Quinta sedang bersantai di rumahnya. Setelah pulang sekolah tadi dia langsung mencuci semua pakaiannnya. Membereskan kamarnya. Dan menyapu seluruh rumah. Dan sekarang dia tengah mengistirahatkan badannya. Menonton acara televisi yang dia suka.
"Ta kamu di mana?" Itu suara Astrid—mamanya Quinta.
"Ruang tamu ma."
Mamanya menuju ke arah sumber suara Quinta. Melihat Quinta yang bersantai membuatnya kesal.
"Kamu ini bisanya cuma nonton tv, nonton film, kerjaan rumah di selesaiin. Main aja taunya."
Quinta berdecak. Hatinya kesal. "Udah Quinta beresin semuanya ma. Quinta cuma capek, mau istirahat sebentar."
"Halah alasan. Bilang aja kalo cuma mau enaknya aja."
"Semua pekerjaan udah Quinta selesaiin. Apa-apa yang di salahin Quinta. Giliran adek aja gak dimarahin. Padahal dia gak ngapa-ngapain." Bela Quinta.
"Adek kamu masih kecil Ta, dan kamu iri sama dia?"
"Quinta waktu smp juga masih kecil tapi udah di suruh nyuci sendiri, beresin sendiri, masak sendiri. Apa bedanya ma? Iri? Iya ma aku iri. Mama yang selalu mbeda mbedain Quinta sama adek." entah dapat keberanian dari mana dirinya bisa berkata seperti itu.
"Kamu udah berani ya sama mama?" suara Astrid meninggi.
"Quinta lagi gak mau debat. Quinta capek mau tidur."
Quinta berlalu begitu saja menuju kamarnya. Meringkuk di atas ranjangnya dan menumpahkan cairan bening di sana.
Selalu saja seperti ini. Tidak ada yang berubah. Ia benci rumahnya yang sekarang. Ia benci dianak tirikan. Ia lelah diatur-atur seperti robot oleh mamanya. Andaikan saja papi dan maminya tahu ia di perlakukan seperti ini hampir setiap hari, pastilah papa dan mamanya akan di marahi habis-habisan. Dan Quinta pun akan di minta tinggal dengan Papi dan Maminya lagi.
Tapi Quinta mencoba bertahan. Mencoba memahami semuanya. Itulah caranya bertahan.
Ia memilih membaringkan tubuhnya, untuk mengistirahatkan hati dan pikirannya.
Baru saja ia akan memejamkan mata, handphonenya bergetar panjang. Tanda ada chat spam.
Anak-anak ayam (7)
Dekka 💩 : P
Dekka 💩 : P
Dekka 💩 : Test
Dekka 💩 : Test satu dua tiga
Dekka 💩 : Di coba
Dekka 💩 : ekhem
Dekka 💩 : Para warga anak anak ayam yang budiman
Dekka 💩 : nanti sore kumpul eak di rumah gue. Jam 4 sore ya.
QuintaBela : Ngapain elah ke rumah lo?
Dekka 💩 : Nonton pohon mangga nari
Yuri Aruna : Haha lucu. Retceh banget sih
Arelino Gamael : Apa sih Na brisik banget.
Yuri Aruna : Apa sih lo sensi amat -_-
Arelino Gamael : Elo kali yang sensian. gue mah B aja.
Yuri Aruna : Kok lo lama-lama ngajak berantem ya
Arelino Gamael : Sini lo, awas lo gak takut gue 😑
Yuri Aruna : Oke gue jabanin
AnilaVidel : Heh bisa diem gak sih kalian berdua, brisik aja -_-, lagi pms nih gue
QuintaBela : rasain lo dapet marah dari Nila 😂
Arelino Gamael : Diem lo Cabe cabean -_-
QuintaBela : Elo yang diem sempak dugong 😒
AnilaVidel : Dasar ngeres semua!
Dekka 💩 : Heh pada bisa kagak nih? -_-
QuintaBela : Bisa
AnilaVidel : Bisa, gue jemput lo jam setengah 4 Na
Yuri Aruna : siap
Arelino Gamael : Jangan ngaret La -_-
AnilaVidel : Iya bawel lo kayak bawal.
QuintaBela : Sukurin kena semprot Nila lagi 😂😂
Dekka 💩: Abel sayang, lo dimana elah, kasih kepastian lah. Abang capek ni di gantungin mulu.
Abel ewh : jijiq deh Ka -_-
Dekka💩 : Jijiq tapi sayang kan? 😌
Abel ewh : You wish!
QuintaBela : lo bisa kan Bel? Gue jemput lo setelah itu kita jemput Gladis
AnilaVidel : Gladis mana nih?
Yuri Aruna : Hooh, kok gak muncul sih ?
Gladis lola : Sorry gaes, gue gak bisa. Gue gak di bolehin keluar kalo jam 4 sore.
