Chapter 1 : The first time

70.5K 4.2K 286
                                    

Holaaa!

Sekilas info aja, seharusnya Isolated aku targetkan bakal update setelah Lust tamat dan Fragile season 2 tayang di Karyakarsa. Namun karena kondisiku yg lagi tidak memungkinkan untuk liat layar hp lama-lama, apalagi nulis dan mikir ide, jadi kuputuskan utk update aja dulu Isolated nya biar wattpadku juga gak lumutan saking lamanya ditinggal.

Nah yang nungguin Lust, mon maap harus aku hold dulu bntr sampai kondisiku udah enakan dan aku bisa nulis lagi. Yg blm mau baca Isolated karena nungguin Lust tamat atau Fragile season 2 tayang, boleh kalian pending dulu. Atau mau gas kan baca ini langsung ya gpp juga sebab alurnya kagak berhubungan kok. Pokoknya gimana enaknya kalian aja lah yaaa gesss! Oh ya cerita ini akan update setiap hari ya!

So, enjoy this story, dont forget to vote!

***

Aku berjalan entah kemana. Setiap sudut rumah ini dikerumuni orang-orang yang asing bagiku. Aku bahkan tidak bisa melihat dengan jelas wajah-wajah mereka akibat mataku yang berkaca-kaca.

Pada dasarnya, aku sedang di pesta ulang tahun salah satu temanku. Celina Rayan. Dan seorang laki-laki gila dengan sengaja meremas payudaraku. Bodohnya aku malah tidak bisa menampar si brengsek itu dan malah berlari dari sana. Entah apa yang membuatku mengekor Maya dan Jack untuk datang ke pesta ini. Padahal aku sendiri sangat tidak suka keramaian, apalagi acara ini acara anak konglomerat yang memang sudah jelas akan seheboh apa.

Kakiku terus menelusuri setiap sudut, mencari tempat aman untuk meledakkan tangis. Saat menaiki anak tangga, aku berpapasan dengan seorang lelaki dan dia segera menangkap lenganku sebelum aku kehilangan keseimbangan akibat terpeleset.

"Terimakasih." ucapku seadanya.

"Hati-hati."

Aku mencoba melihat siapa gerangan laki-laki ini. Setelah mengerjapkan mataku, aku baru bisa melihat bahwa dia memakai jaket kulit dan jeans hitam koyak-koyak di lututnya. Rambutnya berwarna coklat tua, tubuhnya atletis, banyak piercing di wajahnya dan aku sama sekali tidak mengenalinya karena sepertinya dia bukan dari kampusku.

"Terimakasih." Aku mengatakannya sekali lagi.

Dia hanya memasang wajah acuh tak acuh. "Kau butuh sesuatu?"

"Mungkin kau bisa memberitahuku dimana letak kamar mandi?" tanyaku.

"Kau bisa gunakan kamar mandi di kamar itu." Dia menoleh ke atas, ke sebuah kamar yang pintunya tertutup.

"Baik. Terimakasih sekali lagi." ucapku sembari menaiki anak tangga lagi.

"Ini kuncinya." Dia menyerahkan sebuah kunci.

"Oh itu kamarmu?" Aku terkejut.

Dia mengangguk.

"Oh—"

"Asal kau tahu, ini rumahku." sambungnya. "Aku tidak akan bertanya kenapa, tapi kau bisa bebas menangis di kamar mandiku."

"Aku tidak kesana untuk menangis." Bohongku.

"Ya terserahlah."

"Apa tidak masalah kalau aku pinjam kamar mandimu?" Aku bertanya dengan hati-hati.

"Asal kau tidak merusak dan membanjirinya dengan tangisan bodohmu, itu tak akan jadi masalah."

"Tidak akan." Aku tersenyum kecut. "Omong-omong aku Isabella Force."

"Aku tidak bertanya."

Aku tidak sempat membuka suaraku lagi karena dia memilih untuk melanjutkan langkahnya, turun tangga, kemudian bergabung di sebuah meja bundar di sudut bersama anak sejenis dengan dia lainnya.

ISOLATEDDove le storie prendono vita. Scoprilo ora