-DEEP-

By andinienggar

81.3K 6.3K 309

[COMPLETED] Memang awalanya tidak ada yang aneh, semua berjalan mulus selama lima tahun lamanya. Namun sua... More

DEEP [SATU]
DEEP [DUA]
DEEP [TIGA]
DEEP [EMPAT]
DEEP [LIMA]
DEEP [ENAM]
DEEP [TUJUH]
DEEP [ DELAPAN]
DEEP [ SEMBILAN]
DEEP [ SEPULUH]
DEEP [SEBELAS]
DEEP [DUA BELAS]
DEEP [EMPAT BELAS]
DEEP [LIMA BELAS]
DEEP [ENAM BELAS]
DEEP [TUJUH BELAS]
DEEP [ DELAPAN BELAS]
DEEP [SEMBILAN BELAS]
DEEP [DUA PULUH]
DEEP [DUA PULUH SATU]
DEEP [DUA PULUH DUA]
DEEP [DUA PULUH TIGA]
DEEP [DUA PULUH EMPAT]
DEEP [DUA PULUH LIMA]
DEEP [DUA PULUH ENAM]
DEEP [DUA PULUH TUJUH]
DEEP [DUA PULUH DELAPAN]
DEEP [DUA PULUH SEMBILAN]
DEEP [TIGA PULUH]
DEEP [TIGA PULUH SATU]
DEEP [TIGA PULUH DUA]
DEEP [TIGA PULUH TIGA]
DEEP [TIGA PULUH EMPAT]
DEEP [TIGA PULUH LIMA]
DEEP [TIGA PULUH ENAM]
DEEP [TIGA PULUH TUJUH]
DEEP [TIGA PULUH DELAPAN]
DEEP [TIGA PULUH SEMBILAN]
DEEP [EMPAT PULUH]
DEEP [EMPAT PULUH SATU]
DEEP [EMPAT PULUH DUA]
DEEP [EMPAT PULUH TIGA]
DEEP [EMPAT PULUH EMPAT]
DEEP [EMPAT PULUH LIMA]
DEEP [EMPAT PULUH ENAM ]
DEEP [EMPAT PULUH TUJUH]
DEEP [EMPAT PULUH DELAPAN]
DEEP [EMPAT PULUH SEMBILAN]
DEEP [LIMA PULUH]
DEEP [LIMA PULUH SATU]
DEEP [LIMA PULUH DUA]
DEEP [LIMA PULUH TIGA]
DEEP [LIMA PULUH EMPAT]
DEEP [LIMA PULUH LIMA]
DEEP [LIMA PULUH ENAM]
DEEP [LIMA PULUH TUJUH]
DEEP [LIMA PULUH DELAPAN]
DEEP [LIMA PULUH SEMBILAN]
DEEP [ENAM PULUH]
DEEP [ENAM PULUH SATU]
DEEP [ENAM PULUH DUA]
DEEP [ENAM PULUH TIGA]
DEEP [ENAM PULUH EMPAT]
DEEP [ENAM PULUH LIMA]
DEEP [ENAM PULUH ENAM]
DEEP [ENAM PULUH TUJUH]
DEEP [ENAM PULUH DELAPAN]
DEEP [ENAM PULUH SEMBILAN]
DEEP [TUJUH PULUH]
DEEP [TUJUH PULUH SATU]
DEEP [TUJUH PULUH DUA]
DEEP [TUJUH PULUH TIGA]
DEEP [TUJUH PULUH EMPAT]
DEEP [TUJUH PULUH LIMA] EPILOG

DEEP [TIGA BELAS]

1.3K 107 0
By andinienggar

Pecahan gelas dan piring berserakan di mana-mana. Rasanya Abel tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Adu mulut memenuhi indra pendengaran Abel.

"Aku tahu mas, mas ada main kan sama istri sopir kita si Sinta itu? Iya kan mas?" untuk pertama kalinya Bela—bunda Abel menggunakan nada tinggi kepada Anto—suaminya.

"Kalo iya kenapa? Hah? Aku memang suka dengannya, lalu kau mau apa?!"

Bela menggeleng tak percaya. Cairan bening tak dapat dibendung. "Tega mas kamu sama aku!"

"Banyak omong kamu!" Anto mengambil kursi kayu di depannya dan hendak melemparkannya ke Bela.

"Berhenti semua!! Cukup!!" Varo—kakak Abel berteriak kencang hingga membuat Ayahnya menghentikan aksi melempar kursi itu.

"Jangan sakiti Bunda! Saya pikir anda ini laki-laki yang bertanggung jawab. Yang bisa menjadi panutan keluarga, tapi saya salah besar. Ternyata anda tak pantas saya sebut sebagai ayah!" Kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulut Varo.

Plakk!

Tamparan keras dilayangkan dengan mulus oleh Anton di pipi anaknya.

Varo tertawa hambar. "Tampar saja saya. Silakan. Asal jangan sakiti bunda saya!"

"Cukup mas! Kamu boleh sakiti aku. Tapi jangan anak-anakku." Bela berteriak. Teriakan syarat akan kepedihan. "Aku mau cerai dari kamu!!"

