-DEEP-

By andinienggar

81.3K 6.3K 309

[COMPLETED] Memang awalanya tidak ada yang aneh, semua berjalan mulus selama lima tahun lamanya. Namun sua... More

DEEP [SATU]
DEEP [DUA]
DEEP [TIGA]
DEEP [EMPAT]
DEEP [LIMA]
DEEP [ENAM]
DEEP [TUJUH]
DEEP [ DELAPAN]
DEEP [ SEMBILAN]
DEEP [ SEPULUH]
DEEP [SEBELAS]
DEEP [DUA BELAS]
DEEP [TIGA BELAS]
DEEP [EMPAT BELAS]
DEEP [LIMA BELAS]
DEEP [ENAM BELAS]
DEEP [TUJUH BELAS]
DEEP [ DELAPAN BELAS]
DEEP [SEMBILAN BELAS]
DEEP [DUA PULUH]
DEEP [DUA PULUH SATU]
DEEP [DUA PULUH DUA]
DEEP [DUA PULUH TIGA]
DEEP [DUA PULUH LIMA]
DEEP [DUA PULUH ENAM]
DEEP [DUA PULUH TUJUH]
DEEP [DUA PULUH DELAPAN]
DEEP [DUA PULUH SEMBILAN]
DEEP [TIGA PULUH]
DEEP [TIGA PULUH SATU]
DEEP [TIGA PULUH DUA]
DEEP [TIGA PULUH TIGA]
DEEP [TIGA PULUH EMPAT]
DEEP [TIGA PULUH LIMA]
DEEP [TIGA PULUH ENAM]
DEEP [TIGA PULUH TUJUH]
DEEP [TIGA PULUH DELAPAN]
DEEP [TIGA PULUH SEMBILAN]
DEEP [EMPAT PULUH]
DEEP [EMPAT PULUH SATU]
DEEP [EMPAT PULUH DUA]
DEEP [EMPAT PULUH TIGA]
DEEP [EMPAT PULUH EMPAT]
DEEP [EMPAT PULUH LIMA]
DEEP [EMPAT PULUH ENAM ]
DEEP [EMPAT PULUH TUJUH]
DEEP [EMPAT PULUH DELAPAN]
DEEP [EMPAT PULUH SEMBILAN]
DEEP [LIMA PULUH]
DEEP [LIMA PULUH SATU]
DEEP [LIMA PULUH DUA]
DEEP [LIMA PULUH TIGA]
DEEP [LIMA PULUH EMPAT]
DEEP [LIMA PULUH LIMA]
DEEP [LIMA PULUH ENAM]
DEEP [LIMA PULUH TUJUH]
DEEP [LIMA PULUH DELAPAN]
DEEP [LIMA PULUH SEMBILAN]
DEEP [ENAM PULUH]
DEEP [ENAM PULUH SATU]
DEEP [ENAM PULUH DUA]
DEEP [ENAM PULUH TIGA]
DEEP [ENAM PULUH EMPAT]
DEEP [ENAM PULUH LIMA]
DEEP [ENAM PULUH ENAM]
DEEP [ENAM PULUH TUJUH]
DEEP [ENAM PULUH DELAPAN]
DEEP [ENAM PULUH SEMBILAN]
DEEP [TUJUH PULUH]
DEEP [TUJUH PULUH SATU]
DEEP [TUJUH PULUH DUA]
DEEP [TUJUH PULUH TIGA]
DEEP [TUJUH PULUH EMPAT]
DEEP [TUJUH PULUH LIMA] EPILOG

DEEP [DUA PULUH EMPAT]

1.1K 91 0
By andinienggar

Abel berjalan menyusuri lorong demi lorong kelas sambil bernyanyi nyanyi. Hari ini moodnya sedang baik karena nilai ulangan matematikanya mendapat angka delapan. Suatu kebanggan dan keberuntungan yang teramat besar bagi Abel jika mendapatkan nilai matematika di angka delapan. Bagi Abel yang otaknya hanya lancar untuk menghafal bukan untuk menghitung mendapatkan nilai delapan dalam pelajaran matematika seperti mendapatkan durian runtuh.

