Istana Ruby berubah gelap, Pangeran Hilberth melirik Putri Janesita yang menatap sekeliling yang tampak gelap. Bola lampu yang melayang membantu mereka untuk berjalan.
"Kalian ke sana, kami akan ke atas." Pangeran Hilberth berjalan bersama Putri Janesita, sedangkan Pangeran kelima yang malah terlihat menikmati suasana mencekam Istana Ruby mengangguk dengan senyuman.
Putri Janesita merapatkan dirinya dapur yang biasa ia masuki tidak semencekam ini, biasanya. Tapi kali ini rasanya seperti ada yang memerhatikan mereka.
Tes!
Langkah Putri Janesita berhenti, membuat Pangeran Hilberth ikut berhenti. "Kenapa?"
Putri Janesita menyentuh pipinya, ada sesuatu disana, Putri dengan rambut indigo itu menatap tangannya. "Darah."
Pangeran Hilberth yang melihat itu tampak kaget, keduanya saling tatap lalu secara perlahan menoleh ke langit-langit dapur.
Sebuah kepala, hanya kepala tanpa tubuh tergantung dengan senyuman lebar melihat kedua bangsawan itu.
Putri Janesita hampir berteriak, tapi Pangeran Mahkota dengan cepat menutup mulut gadis itu dan menarik Putri Janesita ke balik meja pantri, keduanya duduk di lantai dapur.
Pangeran Hilberth meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, Janesita yang mengerti mengangguk pelan. Hilberth melepaskan tangannya.
Menghela nafas panjang Janesita memegang dadanya, jantungnya seperti mau keluar dari sana. Sekarang bukan karena kepala yang ada di langit-langit dapur, tapi ini pertama kalinya dia dan Pangeran Hilberth berkontak fisik sebegitu dekatnya. Karena sejak kapan Pangeran itu mau dekat-dekat dengannya?
"Ini sudah lima menit, Anstia dan Sylvester pasti sudah masuk."
Janesita mengangguk, gadis itu menatap sekitar, matanya jatuh pada bola yang berada di dalam laci yang agak terbuka, warna terang dari bola itu membuat mata Janesita langsung dapat melihat benda itu.
"Hei," Pangeran Hilberth yang mau tidak mau mengikuti Putri Janesita melirik ke pintu, berjaga-jaga. "Ada apa?"
Putri Janesita membuka laci tersebut, gadis itu menutup mulutnya sendiri saat ada sebuah kepala dengan mata tertutup ada di dalam sana, namun dia menahan segala teriakan di dalam mulutnya, berusaha meraih bola itu meski tangannya menyentuh cairan yang entah apa.
"Bagus."
Pangeran Hilberth mengangguk saat Putri Janesita mendapatkan bola tersebut keduanya kembali ke balik meja pantri.
"Halo, apa ada orang?"
Tubuh Pangeran Hilberth maupun Putri Janesita mendadak beku, mendengar suara Anstia saat ini rasaya seperti bertemu dengan malaikat maut padahal biasanya Hilberth mencari-cari Anstia, tapi kali ini dia tidak mau di temukan oleh Anstia.
"Heh? Sudah satu bolanya berkurang? Oke, sepertinya itu Kak Brandon, dia 'kan aneh tapi kadang aku benci saat dia jadi pintar," Anstia seperti sedang berkomunikasi dengan seseorang, gadis itu membawa tas kecil yang tampaknya berisi warna yang di bicarakan gadis itu sebelumnya. "Di dapur sepertinya tidak ada orang, kalaupun ada harusnya sudah berteriak karena melihat kepala di langit-langit dapur. Atau kalau tidak, mereka sudah teriak karena serangga-serangga yang merayap di dinding."
Mendengar ucapan terakhir Anstia, mata Pangeran Hilberth menatap ke dinding ada lebih dari ratusan atau bahkan ribuan mungkin, karena semua dinding bagai di tutupi oleh kelabang yang bergerak tidak karuan. Untungnya dia sempat mematikan penerangan mereka saat Anstia masuk, jika tidak mereka pasti ketahuan. Melirik ke sampingnya, Pangeran Hilberth meremas tangan Putri Janesita yang tampak bergetar, sepertinya ketakutan melihat kelabang-kelabang itu di dinding.
"Aku mau cek ke ruang tamu sih ... Oke."
Suara langkah kaki mulai menjauh, membuat helaan nafas panjang dari Pangeran Hilberth terdengar sedangkan Putri Janesita merosotkan tubuhnya yang gemetar.
"Kau takut?"
"Aku benci kelabang." Putri Janesita berusaha agar tidak melihat dinding, kenapa dia tidak menyadarinya?
"Jangan di lihat, cukup lihat aku." Putri Janesita menatap Pangeran Hilberth yang tampak tidak bermain-main dengan kata-kata hanya agar Janesita tenang. Mengangguk pelan, dia menatap Pangeran Hilberth meski hanya cahaya bulan dari luar yang membantu pencahayaan mereka. "Kita cek ke tempat lain."
Putri Janesita mengangguk.
***
"Tahan."
Bianiana hanya bisa menggigit bibir bawahnya dan berusaha tidak menjerit, antara ketakutan dengan makhluk mirip laba-laba besar yang mengejar mereka dari ujung lorong atau karena posisinya dan Pangeran Brandon yang terlalu dekat.
Keduanya berada di dalam lemari, saling berdempetan dengan suara nafas masing-masing yang bisa mereka dengar, bahkan suara jantungnya sendiri bisa Bianiana dengar.