QuintaBela : Yah :((
QuintaBela : Yaudah gue jemput lo ya Bel, terus kita cus
AnilaVidel : Yah (2)
AnilaVidel : Yah (3)
Abel ewh : Yah (999)
Dekka💩 : Halah, cuma kumpul doang. Lagian masih sore juga. Cupu lu Dis😑 @Gladis Lola
Abel ewh : Gak usah Ta, gue aja yang jemput elo, mumpung gue juga ada di luar. Gue otw jam setengah 4.
QuintaBela : Okay, Gue tunggu di taman deket angkringan ya, biar gak gabut nungguin elo.
Abel ewh : Okay
Quinta tersenyum. Hatinya kembali menghangat. Di saat seperti ini, hanya merekalah moodbooster Quinta.
Jam menunjukkan pukul 3, Quinta langsung tancap gas ke kamar mandi dengan perasaan senang. Karena dia bisa sejenak tidak memikirkan masalah itu. Yah setidaknya untuk sementara.
Setelah ritual mandi dan ganti bajunya selesai, dia menuruni tangga. Baru saja ia akan membuka pintu, suara mamanya mengintrupsi langkahnya.
"Mau ke mana kamu?" suara itu dingin.
"Pergi."
"Gak boleh. Main aja kerjaannya. Kembali ke kamar kamu!"
Quinta berdecak, "Kapan ma Quinta main terus?"
"Tanya sama diri kamu sendiri. Jadi anak kok cuma nyusahin. Gak pernah belajar.Kayak adekmu itu, juara satu, ikut olimpiade, nurut. Lha kamu? Kerjaan kok cuma dengerin musik pake earphone." ucap Astrid sakartis.
"Kenapa sih mama suka banding-bandingin Quinta sama adek? Capek ma, Quinta ya Quinta, bukan adek." Jelas Quinta penuh penekanan.
"Gak berbuat apa-apa aja capek." Mamanya sewot.
"Nyapu, nyuci piring, setrika, masak itu bukan berbuat apa-apa ya Ma? Kenapa Quinta selalu salah di mata Mama? Apa karena Quinta ini bukan anak yang Mama rawat dari kecil? Quinta ini anak Mama bukan sih?" Mata Quinta memanas. Cairan bening itu bahkan nyaris saja mengalir.
"Jaga bicara kamu Quinta!" Kini nada Astrid—mamanya Quinta meninggi.
"Ada apa ini ribut-ribut? Gak baik sore-sore ribut. Malu kedengeran tetangga." Suara berat itu menengahi pembicaraan antara ibu dan anak yang sedang berdebat. Siapa lagi kalau bukan papa nya Quinta. Dia baru saja pulang dari kerja.
"Tanya saja sama anakmu itu. Kerjaan kok cuma main aja."
Andre—papanya Quinta menatap anaknya dengan lembut.
"Quinta mau ke mana? Kok sore-sore gini?"
"Quinta mau ke rumah Dekka Pa, kumpul sama temen-temen."
"Sama siapa berangkatnya?"
"Abel Pa,"
"Yaudah sana, hati-hati ya"
"Iya Pa, makasih ya, Quinta pamit dulu."
Lalu Quinta segera pergi meninggalkan rumahnya sebelum dia mendengar suara pedas dari Mamanya lagi.
"Kamu kenapa sih mas selalu manjain dia?" Astrid sewot karena suaminya itu selalu manjain Quinta.
"Ma, kamu jangan kayak gitu dong. Quin juga perlu refreshing. Dia juga jenuh di rumah terus. Kasian dia."
"Terserah mas!" lalu Astrid berlalu meninggalkan Andre.
Sampai kapan ma kamu seperti itu? Quin juga anak kita
Quinta berjalan dengan langkah panjang. Matanya semakin memanas tak terkondisikan. Butiran-butiran bening mulai berjatuhan seiring dia melangkah semakin cepat.
Hatinya terkoyak. Sakit rasanya. Kenapa mamanya tak pernah coba mengerti dirinya? Kenapa dirinya harus diperlakukan tidak adil? Kenapa dia terdiskriminasi di keluarganya sendiri? Tempat yang seharusnya mendukungnya malah membuatnya semakin terpuruk.
Andai mama tahu semuanya
Ketika sampai taman, Quinta melihat mobil Abel sudah nangkring di sebelah barat taman. Cepat-cepat dia menghapus jejak jejak air matanya. Lalu berlari kecil masuk ke mobil Abel.
"Lama bener Ta? Tumben ngaret."
"Hah? Enggak, tadi nyuci piring dulu."
Abel mengamati wajah Quinta. Terlihat mata Quinta sedikit bengkak. Abel mengerutkan dahinya samar.
"Lo habis nangis?"
Quinta berdecak, "Halah biasa efek nonton drakor, lo tau sendiri lah."
Sedangkan Abel hanya ber oh ria.
Quinta bernapas lega karena dia bisa menggunakan alasan andalan itu. Dan Abel pasti tidak akan bertanya lebih lanjut.
"Berangkat sekarang?"
"cuss."
Dan mobil mereka melaju meninggalkan taman.
🌊🌊🌊
Salam jomblo!