Chapter 30 : Lie detector

22.8K 2.3K 127
                                    

"Rasanya sangat aneh." Aku berlari ke kamar mandi untuk muntah.

Alexander tertawa puas sambil mengancingkan kembali celananya. Selesai berkumur, aku mengusap mulutku dengan tissue. Laki-laki itu sangat gila, bisa-bisanya dia mengeluarkannya di dalam mulutku.

"Lain kali aku akan mengeluarkan ke dalam mulut bawahmu." tuturnya.

Alexander dan kata-kata cabulnya adalah satu paket.

Aku kembali padanya dan meletakkan kedua tanganku di pundaknya sementara tangannya langsung bergerak melingkar di pinggangku. Aku melihat ke dalam matanya yang indah kemudian melirik ke meja yang akan menjadi saksi buta percintaan bergairah kami tadi. Aku merasakan pipiku panas karena malu.

"Kenapa kau tidak mau pakai kondom?" Aku merasakan mulutku panas setelah menanyakan itu.

"Aku ingin menyentuhmu langsung dengan kulitku."

Aku tidak tau sejak kapan aku mulai menyukai semua yang keluar dari mulutnya. Bahkan kata kotor dan kata nakal pun sudah membuat aku candu.

Kemudian aku mengingat sesuatu dan mengerutkan dahiku. "Omong-omong, kenapa Lisa datang kesini?"

"Aku tidak tau."

"Apakah dia sering kesini?"

"Aku tidak tau dan tidak peduli, Bella. Aku selalu di dalam sini dengan setumpuk pekerjaan." Dia melambai pada tumpukan berkas di atas meja.

"Apakah kau bahkan tidak punya sekretaris? Aku melihat bos-bos besar selalu punya wanita cantik di samping mereka."

"Aku punya wanita cantik di rumahku." Dia menggodaku.

Aku berjalan mengitari ruangannya, melihat beberapa hal di dalam sini. Ruangan itu sudah pasti luas seperti ruangan bos pada umumnya, dengan dinding terbuat dari kaca yang menghadap ke pemandangan perkotaan.

Matahari sudah mulai turun dan malam akan segera tiba.

"Dia mengatakan datang untuk melihatmu." kataku melanjutkan obrolan.

"Siapa?"

"Lisa McKenn." Aku memutar mata jengkel. "Apakah dia pernah masuk ke ruanganmu?"

"Mungkin kalau kau tidak membuat keributan di lift, dia akan masuk dan membual di depanku. Terimakasih untukmu." Alexander berjalan di belakang lalu memeluk pinggangku sambil mengecup leherku.

"Dia sepertinya tidak akan menyerah. Aku tidak begitu suka gadis itu."

"Apakah kau akan menjambaknya lagi?"

Aku hanya tertawa mengingat betapa liarnya aku di dalam lift. Aku yang dulu tidak pernah menganggu siapapun. Aku tetap pada urusanku dan membiarkan orang lain tetap pada urusan mereka.

"Bella, aku hanya meletakkan mataku padamu. Jangan buang waktu untuk hal konyol." kata Alexander kemudian.

Cara dia mengatakan kalimat itu benar-benar membuat banyak kupu-kupu berterbangan di perutku. Aku tersenyum untuk keseribu kalinya. Aku bisa merasakan lewat nadanya yang memabukkan bahwa dia benar-benar menginginkan aku.

Haruskah aku menikah?

Mungkinkah pernikahan akan lebih penting dari cita-citaku? Duniaku sekarang 180 derajat berbeda setelah kehadiran Alexander Rayan. Tapi apakah aku benar-benar harus merelakan semua cita-citaku yang telah mati-matian kurencanakan?

Tidak.

Keraguan terus muncul dan membuat aku sakit kepala. Aku harus selesaikan cita-citaku dulu kemudian baru memikirkan menikah.

ISOLATEDWhere stories live. Discover now