Brandon berdecak pelan, dia tau itu sihir milik Sylvester, dari dulu Kakaknya itu sering menciptakan sesuatu yang aneh untuk menakut-nakuti. Sebenarnya tidak berbahaya, tapi tetap saja menyeramkan. Apalagi itu adalah laba-laba Tarantula dalam ukuran setengah tinggi Sylvester sendiri.
"Selamat malam."
Brandon dan Bianiana yang berada di dalam lemari saling pandang, itu suara Sylvester. Bahkan suara tawa Sylvester terdengar sangat kuat.
"Aku tau kalian di dalam lemari."
Brandon maupun Bianiana menegang, keduanya saling melirik keduanya berusaha agar tidak membuat suara sama sekali. Bahkan Bianiana rasanya hampir tidak bernafas.
"Apa? Sudah jadi dua?" Sylvester tampak berkomunikasi dengan seseorang, pasti itu Anstia. "Kalau mereka kena warna, kalah, kan? Sepertinya aku tau dimana Brandon."
Suara tawa Pangeran Sylvester membuat Bianiana sedikit takut, entah karena suasana yang mendukung atau karena tawa itu memang terdengar menyeramkan.
"Oke."
Suara langkah Sylvester terdengar menjauh, hingga akhirnya tidak terdengar membuat Brandon perlahan membuka lemari untuk mengecek. Tidak ada siapapun.
"Kita cek di perpustakaan."
Bianiana hanya mengangguk, dia mengikuti Pangeran Brandon yang berjalan menuju perpustakaan yang berada di lantai pertama awalnya mereka ingin ke perpustakaan, tapi mereka mendengar suara Anstia di perpustakaan karenanya mereka naik ke lantai dua dan bertemu dengan laba-laba besar. Mereka akan mengecek lagi ke sana, karena tampaknya disana ada bola tersebut. Kalaupun tidak ada mereka akan tetap mengecek.
Mereka memutuskan untuk tidak menyalakan pencahayaan mereka, hanya berharap bulan di luar sana tetap terang hingga permainan berakhir.
Suasana perpustakaan hening, bahkan terlalu hening. Pangeran Brandon dan Bianiana menoleh kaget saat pintu yang baru mereka masuki terbuka.
Hampir berteriak saat mengira Anstia atau mungkin Sylvester yang masuk ke dalam, namun mereka berempat sama-sama menghela nafas lega saat itu bukan diantara kedua orang itu.
"Kalian sudah dapat berapa bola?" Pangeran Hilberth bertanya sembari keempatnya mencari lokasi bersembunyi.
"Dua." Brandon menjawab, mereka sempat mendapatkan satu di bawah tempat tidur sebelum masuk ke dalam lemari.
"Kami baru dapat satu, jadi jumlahnya tiga? Masih kurang dua lagi." Pangeran Hilberth melirik kebelakang.
"Tapi, kami sudah masuk ke setiap tempat tapi tidak ada lagi bola itu." Putri Janesita menggeleng pelan.
"Kami bahkan mendapat satu di kaki laba-laba besar." Ucapan Putri Bianiana membuat Pangeran Hilberth menaikkan satu alisnya.
"Laba-laba?"
"Kami di kejar-kejar oleh laba-laba besar tadi, di kakinya ada bola itu." Brandon duduk di lantai, rasanya adrenalinnya sudah lama tidak seperti ini. Bahkan ini bukan di medan perang atau bahkan di depan orang banyak saat dia sedang berpidato tapi rasanya jantungnya ingin melompat keluar.
"Jangan-jangan..."
Semua orang yang ada di ruangan itu menatap Bianiana. "Apa?" Putri Janesita bertanya.
"Ini hanya spekulasiku saja," Putri Bianiana menatap Pangeran Hilberth, Pangeran Brandon dan Putri Janesita bergantian. "Kami menemukan bola di kaki laba-laba, sedangkan Putri sudah mencari kemana-mana tapi tidak menemukan bola lain. Bagaimana jika bola itu memang hanya ada lima? Bukan sepuluh seperti yang Anstia bilang. Kalau tiga ada pada kita, artinya dua lagi ada pada Anstia dan Pangeran Sylvester. Karena bagaimana bisa kita sudah mencari di segala tempat tapi tidak ada satupun, bahkan bola itu ada pada makhluk seperti laba-laba."
Pangeran Hilberth melirik Pangeran Brandon, semuanya jadi masuk akal jika memang seperti itu.
"Ternyata Bianiana pintar juga."
"Mirip cerita yang pernah aku baca."
Tubuh keempatnya menegang tiba-tiba, beku. Perlahan keempatnya menoleh, menatap dua orang yang berdiri dengan senyuman lebar. Ditangan keduanya terdapat warna yang jika terkena pada mereka artinya kalah.
"Tapi maaf, kali ini kami yang menang."
Keempatnya belum sempat bergerak saat tiba-tiba saja di hujami oleh serbuk warna.
Malam itu Istana Ruby ramai dengan suara tawa, dan juga hukuman aneh dari Anstia dan Sylvester bagi mereka yang kalah.
. . .
Aku baru sadar kalo udah nggak update lama 🤣 maaf ya 😆
Eh, tapi kedepannya aku bakal sangat jarang-jarang update, tugas sudah mulai berdatangan jadi kayaknya nggak ada waktu lagi, cobaan hidup datang keroyokan harap maklum.
Aku bakal update kalo aku punya waktu, kalo aku ingat aku update tapi kalo enggak yaaaaa nggak update
Kalian di kapalnya siapa nih? Pangeran Hilberth sama Putri Janesita atau Pangeran Brandon sama Putri Bianiana?
Kalo aku sih Anstia sama Pangeran Haindre 😆
Itu aja, bacot bener ni author wkwkwk
Jangan lupa komen 😘