Anya menatap Daniel lalu menghela napas panjang. Ini salahnya jadi ia harus menuruti perkataan Daniel. Belum apa-apa, jantung gadis itu kembali berpacu kencang, wajahnya mulai memanas. Anya menarik napasnya beberapa kali untuk menenangkan hatinya. “Tu.. tutup matamu”.
Bibir Daniel mengembang lebar. Ia mengangguk lalu mulai memejam matanya.
Anya berdiri dan mendekati wajah Daniel, ia menggigit bibirnya karena perasaan gugupnya yang ia alami. Perlahan-lahan wajah Anya mendekat dan beberapa detik kemudian ia mencium Daniel.
Daniel membuka matanya dan menatap tidak puas ke arah Anya. “Mengapa kau cuma mencium pipiku Anya?”
Anya mengedipkan kedua matanya beberapa kali. “Kau tidak bilang aku harus mencium bibirmu. Tidak ada penjelasan spesifik tentang dimana aku harus mencium mu" Dalih Anya sembari tersenyum. Keadaan berubah, sekarang Anya lah yang memegang kendali.
Daniel berdecak kesal karena kecerobohannya. Sedangkan Anya tersenyum menang.
&&&
Suara ketukan pintu membuat Daniel sedikit mendongak melihat siapa yang masuk, matanya menjadi dingin karena melihat Jason lah yang masuk ke dalam ruang kerja. “Ada urusan apa kau kemari?”. Masalah di acara pertunangan Jason masih membekas di ingatan laki-laki itu.
“Aku hanya ingin meminta maaf karena perilaku mama seminggu yang lalu” Jason membungkukkan badannya.
“Itu saja yang ingin kau katakan?” tanya Daniel datar.
Jason menatap Daniel sejenak dan mengangguk “Kalau begitu permisi”.
“Kau tidak perlu meminta maaf”
Kalimat Daniel membuat langkah Jason terhenti. Ia berbalik badan menghadap kembali kearah kakaknya.
“Aku memang membunuh ayah. Karena aku lah ayah bunuh diri jadi.. kau tidak perlu minta maaf”.
Jason tersenyum sedih. “Bukan karena kau kak. Aku tahu itu”.
Daniel terdiam mendengar perkataan Jason, ia berdiri dan melangkah ke sofa. “Duduklah. Kau baru saja sampai kan? Untuk apa buru-buru pergi”
Jason menurut dan duduk berhadapan dengan Daniel.
“Arlene. Bawakan dua cangkir kopi ke ruangan ku” perintah Daniel melalui telepon kantor lalu menatap Jason kembali. Suasana canggung melingkupi mereka untuk beberapa saat.
“Jadi bagaimana keadaan ibumu?” tanya Daniel membuka pembicaraan.
“Mama? Mama baik-baik saja. Dia sudah pulang ke Indonesia” jawab Jason sekenanya.
Suasana kembali canggung. Daniel tidak tahu harus berkata apa, Jason pun sepertinya tidak ada yang ingin ia katakan.
Arlene masuk dan bingung dengan sikap diam Daniel dan Jason. ia meletakkan dua cangkir di meja dan pamit kepada atasannya.
“Kau tahu…”
Ujaran Daniel membuat Jason menatap kakaknya dengan serius.
“Ayah sudah tidak ada lagi bersamamu. Bukankah sebaiknya kau tinggal bersama ibumu? Hanya dia yang kau punya sekarang” ujar Daniel. Kalimat tersebut keluar begitu saja dari mulutnya karena ia tidak tahan dengan suasana canggung yang terjadi di antaranya dan adik tirinya.
Jason mendengus geli. “Bagi mama aku hanya mesin pencetak uang, dia tidak pernah menyuruhku untuk pulang. Setiap kali ia menelpon hanya untuk meminta uang dariku. Lagi pula…”.
Daniel menaikkan alisnya, penasaran dengan apa yang akan adiknya katakan.
“Lagi pula aku punya Vero yang mencintaiku. Jadi aku lebih suka tinggal disini dari pada di Indonesia”
“Kalau itu keputusanmu. Jalani saja” Ucap Daniel.
Jason menganggukkan kepala. Untuk sekian kalinya suasana menjadi canggung. Mereka kembali terdiam karena tidak topik apapun yang bisa bahas.
“Bagaimana kabar kak Ira?”
“Anya? Dia baik baik saja. Kami sudah pacaran sekarang” Mata Daniel bersinar ketika mengingat kekasihnya. Sedetik kemudian ia sadar bahwa ia sudah terbawa suasana ketika mendengar nama Anya.
“Benarkah?” Jason tersenyum senang.
“Ya” Tatapan Daniel seperti tidak ingin membahas lebih lanjut membuat Jason memilih untuk diam.
“Aku harus pergi. Setelah ini akan ada pertemuan dengan klienku” Jason berdiri dengan canggung.
