RADION

By cindeyaur

66.5K 6K 1.8K

"Gue sekarang udah jadi ketua di sini, mau gimana pun, lo harus patuh sama gue." -Radion Geraldo. **** Radion... More

PROLOG
RADION || 01
RADION || 02
RADION || 03
RADION || 04
RADION || 05
RADION || 06
RADION || 07
RADION || 08
RADION || 09
RADION || 10
RADION || 11
RADION || 12
RADION || 13
RADION || 14
RADION || 15
RADION || 16
RADION || 17
RADION || 18
RADION || 19
RADION || 20
RADION || 21
RADION || 22
RADION || 23
RADION || 24
RADION || 25
RADION || 26
RADION || 27
RADION || 28
RADION || 29
RADION || 30
RADION || 31
RADION || 32
RADION || 33
RADION || 34
RADION || 35
RADION || 36
RADION || 37
RADION || 38
RADION || 39
RADION || 40
RADION || 41
RADION || 42
RADION || 43
RADION || 44
RADION || 46
RADION || 47
RADION || 48
RADION || 49
RADION || 50
RADION || 51
RADION || 52
RADION || 53
RADION || 54
RADION || 55
RADION || 56
RADION || 57

RADION || 45

615 50 16
By cindeyaur

"Woi!" Raiden memanggil teman-temannya dari pintu kelas.

Sontak semuanya pun menoleh. Menghentikan aktifitas mereka masing-masing.

Radion yang sedang mengerjakan tugas, Daplo yang sedang tidur, Arlan yang tengah bermain game lewat ponselnya, dan Galen serta Zean yang tengah bercerita hantu dengan teman sekelas mereka, Nono dan Ipul.

"Freeclass. Cabut, yuk!" Ajaknya.

"Lo serius freeclass?" Radion menutup buku tulisnya.

"Iya, kan rapat gurunya belom selesai. Mereka lagi ngomongin kita katanya. Ayo ah, cabut!"

"Ze, Len! Cabut, ayo!" Raiden lalu memanggil Zean dan Galen.

"Cabut ke mana? Lagi seru gue cerita hantu."

Raiden berdecak. "Ke mana kek asal nggak suntuk di kelas."

"Ayo!" Arlan bangkit dari kursinya setelah membangunkan Daplo.

"Lo ikut, Rad?" Zean mendongak—menatap Radion yang ikut beranjak dari kursinya.

"Iya, bosen gue."

"Ya udah, kita juga ikut yuk, Len!"

Galen mengangguk. Menepuk pundak Nono dan Ipul bergantian. "Tar lanjut lagi ye abis istirahat."

"Siap, Len."

"Awas lo berdua cerita-cerita tanpa kita. Tadi tanggung tuh cerita lo, pocongnya belom nongol."

"Kalem aja, Ze. Nanti gue lanjut cerita," ujar Ipul.

Setelah itu mereka meninggalkan kelas secara bersamaan. Melewati lorong-lorong sekolah yang tengah ramai karena semua guru sedang tidak mengajar.

"Mau ke mana? Kantin pasti rame." Daplo melirik siswa-siswi yang sedang berlarian di koridor. Ia yakin mereka semua ingin menyerbu kantin.

"Ke belakang aja kalo gitu," ujar Raiden.

"Rad, lo kenapa? Kok dari tadi diem aja?" Arlan berjalan di sebelah Radion sambil bertanya.

Yang lainnya sontak menoleh. Mencari keanehan di dalam diri Radion.

"Nggak apa-apa, Lan."

"Masa? Lo dari pagi ngerjain tugas doang. Ngobrol sama kitanya juga jarang."

"Lagi fokus aja, makanya nggak bisa ngobrol." Arlan mengangguk saja walaupun lelaki itu tahu bahwa Radion sedang berbohong. Pasti sedang ada sesuatu yang disembunyikan.

"Pak Umam nggak bakal ngikutin kita sampe ke sini, kan?" Tanya Raiden setelah mereka semua sampai di belakang sekolah.

"Kayaknya sih dia ikut rapat sama guru-guru lain."

"Den, cctv nya tutupin dulu!" Perintah Arlan.

"Bentar, gue naik."

Mereka semua memperhatikan Raiden yang naik ke tembok belakang sekolah. Mencoba menutupi cctv dengan stiker-stiker Camelion yang ia bawa.

"Wih, sekarang tempat ini udah aman lagi buat kita bolos." Galen tertawa senang. Mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku celananya.

"Berani banget lo Len bawa rokok. Pas gue tau kalo Camelion harus vakum, gue nggak berani bawa yang aneh-aneh lagi ke sekolah," ucap Zean.

"Hidup tuh harus di bawa santai, Ze. Mau?" Lelaki itu menyodorkan sebungkus rokoknya kepada Zean.

"Nggak ah, gue udah dilarang ngerokok sama Archa."

Galen menatap Zean tidak percaya. Lelaki manis itu lalu menepuk-nepuk pundak sahabatnya. "Lo bisa berubah juga ya karena cewek? Giliran sama nyokap lo aja, nggak pernah mau dengerin."

"Bisa, lah. Makanya lo punya cewek, Len. Gue pengen liat lo bisa berubah apa nggak hanya karena cewek."

"Nggak ah. Nanti kasian cewek gue ngurusin gue yang nggak mau nurut." Zean geleng-geleng kepala.

"Rad, mau nggak?" Galen menoleh ke arah Radion sambil menyodorkan sebungkus rokoknya.

Radion meliriknya sekilas lalu pergi ke sebelah Raiden tanpa mengatakan apa-apa.

Galen mengernyit. Merasa aneh dengan tingkah Radion barusan. Bahkan bukan dirinya saja, semuanya juga merasa aneh.

"Buat gue, ya!" Radion mengambil sepuntung rokok yang ada di tangan Raiden. Menyalakannya, lalu mulai menghisapnya.

Tidak memedulikan teman-temannya yang sekarang tengah menatap ke arahnya.

"Gue cuma punya satu. Tapi nggak apa-apa buat lo aja, Rad."

"Len, gue bagi satu!" Galen menghampiri Raiden lalu memberikan satu batang rokoknya kepada lelaki itu.

"Lo kenapa, Rad?" Untuk memastikan, Galen bertanya.

Melihat Radion yang tidak merespon, Arlan akhirnya memberikan kode kepada Galen untuk tidak berbicara kepadanya terlebih dahulu.

"Radion kenapa sih, Ze? Dia marah sama gue?" Galen memutuskan untuk menghampiri Zean saja.

"Mana gue tau. Lagi banyak pikiran kali. Tau sendiri kan dia sama Alula sekarang kayak gimana? Lagi repot urusannya."

Galen menghisap rokoknya. Tidak yakin. "Ah, masa? Dia kok kayak marah ke gue doang? Buktinya dia nggak mau nerima rokok dari gue, malah ngambil rokoknya Raiden yang tinggal satu."

"Ya elah mungkin dia nggak suka sama rokok lo."

"Tapi dari pagi juga gue nggak ngobrol sama dia, Ze. Gue bercanda, dia diem aja. Tatapannya juga cuek banget ke gue. Nggak kayak biasanya."

"Lo kemarin ada ngelakuin sesuatu yang bikin dia kesel nggak?" Bisik Zean.

Galen berfikir sebentar lalu menggeleng. "Nggak ada. Lagian juga kemarin kan hari pertama gue masuk sekolah abis keluar dari rumah sakit."

"Yakin lo nggak ngelakuin apa-apa?"

"Bentar, Ze!" Lelaki itu kembali berfikir.

Tak beberapa lama, ia menjentikkan jarinya sendiri. "Apa jangan-jangan Radion marah sama gue gara-gara kemarin gue balik sama Alula?"

"Kenapa sih hal kayak gitu masih aja lo tanyain? Udah pasti dia marah, lah. Lagian ngapain sih lo ngajak dia balik bareng? Kayak prioritas aja." Zean menepuk dahinya pelan.

"Ya nggak enak aja pas ketemu sama dia di koridor. Ya udah, gue ajak pulang bareng aja."

"Lo bego, Len. Capek juga gue lama-lama ngomong sama lo," desis Zean.

"Gue harus minta maaf?" Galen melirik Radion yang sedari diam saja sambil menghisap rokoknya. Sedangkan Raiden, Arlan, dan Daplo sibuk mengobrol.

"Gue nggak tau, Len. Pokoknya kalo sampe lo sama Radion ada apa-apa, gue nggak mau tau. Gue nggak mau di antara kita ada yang marah-marahan kayak gini."

"Gue juga nggak mau kali Ze kayak gini. Gue juga nggak mau marahan sama Radion."

