Chapter 42 : Determination

19.5K 2.1K 214
                                    

ALEXANDER POV

Bella masih tercengang melihat foto dirinya yang berukuran sebesar lapangan bola di dindingku. Mataku terus mengawasi gerak geriknya saat dia menyentuh foto-foto lainnya yang tertempel di sepanjang kamarku. Dia berjalan dengan kaki yang gemetar tanpa mengatakan sepatah katapun. Dan itu membuat aku sengsara.

Apakah dia membenciku?

Setelah melihat semua ini, dia akan membenciku selamanya.

"Bella, aku tidak pernah mau kau mengetahui rahasia terbesarku." kataku.

Dia masih diam saja melihat berbagai foto kecilnya saat masuk sekolah menengah pertama, wisuda SHS, liburan di Miami bersama dengan keluarganya dan sebagainya. Aku ingin mengabadikan semuanya jika itu tentang dia. Hingga aku bisa melihatnya setiap hari dan merasakan kehadirannya di rumah ini.

"Apakah kau akan membenciku?" Aku bertanya lagi.

Dia masih terdiam.

Fuck.

"Bagaimana kau bisa menemukan aku?" Dia berbalik dan aku bisa melihat kebingungan di bola mata indahnya.

"Itu cerita yang panjang."

"Aku punya banyak waktu untuk mendengarkan."

Aku masih mengawasinya sambil menahan gelombang emosi yang masih tersisa di dalam kepalaku. Dia selalu dapat menyulut amarahku ketika otaknya berpikir bahwa aku hanya mengatakan omong kosong tentang mencintainya.

Dia tidak pernah tau seberapa besar cintaku padanya.

"Apakah kau menguntitku selama ini?" tanyanya.

"Aku tidak ingin kau mengatakannya dalam artian buruk. Aku hanya pergi melihatmu setahun sekali. Aku tidak menguntit."

Bibirnya bergetar dan bola matanya yang basah mencoba melihat kesana kemari. Aku tau dia sedang terpukul melihat betapa menjijikkannya aku.

"Bella, jangan membenciku."

"Tidak, aku tidak membencimu." Dia memejamkan matanya. "Aku hanya bingung dan otakku penuh tanda tanya. Selama ini— bertahun-tahun kau ada disekitarku— tapi kenapa aku tidak menyadarinya?"

Aku memalingkan wajah, aku tidak sanggup melihat pantulan wajahku di bola matanya.

"Alexander?"

"Aku ada di sekitarmu, aku bicara dengan ibu dan ayahmu saat kalian berlibur ke Miami. Kau pasti tidak ingat aku."

Dia mencoba mengingat, tapi aku tau ingatannya tentangku tidak akan ada di dalam kepalanya.

Aku mengingat kembali bagaimana dia bicara dengan teman-temannya waktu itu. Senyumnya, adalah hal paling memabukkan yang pernah aku rasakan. Suaranya, adalah alunan musik paling indah yang pernah aku dengarkan. Aku hanya tidak bisa menyentuhnya. Saat itu.

"Umur berapa aku saat itu?"

"15."

Dia diam lagi, mencoba menggali ingatan dalam otaknya dan aku tau dia tidak menemukan apa-apa sehingga menganggapku sudah mengatakan kebohongan.

"Bella, ayo kita keluar." Aku mencoba menyentuh tangannya namun dia diam saja. Tangannya sedingin es— menandakan bahwa dia benar-benar sedang terguncang.

"Apakah aku juga pernah ke Las Vegas?" Dia menunjuk sebuah foto dirinya sedang berdiri depan casino.

Aku mengangguk.

"Aku tidak ingat itu."

Dia memaksaku untuk membongkar ini semua. Sesuatu yang aku tutupi dan tidak pernah mau aku ungkapkan pada siapapun.

ISOLATEDTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon