RADION

By cindeyaur

66.5K 6K 1.8K

"Gue sekarang udah jadi ketua di sini, mau gimana pun, lo harus patuh sama gue." -Radion Geraldo. **** Radion... More

PROLOG
RADION || 01
RADION || 02
RADION || 03
RADION || 04
RADION || 05
RADION || 06
RADION || 07
RADION || 08
RADION || 09
RADION || 10
RADION || 11
RADION || 12
RADION || 13
RADION || 14
RADION || 15
RADION || 16
RADION || 17
RADION || 18
RADION || 19
RADION || 20
RADION || 21
RADION || 22
RADION || 23
RADION || 24
RADION || 25
RADION || 26
RADION || 27
RADION || 28
RADION || 29
RADION || 30
RADION || 31
RADION || 32
RADION || 33
RADION || 34
RADION || 35
RADION || 36
RADION || 37
RADION || 38
RADION || 39
RADION || 40
RADION || 41
RADION || 42
RADION || 43
RADION || 44
RADION || 45
RADION || 46
RADION || 47
RADION || 48
RADION || 50
RADION || 51
RADION || 52
RADION || 53
RADION || 54
RADION || 55
RADION || 56
RADION || 57

RADION || 49

504 57 7
By cindeyaur

"Bang, yang lain pada ke mana? Kok cuma bertiga aja?" Rafael datang ke meja bar. Menghampiri Radion, Raiden, dan Daplo yang tengah menghabiskan malam mereka di sana.

Mereka kebetulan bertemu di sini. Semenjak mereka vakum dan inti Camelion terpecah menjadi dua, anggota Camelion sudah jarang kumpul-kumpul.

Mendadak semuanya sepi. Camelion seperti sudah mati.

"Yang bisa kita doang," jawab Raiden seadanya.

"Lo sama siapa ke sini?" Daplo bertanya.

"Sama ceweknya kali." Raiden tertawa menggoda Rafael.

"Ah, nggak gila, Bang. Gue sama temen-temen. Biasa, Denzel lagi cari mangsa baru."

"Bener-bener adik kelas gue yang satu itu. Kelakuannya bikin gue keinget sama Galen." Raiden menghisap rokoknya. Jujur, ia kangen dengan teman-temannya saat ini.

Kangen berkumpul sambil membahas cewek-cewek inceran Galen, nge-bully Zean, ngegodain hubungan Radion sama Alula, dan meras duitnya Arlan.

"Namanya juga Denzel, Bang."

"Lo lagi ada masalah ya, Bang?" Rafael beralih ke arah Radion yang sedari tadi sibuk melamun sambil meneguk minuman alkoholnya.

"Banyak, El. Apalagi masalah sama Alula." Radion berterus terang.

Rafael mengangguk mengerti. "Semoga urusan lo sama dia cepet kelar deh, Bang. Biar lo bisa sama-sama lagi. Gue tau lo sayang banget sama dia."

"Iya, El. Makasih."

"Lo juga semoga bisa cepet-cepet sama Mora, Bang. Gue tau lo baper sama dia, tapi lo gengsi aja orangnya." Rafael menepuk pundak Raiden sambil tertawa.

"Sialan lo, El. Gue dari tadi diem aja, ya! Lagian nggak ada istilahnya gue baper-baper," jawab Raiden.

"Masa?"

"Udah sana lo cabut!"

Rafael kembali tertawa. "Ya udah, gue cabut duluan ya, Bang! Have fun."

Setelah Rafael pergi, Raiden menggeser kursinya mendekat ke arah Radion. "Tenang aja. Semuanya bakal baik-baik aja, Rad."

"Walaupun dengan kondisi kita yang lagi kayak gini," ujarnya.

Radion melirik lelaki itu sekilas. "Hubungan gue sama Alula gimana ya, Den?" Ia lalu menerawang.

"Gimana apanya?"

"Kalo maaf gue tetep aja nggak di terima, apa gue mundur aja kali, ya?"

Bukan hanya Raiden yang kaget, melainkan Daplo yang sedari tadi ikut mendengarkan pun juga ikut kaget.

"Segitu doang perjuangan lo, Rad? Sekarang mau nyerah?" Tanya Daplo.