"Baguslah kalau begitu. Akan ku urus secepatnya!"

Kaki Abel melemas. Dia mencoba mencerna satu persatu kalimat yang didengarnya. Mencoba memahami maksud dan isinya. Pelupuk matanya sudah di penuhi cairan bening yang jika Abel berkedip satu kali saja maka cairan itu akan tumpah.

Abel membungkam mulutnya. Cairan itu akhirnya keluar juga. Bebas meluncur dengan deras.

"Abel benci Ayah!!"

Setelah mengatakan itu, Abel langsung pergi begitu saja.

"Varo, kamu cepat kejar adek kamu, bunda takut dia kenapa-kenapa."

"Ta—"

"Udah, bunda gakpapa." Bela meyakinkan anaknya.

Varo mengangguk, lalu mengejar Abel.

Varo menahan tangan Abel yang tadinya hendak keluar dari pintu gerbang.

"Bang, lepasin gue, Gue butuh sendiri." Abel mengurai tangan Varo yang menahannya. Lalu meninggalkan Varo yang terdiam di ambang pintu gerbang.

Varo membiarkan Abel pergi bukan karena dia tidak sayang atau tidak peduli, namun dia paham. Adeknya itu butuh waktu untuk memahami semuanya.

🌊🌊🌊

Sudah satu jam Abel berjalan tanpa tujuan. Jam bahkan sudah menunjukkan pukul 9 malam. Dan Abel sendirian. Kakinya terasa lemas. Air matanya bahkan sudah habis untuk menangis. Dia sama sekali tak ada niatan untuk pulang ke rumah.

Kejadian satu jam lalu masih saja terekam jelas di otaknya. Suara kasar yang di lontarkan kedua orang tuanya masih saja bersahut sahutan. Pedih dan sakit rasanya. Ayah, laki-laki yang selama ini tak pernah membuatnya sakit, laki-laki yang tak pernah membuatnya menangis, kini pandangan itu seketika sirna.

Abel menepi. Duduk di trotoar jalan. Kakinya tak kuat lagi untuk berjalan. Ia meringkuk. Memeluk tubuhnya sendiri. Menenggelamkan kepalanya berharap suara isakannya akan teredam.

"Abel?"

Suara itu membuat Abel mendongakkan kepalanya. Dan dia mendapati Arel di depannya. Segera Abel menghapus jejak air mata yang tersisa.

"Lo ngapain di sini?"

"Emm jalan-jalan aja." Abel tersenyum paksa. Mencoba menutupi semuanya.

Arel berjongkok, menyamakan posisinya dengan Abel yang terduduk. Menelisik mata Abel. Mencari kebohongan di matanya. Dan dia mendapati kebohongan jelas di mata coklat itu. Mata itu menyimpan luka baru.

"Ikut gue. Gak ada penolakan." Suara Arel penuh penekanan.

"Ta—"

"Diem!" Bentak Arel.

Abel langsung kicep. Dia belum pernah di bentak oleh Arel. Matanya memerah lagi. Entahlah, hatinya lebih sensitif mendengar bentakan. Padahal dulu ia tahan banting terhadap bentakan atapun makian.

Abel hanya diam ditarik oleh Arel. Dia sama sekali tidak berkomentar. Hingga mobil yang dikemudikan Arel membawa mereka ke sebuah rumah yang tak lain adalah rumah Arel.

Arel membukakan pintu Abel. Menarik Abel seperti menarik adek kecilnya sendiri. Yang ditarik juga diam tak protes.

"Duduk di sini."

Arel meninggalkan Abel di ruang tamu. Tak lama kemudian Arel kembali dengan dua buah cangkir kopi hitam.

Dia duduk di samping Abel. Abel hanya diam memandang Arel lama, sedangkan Arel hanya diam tanpa suara. Tapi tiba-tiba air mata Abel mengalir dengan deras. Isakan itu terdengar memilukan.

Arel tak berkata apa-apa. Dengan sigap dia langsung membawa Abel dalam pelukannya. Merengkuhnya. Mengusap uspa kepalanya. Menyalurkan ketenangan untuk Abel.

Arel masih diam. Entah, hatinya begitu pilu mendengar Abel menangis. Karena ia biasa mendengar Abel tertawa. Dia paling tidak suka melihat sahabatnya ini meneteskan air mata.

Setelah hampir setengah jam menangis, Abel mengurai pelukannya.

"Maaf Bel gue tadi gak bermaksud bentak elo. Maaf." Kata Arel penuh penyesalan.

"Gakpapa Rel. Gue tahu kok." Abel tersenyum.

"Bisa cerita? Kalo enggak gak papa. Gue bakalan nunggu sampai lo siap."

"No, gue mau sekarang."

Dan mengalirlah cerita itu. Kata demi kata membuat siapa saja yang medengar menjadi miris. Membuat seorang Abel menangis lagi dan lagi.

Sedangkan Arel ikut pilu mendengar cerita sahabatnya itu. Membuatnya merasakan sakit yang sama. Malam ini Abel rapuh di depan Arel. Abel yang biasanya banyak tertawa, malam itu jadi Abel yang sering menangis.