Ketika Abel hampir sampai di parkiran, tiba-tiba ada yang menarik tangannya. Refleks Abel berteriak.

"Tolong penculik tolong!!" suara Abel menggema di lorong-lorong.

"Sttt ... Heh, ini gue, Galang, gak usah teriak-teriak elah."

Begitu mendengar suara yang familiar di telingannya, dia berhenti memberontak dan berhenti berteriak.

Abel menghempaskan tangannya yang di cekal oleh Galang.

"Anjir, gue kira penculik beneran." Abel mencak-mencak gak jelas.

"Parnoan, sering lihat sinetron sih."

"Lah elonya juga pake acara tarik-tarik gue dadakan. Ngomong baik-baik kan bisa."

"Ya maaf," cicit Gilang.

"Lagian lo mau ngapain sih tarik-tarik gue? Lo kira gue tali apa."

"Temenin gue yuk?"

Abel mengerutkan keningnya samar, "Kemana?"

"Elah, timbang bilang iya doang susah, nanti juga lo tau."

Gilang menggandeng tangan Abel, sedangkan Abel juga nurut-nurut aja.

Di dalam mobil Abel hanya diam tak bertanya lebih lanjut. Sedangakan Gilang tersenyum kecil.

"Gak usah ngambek, nanti juga lo tau kok."

Sedangkan Abel menatap Gilang cemberut.

Mobil yang di bawa Gilang berbelok ke super market.

"Bisa bantu gue?"

"Apa?"

"Bantu gue buat pilih Minyak, Telur, Beras dan kawan kawannya, semacam sembako gitu buat kebutuhan dapur. Merk  yang biasa lo beli."

"Buat?"

"Nanti juga lo tau."

"Kayak gak ada jawaban lain aja."

Setelah berkata seperti itu, Abel ngeloyor begitu saja masuk super market. Meninggalkan Gilang di belakang.

Abel sibuk mencari cari bahan dapur yang biasa dia beli. Sambil mengingat-ingat apa saja yang di beli bundanya untuk keperluan dapur. Sedangkan Gilang membuntuti dari belakang. Diam-diam, Gilang memotret setiap ekspresi Abel. Entahlah, Gilang suka cara Abel mengekspresikan perasaannya.

Setelah semua bahan-bahan dapur terbeli, mereka menuju kasir. Bahan-bahan itu di kemasi dalam beberapa kardus. Lalu kardus-kardus itu di masukkan ke dalam bagasi.

Lalu mereka melanjutkan perjalanan. Baru lima belas menit, mobil yang dikemudikan Galang berbelok ke sebuah toko mainan dan boneka.

Galang turun dari mobil disusul oleh Abel.

"Lo bisa tolong pilihin boneka yang di sukain anak perempuan?"

Abel mengangguk pelan.

Walaupun ia masih bingung, tapi dia tetap memilih milih boneka yang di sukai anak-anak perempuan. Sedangkan Galang mencari mainan untuk anak laki-laki.

Setelah memilih-milih, mereka membayar ke kasir. Semua mainan itu di masukkan ke dalam kardus pula.

Mereka melanjutkan perjalanan lagi. Abel masih terdiam dalam kebingungannya. Malahan Abel sempat menebak yang tidak-tidak.

Buat apa mainan dan bahan dapur sebanyak itu? Jangan-jangan ..

Abel menggelengkan kepalanya. Dia harus berpikir positif dulu, karena dia belum tahu apa motif dan tujuan Gilang membeli semua ini.

Mobil yang ditumpangi Abel berbelok ke gang. Lalu berhenti tepat di depan rumah dengan halaman besar. Di situ banyak sekali anak-anak kecil, rata-rata sekitar anak-anak usia 5-12 tahun.