"Lo kalo jadi gue gimana, Dap? Gue ngelakuin apapun biar bisa dimaafin, tapi kayaknya mustahil banget. Mau deketin dia juga dianya menghindar terus."

"Gue nggak nyangka lo bisa kayak gini, Rad. Ayo lah, mana Radion yang punya jiwa pemimpin itu? Masa ngadepin masalah kayak gini aja nggak bisa." Raiden memberi semangat.

"Lembek lo, Rad."

Radion tidak peduli lagi kata-kata Raiden. Entah kenapa rasanya sudah sangat sulit untuk kembali melangkah maju.

"Kalo Alula bahagia sama Galen, nggak apa-apa gue, Den. Gue bisa lepasin dia."

"Cinta itu nggak harus memiliki, kan?" Radion menoleh kepada dua temannya.

Tetapi baik Raiden dan Daplo sama-sama tidak ada yang menjawab. Mereka tahu, di balik kata 'nggak apa-apa' yang dikeluarkan oleh Radion sebenarnya ia diam-diam masih sangat mengharapkan Alula.

"Lo yakin?" Raiden kembali bertanya untuk yang terakhir kalinya.

****

Sudah dua hari Alula tidak melihat Radion di sekolah. Entah dirinya yang terlalu sibuk atau memang Radion yang menjauhkan diri dari keramaian. Ia juga tidak tahu.

Tetapi akhir-akhir ini teman-teman Radion juga jarang terlihat. Gosip anggota inti Camelion yang terpecah itu merembet dengan cepat ke seluruh siswa SMA Gardapati.

Seperti sekarang di kantin, teman-teman Alula sedang membahas gosip yang sedang hangat itu.

"Mereka bubar?" Tanya Kezia sambil mengaduk-aduk jus alpukat yang dibelinya.

"Nggak. Mereka nggak akan pernah bubar kata Raiden. Raiden bilang, secepatnya masalahnya bakal diselesain," beritahu Mora.

Nara membuang nafasnya pelan. "Jadi kangen sama konyolnya Galen sama Zean. Biasanya gue berantem mulu sama mereka."

"Zean gimana, Cha? Ada cerita sama lo tentang masalah ini?" Tanya Mora.

Archa terdiam sebentar lalu membalas. "Ada, sih. Dia katanya lagi bingung banget gimana cara ngasih taunya ke Galen. Mau gimanapun kan masalah ini mulai dan terjadi karena Galen. Zean tuh udah deket banget sama Galen, dia bakal selalu bantuin Galen kalo Galen lagi ada masalah. Wajar, sekarang dia sampai segitunya."

Nara terpaku mendengar cerita Archa. Terselip rasa iri di dalam hatinya melihat Archa dan Zean sudah sedekat itu. Zean bahkan menganggap Archa sebagai tempat curhatnya karena lelaki itu selalu bercerita kepada Archa.

Zean tidak pernah bercerita kepada Nara walaupun mereka juga bisa di bilang dekat. Padahal Nara juga bisa menjadi pendengar yang baik.

"Sama kayak Raiden. Dia juga kayak gitu ke Radion. Setiap gue tanya kenapa, dia selalu bales 'Radion udah gue anggep kayak keluarga gue sendiri. Gue nggak bakal ninggalin dia gitu aja di saat dia ada masalah kayak gini' mereka udah sedeket itu."

Kezia memajukan tubuhnya. Menatap Alula yang sedari diam menyimak teman-temannya. "Gue sekarang mau tanya lo, Alula."

Alula terkejut. "H–hah? Tanya apa, Kez?"

"Lo punya perasaan ke Galen?"

Pertanyaan itu sontak membuat suasana meja mereka menjadi tegang. Terlebih lagi Alula yang dilontarkan pertanyaan seperti itu oleh Kezia. Tubuhnya mendadak membeku.

"Jujur aja. Lo kasih tau aja ke kita gimana perasaan lo yang sebenernya ke Galen. Lo cuma anggep dia temen atau lebih?" Archa membuka suaranya.

Sekarang semua pandangan teman-temannya sudah tertuju ke arahnya. Menunggu jawabannya. Alula menjadi gugup.

"Iya. Aku seneng kalo sama Galen." Jawaban yang sama sekali Alula tidak harapkan keluar dari mulutnya sendiri. Bahkan teman-temannya pun tidak bereaksi apa-apa.