"Apa anak-anak udah tau?"

Abel menggeleng pelan.

"Please Rel, gue belum bisa ngomong sama mereka. Gue belum siap."

"Gue paham Bel. Sekarang lo jangan sedih lagi ya? Masih ada gue sama yang lainnya. Lo gak sendiri Bel. Gue tau lo bisa ngadepin ini. Abel yang gue kenal adalah Abel yang kuat." Arel menyemangati Abel.

Abel tersenyum.

Maaf ya Arel, gue belum cerita semuanya. Gue malu ngasih tahu alasan di balik itu semua. Suatu saat gue bakalan kasih tau, tapi bukan sekarang.

"Udah ya nangisnya, noh ngaca, lo udah mirip mama nya panda. Serem." Arel bergidik ngeri.

"Anjir lo!" Abel tertawa. Arel juga tertawa.

"Gitu dong, gue lebih seneng liat lo bawel dari pada nangis Bel. I'm seriously."

"Gombal!!" Abel tertawa lagi. "Thank you Rel udah ngehibur si cengeng ini."

"Gak ada kata terimakasih dan maaf dalam persahabatan. Karena semua akan terikhlaskan dan termaafkan dengan sendirinya."

"Halah sok bijak lo."

"Ah elo mah ngerusak moment aja. Gue kan mau ber quotes biar kek orang pinter." Arel cemberut.

"Ye dasar!" Abel mencubit lengan Arel.

"Lo nginep sini aja deh Bel, gue anter sekolah, nanti baliknya bareng gue, gue anter ke rumah."

"Ta—"

"Gak ada tapi-tapian. Udah malem Abel sayang. Lagian nyokap bokap ke Jakarta. Slow aja."

"Lah? Berdua dong kita?"

"Dasar omes! Kagak lah, ada Bi inah di sini. Lo tidurnya di kamar gue aja. Biar gue tidur di sofa. Tapi kalo mau seranjang sih juga gakpapa, kagak nolak gue." Arel tersenyum jail.

Abel langsung menjitak kepala Arel tanpa ampun." Otak mesum lo! Bisa di grepe grepe kalo gue tidur sama lo."

"Sakit bego!" Arel mengelus elus kepalanya.
"Rasain tuh! Mamam tu sakit. Mesum di pelihara."

"Abis lo semok gitu sih Bel."

"Sekali lagi lo bilang gitu, gue kasih bogeman mentah lo." Abel menatap tajam Arel.

Yang di tatap tajam malah tertawa keras merasa berhasil mengoda dan membuat Abel kesal.

"Mending lo ganti baju deh Bel, masak masih pake seragam gitu."

Abel meneplak jidatnya sendiri "Bego, gue dari tadi ternyata masih pake seragam. Tapi kan Gue gak bawa baju ganti Rel."

"Wait, gue cari baju dulu."

Sepuluh menit kemudian, Arel kembali dengan membawa kaos berwarna merah dan celana pendek jeans.

"Nih, ganti gih sono."

Tanpa protes, Abel berganti baju di kamar mandi. Tak butuh waktu lama, dia sekarang sudah berganti kostum. Dia menghampiri Arel yang tengah sibuk dengan handphonenya.

"Arel, ini gak ada yang lebih kecil lagi apa?" Abel cemberut. Bagaimana tidak? Kaos Arel yang di pakai Abel malah menjadi dress. Dengan lengan dan lingkar perut yang kebesaran banyak. Membuat Abel tenggelam memakai kaos tersebut.

"Anjir!! Lo mirip orang-orangan sawah." Arel tertawa terbahak bahak sambil memegangi perutnya yang sakit akibat tertawa.

"Arel jahat!" Abel tambah cemberut.

"Padahal itu kaos gue yang udah gak muat, tapi di elo malah jadi kayak dress gitu. Anjir sakit ni perut gue ketawa mulu."

"Serah lo!" Abel ngambek.

"Elah gitu aja ngambek. Gakapapa kali kebesaran. Biar anget. Gak usah pake selimut. Sekarang lo Tidur deh. Gue anter ke kamar."

Arel menuntun Abel ke kamarnya.

"Good night sweety. Have nice dream." Arel mengacak rambut Abel.

"Good night too Alien bumi." Lalu Abel menutup pintu kamar.

🌊🌊🌊

Salam jomblo!

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 121K 48
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
5.8K 462 28
"Bener, ya, anak kedokteran itu pada jomlo." "Kata siapa?" "Emang lo nggak?" Tamara Aricia Oxa, sang Virgo harus menerima ketika kehidupannya yang...
146K 4.7K 62
#5 in Teenfiction 11-09-2018 #113 in Teenfiction 30-06-2018 [DON'T COPY MY STORY] Kalian tau kehilangan seseorang yang kita sayang lebih menyakitkan...
39.4K 5.2K 34
❝ Karena air mata yang jatuh dulu, adalah tabungan kebahagiaan di masa depan. Dan tawa yang tergelak sekarang merupakan tanggungjawab yang harus dite...