Begitu Gilang dan Abel keluar dari mobil, Gilang langsung diserbu oleh anak-anak yang tadinya asik main bola.

"Bang Gilang, robotku mana?"

"Abang, boneka doraemonku ada kan?"

"Bang Gilang aku kangen,"

"Bang, ayo main sepak bola."

Kurang lebih begitulah kata-kata yang di lontarkan anak-anak itu.

Gilang tersenyum senang mendengar hal yang di katakan anak-anak itu.

"Sebentar ya, Abang ambil di bagasi dulu."

Gilang membuka bagasi mobil, lalu menenteng beberapa kardus berisi mainan di tengah-tengah kerumunan mereka.

"Nih pesenan kalian, jangan pada berebut ya, ngambilnya antri satu-satu."

Setelah berkata seperti itu, anak-anak langsung mengantri dengan tertib. Mengambil mainan mereka.

Baru saja Abel asik mengamati anak-anak kecil itu, datanglah seorang wanita paru baya dengan senyum ramah.

"Eh mas Gilang?"

Mendengar namanya dipanggil, Gilang segera menghampiri wanita itu.

"Bu Rani, apa kabar Bu?"

"Sehat mas alhamdulilah, mas Gilang gimana?"

"Alhamdulilah bu sehat."

"Wah, mas Gilang sekarang sudah punya gandengan ya? Namanya siapa mbak?"

Abel yang merasa dipanggil langsung mengulurkan tangannya dan melemparkan senyum ramah.

"Saya Abel Bu,"

"Woalah mbak Abel namanya. Cantik. Pantes mas Gilang suka. Pacarnya ya mas?" Bu Rini tersenyum penuh arti.

"Doain Bu," bisik Gilang pelan, namun masih dapat didengar Abel.

Abel hanya diam menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Oh iya Bu, saya bawa sedikit rejeki buat ibu, ada di bagasi."

"Woalah mas Gilang ini lho, makasih banyak ya mas, nanti saya suruh bapak ngangkatin." Bu Rani tersenyum ramah. "Masuk dulu mas, saya bikinin kopi kesukaan mas, mbak Abel mau kopi atau teh atau apa?"

"Kopi aja gak papa Bu,"

"Mari-mari masuk,"

Gilang mengikuti langkah Bu Rani, sedangkan Abel membuntuti Gilang di belakang. Sebelum masuk, Abel mendongakkan kepalanya. Membaca tulisan spanduk tertera di dinding atas bagian luar rumah.

Panti asuhan Dharma Ceria

Abel mangut-mangut. Ternyata Gilang membawanya ke sini. Ternyata mainan banyak tadi untuk anak-anak panti asuhan. Ternyata kebutuhan dapur tadi untuk makan anak-anak di panti asuhan ini. Hati Abel diliputi rasa kagum kepada Gilang. Tak disangka, Gilang yang  notabennya playboy dan badboy, ternyata hatinya malaikat. Dia peduli sesama. Dia memberikan tanpa pamrih. Abel malu terhadap dirinya yang kadang suka lupa terhadap sesamanya yang lebih menderita.

Abel dan Galang duduk di ruang tamu. Namun telinga Abel menangkap suara tangisan bayi. Abel mengurungkan niatnya untuk duduk santai, dia bangkit lalu mencari sumber suara bayi itu. Di ikuti Gilang di belakangnya.

Ternyata suara itu membawanya ke sebuah tempat di mana tedapat beberapa box bayi yang tentunya berisi bayi.

Abel mendekati bayi yang menangis itu. Di gendongnya bayi itu. Entah karena hal apa, ajaibnya bayi itu langsung diam dalam gdndongan Abel.

"Wah, bayinya tahu mbak kalo yang gendong dia cantik, jadinya diem." suara Bu Rani memenuhi ruangan.