"Are you serious? Maksud gue, lo kan selama ini udah deket banget sama Radion. Semudah itu lo lebih nyaman sama Galen?" Archa tentu tidak percaya bahwa Alula lebih memilih Galen ketimbang Radion. Mungkin semua orang juga tidak akan percaya.

Alula mengangguk pelan. Meyakinkan teman-temannya. "Radion udah ngecewain aku. Susah buat aku percaya lagi sama dia. Awalnya aku emang anggep dia segalanya. Tapi nyatanya, dia bukan apa-apa selama ini."

"Udah lah kalo emang itu pilihan Alula. Lagian juga Galen baik kok ke Alula. Kalo Alula seneng sama dia, kenapa nggak? Sekarang, semua masalahnya tinggal di Galen sama Radion aja. Biarin itu jadi urusan mereka." Mora memotong pembicaraan mereka.

Yang lainnya pun langsung mengangguk. Tidak ada yang membahas kembali masalah itu kepada Alula.

"Semua masalah ini karena aku, kan?" Tiba-tiba saja Alula bersuara. Mendongak menatap teman-temannya yang sebelumnya terdiam.

Mereka langsung saling tatap sebelum Nara membalasnya. "Bukan salah lo, kok."

"Iya, bukan salah lo. Lagian masalah ini tuh awalnya dari Radion sama mantannya. Coba aja kalo mantannya nggak ke sini, terus Radion nya juga nggak oleng ke mantannya. Pasti semuanya baik-baik aja."

Alula tersenyum kecil mendengar perkataan Kezia. Gadis itu lalu tidak mengeluarkan suara lagi dan memilih untuk menghabiskan minuman pesanannya.

Nyatanya semua ini memang karena dirinya, bukan Radion.

****

"Kenapa sih lo pada masih di sini? Kenapa nggak gabung sama yang lainnya aja dan tinggalin gue?" Galen melirik Zean dan Arlan yang sedari kemarin terus menemaninya.

Di kelas bahkan mereka tidak berbincang-bincang sama sekali. Radion sibuk dengan Raiden dan Daplo sedangkan dirinya terus-terusan diikuti oleh Zean dan Arlan.

Bahkan saat Galen pergi ke rooftop sekarang, mereka berdua masih mengikutinya.

"Lo tuh ga cocok jadi penyendiri, Len." Zean membalas. Rambut lelaki itu sedikit berantakan karena angin di sini lumayan kencang.

"Lo tuh cocoknya jadi cowok berisik yang suka godain cewek-cewek satu sekolah, terus temennya di mana-mana." Zean terkekeh. Mencoba mengajak Galen bercanda, tetapi lelaki itu tetap murung.

Zean lalu melirik Galen. "Gue minta maaf soal yang kemarin. Gue kasar sama lo. Tapi jujur, lo emang perlu di kasarin, sih."

"Semua ini kan salah gue. Lo seharusnya nggak usah di sini nemenin gue. Biarin aja gue sendiri dengan masalah-masalah gue," ucapnya.

"Gue masih ada di sebelah lo itu tandanya gue peduli sama lo, Len."

Terjadi keheningan beberapa saat di antara mereka. "Apa gue nggak bisa ya dapetin Alula?"

Tidak ada yang membalas. Baik Zean maupun Arlan sama-sama sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Apa Alula ada di sini cuma buat Radion? Nggak boleh buat yang lain?"

"Bukan gitu, Len–"

"Apa gue nggak boleh dapetin apa yang gue mau? Kenapa semuanya seolah-olah belain Radion? Karena dia ketua Camelion? Karena dia lebih ganteng sama diidolain dari gue?!"

"Len!" Tegur Arlan.

"Kita belain lo, Len. Lo jangan ngerasa sendiri di sini. Ada kita."

Galen membuang wajahnya dari Arlan. "Mana buktinya? Lo berdua emang ada di sini nemenin gue. Tapi lo berdua nggak ada di pihak gue. Lo berdua di sini karena pengen ceramahin gue doang kalo yang gue lakuin itu salah. Gue capek dengernya tau nggak?"