“Ah. Iya. Semoga berhasil” Balas Daniel.
Jason tersenyum pelan lalu keluar dari ruang kerja Daniel. Di luar pintu ia menghela napas gugup, karena setelah sekian lama ini pertama kalinya ia dapat berbicara panjang dengan kakaknya. Laki-laki itu tersenyum senang lalu membetulkan jas dan melangkah ringan.
Di ruangan Daniel juga menghela napas gugup, sudah sangat lama ia tidak berbicara normal dengan adiknya membuat laki-laki itu menjadi canggung tanpa sebab.
Suara deringan handphone membuat perhatian Daniel teralihkan, senyumannya langsung mengembang melihat nama penelpon yang tertera di layar handphonenya. “Good afternoon my lady”.
“Hello Daniel. Kau sudah makan siang?” tanya Anya dibalik telepon.
Daniel tersenyum senang. “Belum. Kenapa? Kau akan membawakan makan siang untukku?”
“Bagaimana kau tahu?” Suara Anya tampak terkejut.
Daniel tertawa pelan. Gadis itu sungguh polos. “Jangan remehkan kekuatan cintaku Anya”.
Anya tertawa renyah. “Gombalan mu membuatku geli”.
Daniel juga ikut tertawa. “Apa aku perlu menjemputmu?”
“Tidak. Tidak perlu. Kalau kau menjemputku berarti aku tidak membawakan makan siang untukmu bukan? Lagi pula aku sudah sampai disekitar perusahaanmu. Aku akan segera kesana setelah membeli beberapa keperluan” jelas Anya. Ia menatap kirinya lalu menyebrang jalan.
“Kau sudah sampai?” tanya Daniel terkejut.
“Ya. Sebentar lagi aku akan ke…”
Suara Anya terputus ketika ingin berbelok jalan, sebuah mobil menabraknya dengan tiba-tiba. Tubuhnya terseret, handphone yang sedang gadis itu pegang terpelanting kuat membuat baterainya terlepas.
Anya mengedipkan matanya beberapa kali mencoba memfokuskan pandangannya yang mulai mengabur seraya terus menatap handphone miliknya.
“Anya. Kau masih disana?” tanya Daniel heran.
Beberapa detik kemudian terdengar bunyi monoton karena telepon terputus. Daniel menatap bingung handphonenya lalu kembali menelpon Anya, namun hanya suara operator yang menjawab telepon tersebut.
Perasaannya menjadi tidak menentu. Ia merasa tidak enak hati karena telepon yang tiba-tiba terputus dan sekarang ditambah nomor telepon Anya yang tidak bisa dihubungi.
Setelah menimbang beberapa saat, akhirnya Daniel memilih untuk mencari Anya di sekitar gedung perusahaannya. Kata gadis itu ia tidak jauh dari gedung perusahannya.
Namun Daniel tidak menemukan Anya disekitar gedungnya. Ia memutuskan untuk menelpon kembali Anya namun tetap saja operator yang mengangkat panggilannya. Ia berdecak kesal dan cemas di saat bersamaan.
Matanya memandang kerumunan orang yang tidak jauh dari tempatnya berdiri, dengan kening mengernyit ia pun menghampiri kerumunan tersebut.
Matanya terbelalak melihat tubuh Anya yang terbaring tidak berdaya di jalan raya, perlahan lutut Daniel kehilangan kekuatan. Lelaki itu jatuh berlutut sambil terus menatap Anya yang terus mengeluarkan darah dari balik mulut dan kepalanya.
Tubuh Daniel bergetar hebat, kejadian didepannya sama persis seperti kejadian 20 tahun yang lalu ketika ibunya kecelakaan.
“An.. Anya” Suara Daniel tercekat.
“Sa.. sayang. Ku mohon bangunlah. Kau menakutiku” Daniel menyentuh wajah Anya dengan tangan bergetar.
Demi tuhan ia sangat tidak ingin melihat kejadian 20 tahun yang lalu terulang kembali. Mengapa tuhan begitu kejam kepadanya. Ia kembali menyentuh wajah kekasihnya, menepuk pelan pipi gadis itu agar bangun dari tidurnya yang mengerikan. “Anya.. ku mohon sayang. Bangunlah”.
Namun tubuh Anya tidak merespon apapun perkataan maupun sentuhan membuat Daniel semakin tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Lelaki itu menatap termenung kearah Anya yang tidak sadarkan diri. Orang-orang yang mengerumuni mereka hanya berbisik dan menatap kasihan kepada Daniel dan Anya.
Beberapa saat kemudian, mobil ambulans tiba dan segera mengangkat tubuh Anya yang berlumuran darah masuk ke dalam mobil.
“Sir. Apa anda keluarga korban?” tanya petugas tersebut.
Daniel tersentak dan menatap bingung kearah petugas, sedetik kemudian lelaki itu mengangguk lemah.