Abel tersenyum canggung.

"Biasanya kalo sama orang asing, si Rafa malah tambah keceng nangisnya. Tapi sama mbak Abel malah langsung diem."

"Udah cocok tu kalo jadi ibu," celetuk Gilang.

"Belum saatnya,"

"Nanti kalo saatnya lo bakalan jadi ibu dari anak-anak gue nanti. Lo gue boking dari sekarang." kata Gilang mantap.

"lo kira gue tempat makan bisa lo boking segala." Abel menatap Gilang tajam.

Sedangkan Gilang hanya mengendikkan bahunya.

Bayi yang digendong Abel sudah terlelap dalam tidurnya. Pelan, Abel menaruh bayi yang bernama Rafa itu di box nya lagi.

Hati Abel teriris melihat bayi-bayi di sini. Orang tua mana yang tega membuang mereka? Apa salah mereka hingga mereka tak diinginkan seperti ini?

Hati Abel miris melihat bayi sekecil ini harus menerima kenyataan bahwa orang tuanya tidak diketahui siapa dan di mana. Saat itu juga Abel merasa beruntung terhadap hidupnya. Dia masih punya orang tua. Masih punya bunda yang sayang kepadanya. Masih punya kakak yang setia menemaninya. Saat itu juga Abel tahu dia harus mensyukuri hidupnya. Mensyukuri apa yang ada. Bukan kah semua sudah di garis takdirkan dengan apik?

"Gue ke sana dulu ya, gabung sama anak-anak ikut main bola, lo sama Bu Rani bentar ya?"

Abel mengangguk. Dia dan Bu Rani duduk di teras rumah menyaksikan permainan sepak bola.

"Mbak Abel?"

"Iya Bu?"

"Mas Gilang itu ndak pernah lho ajak cewek ke sini,"

Abel mengerutkan dahinya samar. Dia tidak percaya. Setahu Abel, Gilang itu gonta ganti pacar, dan mana mungkin gak ada satu pun cewek yang di ajak ke sini.

"Beneran Bu?"

"Iya, dulu pernah sih ada yang di ajak. Namanya mbak Maya,"

Abel mengangguk. Jelas saja Maya pernah di ajak ke sini, dan Abel sudah menduganya.

"Mas Gilang itu baik mbak. Dia setiap dua bulan sekali dateng ke sini ngasih sembako sama mainan buat anak-anak panti. Dan itu rutin. Dia itu penyayang, hatinya baik, ramah, gak sombong. Pokoknya mas Gilang itu bisa di bilang paket lengkap." terang bu Rini.

Abel yang mendengar itu langsung bungkam. Hatinya diliputi rasa bersalah karena telah menilai Gilang yang enggak-enggak. Sekarang Abel tahu bagaimana sisi seorang Gilang yang sesungguhnya.

Abel menganggukkan kepalanya mengerti.

Setelah di panti cukup lama, Gilang dan Abel berpamitan.

Dalam perjalanan, Abel masih saja diam. Dia sebenarnya sudah kepo sedari tadi. Ingin mengajukan pertanyaan tapi takut salah bicara.

"Bel? Kok diem aja? Gue tau lo sedari tadi udah kepo kan? Tanya aja gak papa."

Abel tersenyum canggung karena tertangkap basah.

"Lang?"

"Iya?"

"Elo sejak kapan nyantunin anak yatim?" kata Abel lirih.

"Sejak gue smp. Awalnya gue sering di ajak Papa ke sini. Semenjak papa gue gak ada, gue yang nerusin jejak dia. Entah kenapa gue seneng aja ngelihat mereka seneng. Di samping mereka bahagia jadi kelihatan sederhana banget. Kenapa Bel? Lo bingung ya orang senakal gue bisa kayak gini?"

Pertanyaan telak itu mengenai hati Abel. Dia merasa serba salah sekarang.

"Maaf, gue gak tau, gue kira elo itu nakal, playboy, urakan, tapi nyatanya elo itu—"

"Udah gakpapa, gue tau kok image gue di mata anak-anak sekolah kayak gimana. Makanya gue pernah bilang sama elo jangan dengerin kata orang kalo lo emang belum bener-bener tau." terang Gilang.

Abel malu sekarang. Hatinya semakin di liputi rasa bersalah.

"Maaf," cicit Abel.

"Udah jangan minta maaf mulu elah, kayak lebaran."

"Gue serius Gilang," Abel cemberut.

Gilang terkekeh pelan.

"Iya Abel, gemesin banget sih." Gilang mencubit hidung Abel.

Sedangkan Abel tambah cemberut.

Hari itu Abel tahu sisi Gilang yang lainnya. Hari itu Abel tahu kebenaran tentang omongan orang-orang yang membicarakan Gilang yang tidak-tidak. Abel tahu sekarang.

"Lang, berhenti di depan kampus UNY aja, soalnya gue ada perlu sama abang gue."

"Yakin gak mau langsung pulang ke rumah?"

"Yakin, tu abang gue udah nunggu."

"Oke deh,"

Maaf Gilang, gue bohong sama elo. Gue belum bisa cerita sekarang.

Gilang menepikan mobilnya di depan kampus UNY.

"Thanks ya udah mau nemenin gue,"

"Sama-sama, lo hati-hati ya,"

Gilang mengangguk pelan.

Abel turun dari mobil dan melambaikan tangan ke arah mobil Gilang yang mulai menghilang di tikungan.

Cepat-cepat Abel masuk ke dalam mobil abangnya. Di dalam mobil terlibat percakapan antara kedua kakak beradik itu.
"Pacar baru nih," Varo menggoda abangnya.

"Apaan sih bang, temen elah." Abel mengelak.

"Kan semua berawal dari temen,"

"Bodo!" Abel memberengut.

"Elah gitu aja ngambek, gemes banget sih adek abang ini." Varo mencubit hidung Abel.

"Sakit bege, gak bisa napas gue." Abel tambah cemberut. Sedangkan Varo hanya cekikikan sendiri.

Akhirnya mereka sampai di depan rumah. Rumah yang beberapa hari ini dia tinggali. Dari dalam mobil, Varo mengerutkan dahinya samar karena ada sebuah mobil dengan plat familiar ada di depan rumahnya. Abel pun melakukan hal yang sama. Sedetik kemudian Varo keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah. Sedangkan Abel yang belum tersadar tambah mengerutkan dahinya. Namun kemudian dia tersadar kenapa abangnya itu lari seperti kesetanan. Segera Abel keluar dari mobil dan lari masuk ke dalam rumah.

Baru saja dia sampai ruang tamu, dia di hadiahi pemadangan yang membuatnya bungkam. Telinganya seketika ditulikan agar tak mendengar suara suara yang memekakan itu lagi. Lagi, hati Abel kembali remuk redam.

🌊🌊🌊

Continue Reading

You'll Also Like

245K 8.8K 44
[ TAHAP REPOST ] "Akan aku beri tahu kepada para pendaki, bahwa ada yang lebih indah dari gunung, yaitu kamu." ~Rimba Alfonso. Stevia Edelweiss, gadi...
1.2M 105K 34
Kinara (24 tahun) lahir dari keluarga kaya raya. Ia tidak pernah sekalipun pusing memikirkan soal materi. Sekilas hidupnya benar-benar dambaan bagi s...
11K 1.2K 35
"Tentang kiblat yang menjadi arahku pulang, dan salib yang membuatmu tenang." ** Pertemuan Rafa dan Ana dimulai dengan cara yang sangat sederhana. Di...
30.9K 3.7K 51
"Didedikasikan untuk kamu, Lusa, si pemilik resmi senyuman manis Xero." ·   · ✦ .    · ...