"Kok lo jadi gini sih, Len? Gue nggak nyangka lo bisa berubah secepet ini. Masalah ini terjadi karena emang salah lo. Coba kalo lo nggak suka sama Alula. Nggak bakal tuh ada kejadian kayak gini. Harusnya lo tuh sadar diri!"

"Ze!" Kali ini Arlan yang menegur Zean.

Arlan benar-benar di ambang kebingungan. Lelaki itu berada di tengah-tengah Zean dan Galen yang tengah beradu argumen.

"Gue udah sadar diri. Gue ngaku gue salah. Tapi emang selamanya Alula bakal mau sama Radion terus? Alula tuh udah kecewa sama Radion. Nggak bisa apa kalo Radion aja yang ngalah sama gue? Emangnya gue nggak boleh dapet kesempatan?"

"Udah lah, kalo kehadiran lo berdua di sini cuma mau ngingetin gue doang, gue nggak butuh. Makasih Ze, Lan, buat simpati dan kebaikan lo." Galen beranjak meninggalkan rooftop.

Tidak. Lelaki itu tidak marah. Hanya saja ia lelah terus-terusan diperintahkan ini itu oleh teman-temannya. Apakah Galen sesalah itu di mata mereka?

****

Sudah terlampau beberapa minggu dan kondisi persahabatan mereka justru malah semakin berantakan, bukannya membaik.

Kali ini Galen, Zean, dan Arlan lah yang jarang ikut datang kumpul-kumpul di markas.

Beberapa kali Radion, Raiden, dan Daplo juga berpapasan dengan mereka bertiga, tetapi mereka tidak melakukan apa-apa. Hanya menyapa singkat lalu duduk di bangku yang terpisah.

Raiden yang paling anti seperti ini pun sudah beberapa kali mencoba berbicara kepada Arlan, tetapi hasilnya nihil.

Alula juga masih sama seperti kemarin. Cuek, mencoba mengindarinya, atau bahkan sama sekali tidak menoleh jika mereka bertemu di lorong.

Setelah memberikan kotak berisi pajangan piano kepada Alula, gadis itu tidak mengirimkan balasan apa-apa untuknya.

Ia seperti di gantung dan itu menunjukkan bahwa tidak ada harapan lagi untuk Radion.

Kali ini mereka bertiga tengah berjalan beriringan menunju kantin karena Raiden lapar, katanya. Sedangkan Galen, Zean, dan Arlan entah berada di mana.

"Untung aja lo kasih tau gue nomor lima tadi, Rad. Walaupun caranya panjang, gue sempet-sempetin nulis caranya biar dapet nilai di atas KKM," cerita Raiden tentang ulangan matematikanya tadi di kelas.

Daplo geleng-geleng kepala. "Makanya belajar, Den. Lo mah kebiasaan. Bergantung sama Radion terus."

"Gue tuh nggak pernah bergantung sama Radion kecuali kalo matematika doang."

"Lo sendiri ngasal berapa nomor, Dap? Gue lihat-lihat kertas lo banyakan kosongnya," lanjutnya lagi.

"Caranya nggak gue tulis."

"Dih, mana boleh? Percuma jawaban bener kalo nggak ada caranya. Pasti sama dia di salahin."

"Radion akhir-akhir ini makin jarang keliatan, ya?"

"Iya, soalnya kan dia lagi vakum. Terus juga masalah dia sama Galen lagi gede-gedenya."

"Radion Radion, kenapa sih dia nggak cari cewek lain aja? Banyak tau yang cantik, pinter, sama baik. Kenapa sebegitunya banget sama Alula?"

"Namanya juga sayang."

"Ya tapi kan kalo udah kayak gini mau digimanain lagi? Menurut gue Alula biasa aja, tuh. Enak banget ya jadi dia, di galauin terus sama Radion." Baru saja mereka sampai di kantin, mereka sudah di sambut oleh sekumpulan perempuan anak bahasa yang tengah menggosipkan Radion.

Radion akhir-akhir ini masih jadi pembicaraan hangat di SMA Gardapati. Siapa sih yang akan melewatkan gosip tentang Radion?

"Untung aja gue lagi nggak mau kena masalah sama Pak Umam. Gue nggak mau ngurusin yang begitu-begituan lagi." Raiden yang mendengarnya mencoba tidak peduli, walaupun ia sebenarnya kesal sekali dan ingin menghampiri kumpulan perempuan itu.

