menunjuk-nunjuk penuh emosi ke arah Adit dan Fariz secara bergantian.

Adit dan Fariz yang ditunjuki itu menoleh ke arah Praja dengan tatapan datar. Adit tiba-tiba batuk tersedak. Fariz yang melihat itu buru-buru meraih sebotol minuman air mineral di sampingnya dan memberikannya pada Adit.

Baiklah, Praja diabaikan.

"Eh, si Riska pakai jilbab sekarang, ya?" tanya Fariz sambil menyeka bibirnya yang belepotan saus dan merah karena kepedasan.

"Iya, giliran pacar lu aja ditanyain," masih sambil merengut Praja membuang mukanya. Malas menatap wajah Fariz dan Adit. Mereka berdua seperti kompak membuatnya terlihat semakin bodoh.

"Alhamdulillah. Eh, maaf aja, gue gak pacaran!" Fariz tertawa kecil sambil melihat ke arah Adit yang tersenyum simpul dan menaruh mangkuk mie ayam di sampingnya. Kalau soal makan Adit selalu cepat, dua mangkuk mie ayam saja bisa dia habiskan hanya dalam waktu beberapa menit.

"Bohong banget, gue gak percaya! Gue dari kemarin-kemarin dikacangin sama kalian. Sekalinya masuk lu berdua bikin gue emosi!" Praja tak sadar jika ia sedang menyerocos seperti emak-emak saat ini.

"Bilang aja lu kangen sama kita. Elah, pakai segala basa-basi sampai segitunya. Lu kalau gak ada gue gak ada teman, kan? Ahahaha," Adit berjalan menghampiri Praja sambil melompat ke punggungnya seperti koala. Menempel semaunya dan mencekik leher Praja sambil tertawa.

Terlihat sunggingan senyum tipis di bibir Praja, "kata siapa? Geer lu najis!" Praja berusaha menutupi senyum bahagianya sambil menarik-narik baju Adit agar ia segera turun dari gendongannya.

Fariz yang melihat pemandangan itu tersenyum penuh arti. Hatinya terasa hangat. Entahlah, ia seperti menemukan sesuatu yang telah lama hilang belakangan ini. Apalagi kalau bukan sahabat? Ya, sahabat.

📚 Bersambung📚

SEKOLAH 2019Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang