Chapter 2 : Hope it was a dream

43.3K 3.7K 199
                                    

Aku mencoba membuka mataku yang berat saat matahari masuk lewat celah ventilasi.

Lalu aku menyadari bahwa ini bukan kamarku.

Seketika aku terperanjat dari tempat tidur, memandang ke sekeliling. Kamar ini luas namun gelap. Satu lagi, ternyata aku salah, ini bukan cahaya matahari melainkan cahaya lampu yang redup. Ini malam hari.

Aku tidak tahu dimana aku berada. Dan aku tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang sudah aku lewati. Satu-satunya hal terakhir yang aku ingat adalah, aku berada di rumah Celina kemudian aku berjalan pulang melewati trotoar menuju rumahku. Setelah itu semuanya gelap begitu saja. Bahkan aku tak menemukan ingatan bahwa aku membuka pintu rumah.

Apakah aku sedang bermimpi?

Sial.

Dimana aku berada? Ini bukan mimpi. Tempat ini sangat asing bagiku. Aroma jeruk dan lavender yang melayang di udara, membuatku ingin muntah. Saat aku bergerak ke pintu, kepalaku berdengung dan aku harus menyeimbangkan tubuhku dengan berpegangan pada tembok.

"Kau sudah bangun?"

Aku mendongak untuk melihat pemilik suara berat itu. "Alexander?"

Aku tidak percaya apa yang aku lihat. Aku ingat pria itu adalah Alexander Rayan, kakak Celina yang kutemui sekilas di pestaz Dia berdiri tepat di depanku, dengan handuk melingkar rendah di pinggangnya, memamerkan badannya yang kotak-kotak dihiasi tetesan air yang belum sepenuhnya kering.

"Kenapa aku ada disini?" Aku menyerbunya tanpa basa basi. "Aku dimana?"

Aku ingat betul aku tidak mabuk sama sekali. Jadi asumsi bahwa aku teler lalu mendadak terbangun di ranjang orang lain sama sekali tak masuk sebagai salah satu kemungkinan. Aku tidak mabuk. Itu sudah pasti. Tapi kenapa kepalaku terus berdengung seperti baru saja bangun dari pingsan?

Apa yang sebenarnya terjadi padaku?

Dan Alexander hanya tersenyum miring tanpa menjelaskan apa-apa. Dia bergerak ke sebuah meja, mengambil rokok dan menyalakannya dengan santai.

"Dimana ponselku? Tasku—" Aku mencoba mencari-cari di sekeliling. Jantungku berdegup cukup hebat setelah menyadari bahwa ada yang aneh disini.

Dan aku tidak menemukan apapun yang menjadi milikku disini. Bahkan aku baru menyadari kalau aku sedang mengenakan kemeja putih yang bukan milikku. Saat kusentuh tubuhku, rupanya aku tidak mengenakan bra, maupun celana dalam.

"Apa yang kau lakukan padaku?!" Aku berteriak murka.

"Bajumu basah dan aku melepaskannya." jawab Alexander tanpa rasa bersalah.

Kerongkonganku mendadak kering kerontang dengan kepala yang mulai kacau balau. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang sudah terjadi padaku. Mengapa aku berakhir disini bersama orang yang bahkan baru aku lihat tadi malam? Kenapa bajuku basah dan dia melepaskannya dari tubuhku?

"Aku tak mengerti. Apa yang kau lakukan padaku? Mengapa aku ada disini—" Aku menelan ludah dengan tangan gemetaran dan emosi yang semakin meledak. "Aku sama sekali tak mabuk atau menumpahkan minuman ke bajuku di pesta."

"Bella, aku tidak akan menyakitimu." Dia berjalan ke arahku, menunduk untuk melihat wajahku.

"Aku ingin pulang." kataku di sela-sela gigiku.

"Tidak bisa."

"A— apa maksudmu?" Sungguh aku tidak bisa memikirkan apapun. "Dimana ponselku? Aku akan menelepon polisi."

Alexander tertawa pelan seolah baru saja mendengarkan lelucon. "Mereka tidak akan datang." jawabnya.

"Berikan ponselku!"

ISOLATEDWhere stories live. Discover now