Radion juga nampaknya tidak terlalu memedulikan perkataan mereka. Jika di ladeni, maka tidak akan ada habisnya. Hanya Daplo yang menatap kumpulan perempuan itu dengan tatapan sinis, seolah-olah memperingati mereka lewat tatapan mata.

Setelah itu mereka bertiga pun mulai memasuki area kantin. Raiden yang sudah kelaparan sibuk berfikir akan membeli apa untuk makan siangnya.

"Ada yang pecah tapi bukan gelas."

"Ada yang berantakan tapi bukan kamar."

"Apaan, tuh?"

"Apa lagi kalo bukan inti Camelion?" Suara tawa besar itu terdengar dari bangku Abimanyu, Cakra, Nevan, dan anak-anak Blidvinter yang lainnya.

Raiden langsung menatap mereka dengan tatapan sinis. "Nggak lucu becanda lo."

"Menurut kita lucu," balas Cakra.

"Lo pada nggak kesepian bertiga aja? Blidvinter open member khusus buat lo bertiga, nih. Kalo mau masuk, masuk aja. Siapa tau nyaman," ucap Abimanyu.

"Nggak tertarik gue. Jelek perkumpulan lo," balas Raiden terang-terangan.

Abimanyu tertawa. "Kira-kira kalo gue ngajak lo tarung, mau di terima nggak? Udah lama nih tangan gue nggak di buat nonjok orang."

Raiden mendengus kasar. Kesal melihat tingkah Abimanyu yang belagu. "Camelion bakal ladenin siapapun yang mau tarung sama kita. Nih, lo nggak liat otot gue? Udah tambah gede dari yang sebelumnya."

"Kalo lo gue tonjok, lo bisa pingsan. Jangan main-main," lanjutnya sombong.

"Beneran bakal lo terima? Yakin nggak kalo anggota lo cukup buat lawan anggota-anggota gue?"

Radion berdecak. Menyudahi aksi pembicaraan mereka sebelum merembet ke mana-mana.

"Nggak usah banyak bercanda lo. Mendingan juga lo latihan tinju dulu biar bisa menang lawan gue," tukas Radion meledek.

"Kalo udah yakin bisa ngalahin kita, baru lo boleh ngajak kita tarung." Radion lalu mengajak Raiden dan Daplo untuk segera pergi dari sana.

Bukannya tidak mau meladeni, ia hanya tidak mau mencari masalah untuk saat ini. Keadaannya sedang tidak tepat.

"Bilang aja lo takut kalah kan sekarang?!" Abimanyu meneriaki mereka.

"Woi, ketua Camelion takut sama Blidvinter!" Lelaki itu lalu mendengar suara tawa anak-anak Blidvinter dari belakang mereka. Radion mencoba menahan Raiden yang emosinya sudah di ujung kepala.

"Wah kurang ajar banget! Dia pikir kita takut kali? Nantangin aja bisanya."

"Udah, Den! Jangan bikin masalah."

"Nggak bisa, Rad. Gue sensitif banget kalo denger orang ngeremehin Camelion kayak gini."

"Dia cuma mau mancing kita. Bego kalo lo kepancing sama mereka, Den." Daplo ikut menimpali, yang langsung membuat Raiden terdiam di tempatnya.

****

BRAKK!!!

Suara bangku kayu yang di tendang itu terdengar sampai ke telinga seorang perempuan yang sedang belajar di ruang tamunya malam itu.

Ia berdiri lalu melangkah membuka pintu rumahnya. Mendapati keadaan teras rumahnya yang tidak karuan. Meja dan kursinya berantakan, pot tanaman disekitarnya juga pecah karena terbanting.

"Lo ngapain, sih?!" Tanyanya. Menatap seorang lelaki bertudung jaket hitam dengan tatapan heran.

Lelaki itu mendekat ke arahnya, membuat tubuhnya membeku seketika. Sedikit gemetar.

"Mau apa?!" Belum sempat lelaki itu berbicara, ia sudah mendahuluinya.

"Mau tampar gue lagi? Mau mukul? Mau jambak?" Tantangnya berani.

