Chapter 4 : Stupid explanation

35.4K 3.2K 117
                                    

Keadaan ini tak boleh kusia-siakan. Dengan perlahan aku membuka pintu, mengintip lalu keluar dari sana. Rumah ini begitu luas namun tak seorang manusia pun ada di dalamnya selain aku. Kupacu kakiku sehingga melangkah lebih cepat dan lebih cepat— setengah berlari menuruni anak tangga, mencari setiap sudut yang memungkinkan aku untuk kabur.

Saat tiba di koridor lain, aku mendadak jadi penasaran apakah kamar-kamar dengan pintu tertutup itu juga punya penghuninya? Gadis-gadis lain yang dia culik maksudku.

"Anda butuh bantuan, Mam?"

seorang laki-laki berhasil membuatku terperanjat tepat saat tanganku menyentuh salah satu gagang pintu.

"Y— ya— aku mencari dapur."

"Lewat sini." Laki-laki muda itu berjalan di depanku menunjukkan jalan ke arah kanan. Aku mengikutinya dengan mata masih menyapu setiap sudut rumah.

Sial. Aku tidak punya ide harus melarikan diri lewat mana. Sejauh mataku memandang, rumah ini memiliki jeruji dengan celah yang sangat kecil dan kalau pun aku berhasil keluar, aku pasti akan disambut oleh para penjaga.

"Mam, silakan. Tuan Alexander sudah menyiapkan sarapan untuk Anda." Laki-laki tadi mempersilakan aku memasuki dapur.

Aku berjalan memasuki dapur yang luas. Semua perlengkapannya berupa barang-barang mewah. Bahkan dia punya meja marmer yang sangat besar disana. Bukan kejutan bagiku, aku sudah terbiasa dengan suasana menyebalkan ini di rumahku.

Setelah menghela napas, aku membuka kulkas dan mencari sesuatu yang bisa aku makan selain makanan di atas meja. Aku tidak akan makan apapun yang sudah disiapkan oleh Alexander untukku. Dia bisa saja memasukkan racun di dalam makanan. Mungkin itu juga yang telah dia lakukan sebelum menculikku.

Kutemukan roti dan selai. Aku sangat kelaparan, hingga tidak sadar bahwa laki-laki tadi masih berdiri di sudut dapur.

"Hei." Aku memanggil dan dia pun menoleh. "Apakah ada orang lain selain aku disini?"

"Hanya Anda, Mam."

"Aku tidak suka di panggil Mam." kataku. "Namaku Isabella."

Laki-laki itu tidak menjawab.

"Siapa namamu?" Aku bertanya lagi.

"Federic Hayt."

"Apa kau tau kenapa Alexander menculikku?"

"Aku tidak tau."

"Aku yakin kalian semua yang ada disini membantunya. Apakah ada gadis-gadis korban penculikan lainnya disini?"

Dia tidak menjawab dan itu membuatku kesal.

"Apakah dia punya gangguan mental?"

"Tidak, Mam."

"Lalu kenapa dia menculikku?!" Nadaku terdengar satu oktaf lebih tinggi. "Aku tidak mengerti apa salahku. Bahkan aku tidak mengenalnya sama sekali. Kami baru bertemu di pesta dan itu hanya sebatas saling melihat saja. Kami bahkan tidak berjabat tangan ataupun berbicara tapi kenapa—" Aku berhenti karena tidak tau harus memikirkan apa lagi. "Sialan."

Federic diam saja. Aku pikir dia memang tidak diperbolehkan banyak bicara.

"Apakah dia memang suka menculik gadis-gadis?" Aku bertanya lagi.

"Tidak, Mam. Hanya Anda, setauku."

"Namaku Isabella."

"Maaf itu tidak sopan jika aku memanggilmu dengan nama." jawabnya.

Aku tertawa masam. "Bagaimana bisa penjahat masih memikirkan sopan santun?" Kutelan potongan terakhir rotiku. "Oke, setidaknya bisakah kau ceritakan padaku kronologi penculikan ini? Karena aku tidak bisa mengingat apapun."

ISOLATEDWhere stories live. Discover now