"Gue udah ikutin kata-kata lo. Lo udah lihat sendiri, kan? Gue udah nggak deket sama dia. Gue bahkan udah nggak pernah ngobrol lagi."

Senyuman kecil langsung tersirat di wajah lelaki itu. "Pinter. Lo ikutin kata-kata gue dengan baik. Tumben nurut, biasanya berontak terus."

Lelaki itu melangkah lebih dekat. Menyelipkan sehelai rambut perempuan dihadapannya ke belakang telinga. "Lo harus selalu nurut sama gue. Uang sekolah lo selama tiga tahun, gue yang lunasin. Semua kehidupan lo, gue yang biayain. Masih berani lo berontak sama gue?"

Tidak ada balasan membuat lelaki itu kembali berbicara. "Lo ngerti apa yang barusan gue omongin?"

Perempuan itu hanya mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. "Jawab! Lo harus janji ke gue, kalo lo bakal nurut sama kata-kata gue."

"Gue janji," balasnya terpaksa sambil menepis tangan lelaki itu.

Lelaki itu tertawa puas lalu mengangguk. "Good girl."

****

"Akhir-akhir ini gue jarang liat Alula, deh." Raiden bersuara di sebelahnya. Ikut menatap pemandangan jalanan yang terlihat dari rooftop rumah Raiden.

"Terutama setelah lo kasih dia pajangan piano itu."

Radion hanya bergeming di sebelahnya. Ia merasakan hal yang sama dengan Raiden. Akhir-akhir ini ia memang jarang melihat Alula. Bahkan hampir tidak pernah. Entah kenapa perempuan itu serasa menghilang dari lingkupnya.

"Sibuk pacaran sama Galen kali." Tanpa sadar Radion berkata seperti itu.

Daplo berjalan menghampiri mereka. Ikut menatap pemandangan malam yang cerah didepannya. "Emangnya lo rela kalo mereka pacaran?"

Raiden langsung tertawa mendengarnya. Ucapan Daplo benar-benar sesuai target.

Radion mendengus. "Ya nggak, lah."

"Galaunya lo ternyata kayak gini ya, Rad? Untung galaunya bukan gebukin orang." Radion geleng-geleng kepala mendengar kata-kata Raiden. Lelaki itu sedikit terhibur sekarang.

Raiden dan Daplo selalu mengajaknya keluar. Entah itu ke markas, kafe, atau rumah Raiden untuk sekedar berkumpul. Padahal Radion tahu, tujuan yang sebenarnya adalah Raiden dan Daplo tidak mau melihatnya sedih terus-menerus.

"Itu mah lo kali, Den, yang galaunya gebukin orang." Daplo menyindir lelaki itu.

"Rumahnya Mora sepi banget, Den." Raiden menoleh. Ikut menatap ke arah pandang Radion yang tengah menatap rumah di sebelahnya. Yaitu rumah Mora.

"Emang biasanya gitu. Lo nggak tau ini udah jam sepuluh? Udah tidur dia mah jam segini." Radion mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kenapa nanya-nanya?"

"Santai aja, Den. Bukan mau ngerebut, kok." Radion menepuk pundak lelaki berbadan besar itu.

"Rebut aja nggak apa-apa. Lagian gue nggak suka dia."

"Nggak suka? Mulut lo bohong mulu kalo ngomong, Den. Gue tau hati lo berkata yang sebaliknya." Radion berjalan ke sofa yang ada di sana. Duduk lalu membuka ponselnya.

"Badan gede doang tapi gengsi," gumam Daplo.

"Apa lo bilang, Dap?" Raiden menoleh.

"Nggak ada."

"Halah. Gue punya kuping dua."

"Gue juga punya dua."

Raiden mendengus. "Terserah lo, dah."

Suara dering ponsel terdengar nyaring, membuat Raiden dan Daplo menoleh ke sumber suara. Tepatnya ke arah ponsel Radion yang tiba-tiba saja berdering.

Raiden dan Daplo terus memperhatikan gerak-gerik Radion. Lelaki itu tampak terganggu dengan panggilan yang masuk lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Mengabaikannya.

"Siapa?" Tanya Raiden. Masih di posisinya.

"Galen. Ngapain ya dia telepon gue?" Jawab Radion masih sambil menatap ponselnya.

"Angkat aja emang kenapa? Siapa tau penting, Rad."

"Udah nelepon dua kali tuh dia."

Radion memalingkan wajahnya. "Males."

"Kata gue itu penting, Rad. Galen nggak pernah nelepon tiba-tiba sampe sebanyak itu kalo nggak ada situasi yang penting."

Jika di pikir-pikir memang benar yang dikatakan Raiden. Mungkin saja ada hal penting yang ingin Galen katakan. Tapi tentang apa lagi? Camelion? Camelion kan sedang vakum.

Radion akhirnya mengangkat panggilan tersebut. Menunggu Galen berbicara duluan di seberang sana. Raiden dan Daplo pun menunggu dengan was-was.

"..."

"Hah? Lo serius?!" Radion meninggikan nada suaranya, membuat Raiden dan Daplo terkejut.

"Lo di mana?"

"..."

Radion berdecak. Raut wajahnya berubah kesal dan marah. "Dasar lo, jagain Alula aja nggak becus!"

Setelah itu Radion mematikan panggilannya secara sepihak. Raiden dan Daplo langsung menghampirinya. Bertanya. "Kenapa, Rad?"

"Lo berdua ikut gue! Alula di bawa sama anak-anak Blidvinter katanya," jawab Radion tergesa-gesa sambil mengambil jaket yang disampirkan di bahu sofa rumah Raiden.

"Hah di bawa sama Blidvinter? Kurang ajar!" Raiden naik darah ketika mendengar nama Blidvinter di sebut.

"Dap, jangan lupa telepon Zean sama Arlan! Infoin juga ke anak-anak tentang hal ini. Suruh kumpul secepatnya! Kita samperin Blidvinter serame mungkin, biar kita nggak kalah jumlah."

Daplo mengangguk sambil berjalan menuruni tangga rumah Raiden. "Oke."

Malam itu Radion, Raiden, dan Daplo bergegeas menuju tempat yang sebelumnya Galen katakan.

Galen tidak mungkin berani maju sendiri karena Blidvinter pasti membawa seluruh anggotanya.

Radion dan Alula memang akhir-akhir ini hubungannya sedang tidak baik. Tetapi jika sesuatu terjadi kepadanya, Radion pastikan ia akan datang menyelamatkan Alula.

Bagaimanapun caranya, Alula tidak boleh sampai kenapa-napa.

****

Maaf update kali ini lama banget kayanya😓 soalnya lagi bingung banget, kok ceritaku makin sepi ya? apa cuma perasaan aku aja?🤔 apa kalian masih setia baca cerita ini? Atau pada kabur semua😔

Aku harap pembaca setia aku masih tetep baca cerita Radion & Alula karena menurut aku part ini dan seterusnya adalah part iconic yang maybe lebih seru dari pada part part lainnya. Bakal ada plot twist😝

Aku juga sekarang lagi bingung mau promosiin cerita aku ke mana lagi selain ke tiktok aku. Tiktok lama aku udah ga bisa ke log in, dan itu sayang banget padahal pengikutnya udah lumayan😌 aku jadi harus mulai ulang dari awal buat ngontennya🙂

But isokey, aku yakin kalo ada kalian semuanya bisa lancar. Makanya aku butuh dukungan dan support nya selalu dari readers ku terlove😘🖤

⚠️ JANGAN LUPA MAMPIR KE TIKTOK BARU AKU 'CRAMELGURLL' DOUBLE L YAW, KARENA YG PERTAMA GABISA KE LOG IN⚠️

Ramein di sana dan aku janji bakal ramein konten cowok-cowok ganteng juga di sana😍

Jangan lupa vote sama spam comment nya, karena itu adalah hal pertama yang ngebuat aku semangat buat lanjutin cerita ini, thankyou!🤍

Don't forget to check👇🏻 :
Instagram : @cramelgurl
Tiktok         : @cramelgurll

Thankyou sekali lagi yang masih ada di sini buat baca cerita aku🤍 jangan pergi yaa karena aku butuh support system🫂 dan jangan lupa ramein tiktok aku!!👆🏻👆🏻

See u di next chapter all😝❤️

With love, Cindyy<3

Continue Reading

You'll Also Like

6.1M 260K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
696K 54.8K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.3M 122K 60
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
474K 5.2K 6
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG🤭 Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...