"Oh, jadi kalian mengabaikan saya ya tadi pagi?!" Semuanya langsung membuang puntung rokoknya masing-masing. Pak Umam berhasil mengagetkan mereka detik ini.

"Kata lo dia ikutan rapat. Gimana, sih?"

"Nebak doang," jawab Zean tanpa dosa.

Pak Umam menghampiri mereka. Menatap sampah-sampah rokok yang berceceran di mana-mana. Ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat cctv yang sudah ditutupi oleh stiker-stiker Camelion.

"Masih berani ya kalian merokok di sini?"

"Kalian semua ikut saya ke ruangan Pak Arthur!" Mereka semua hanya bisa pasrah lalu mengiakan perintah Pak Umam.

"Kecuali Radion."

"Kenapa, Pak?" Radion menoleh bingung.

"Kamu balik aja ke kelas, belajar! Rapat guru sudah selesai."

"Kenapa, Pak?" Tanya Radion lagi meminta penjelasan. Mendengar nada lelaki itu yang berubah sewot, membuat teman-temannya kaget.

"Saya kasih kamu kesempatan balik ke kelas, atau kamu ikut teman-teman kamu ke Pak Arthur."

"Saya mau ikut temen-temen saya aja." Tanpa pikir panjang, Radion langsung menyusul teman-temannya.

"Radion! Saya dan sekolah memberikan kamu kesempatan untuk berubah. Kamu bisa meninggalkan perkumpulan nggak penting itu dan mulai mengikuti pelatihan untuk masuk ke perguruan tinggi."

Radion berdecak. Kembali melanjutkan langkahnya tanpa memedulikan ucapan Pak Umam.

****

"Rad, hari ini jadi rapat?" Raiden menghampiri Radion yang tengah siap-siap di atas motornya.

Mereka semua sudah berada di parkiran sekolah. Ingin pergi menuju markas bersama-sama.

"Nggak jadi. Lagian juga kita lagi vakum," jawabnya cuek.

"Lah, ya kalo nggak rapat, kumpul-kumpul aja gitu. Masa gara-gara vakum kita berhenti kumpul-kumpul?"

"Lo nggak kapok? Tadi kita udah di kasih peringatan kedua dari Pak Arthur."

"Gue ada urusan. Lo pada aja!" Radion memakai helm nya lalu bersiap-siap menyalakan mesin motornya.

"Lo mau ke mana, Rad?" Galen bertanya.

"Den, bisa temenin gue?" Radion mengabaikan pertanyaan Galen.

"Oke. Lo pada duluan aja ke markas! Nanti gue nyusul kalo udah selesai." Raiden berbicara kepada yang lainnya.

Setelah itu mereka berdua pergi meninggalkan parkiran, menyisakan Zean, Arlan, Galen dan Daplo yang kebingungan.

****

"Kan gue udah bilang sama lo, gue nggak mau ketemu sama temen lo itu." Naka berdecak. Duduk di kursinya dengan gelisah.

Chlo yang berada di sebelah lelaki itu hanya meliriknya santai. Meneguk es kopinya. "Biar lo kenalan sama calon pacar gue."

"Calon pacar?"

"Iya."

Tak beberapa lama, lonceng di pintu masuk kafe berbunyi nyaring. Pertanda bahwa ada pelanggan yang datang.

"Rad!" Chlo mengangkat tangannya agar orang itu bisa melihat keberadaan dirinya.

Mata Naka membulat sempurna ketika melihat kedatangan Radion dan satu temannya di belakang. Mendadak tubuhnya membeku.

"Sorry lama, Chlo." Radion dan Raiden mengambil duduk dihadapan mereka.

Radion melirik Naka sekilas. Ia tidak mengenal lelaki itu. Tetapi mata hijaunya sangat persis dengan si lelaki bertopeng yang pernah menculik Alula. Pasti itu Naka.

"Belum lama, kok. Oh, iya! Ini orang yang lo minta. Yang namanya Naka." Chlo menepuk pelan pundak Naka. Memberikan isyarat untuk mengobrol dengan Radion.

"Tenang aja, nggak usah takut sama gue. Gue nggak bakal bawa lo ke polisi."

Naka melirik Raiden lama. "Santai aja sama dia. Dia sahabatnya Radion, wakil Camelion. Dia nggak bakal bocor, kok." Dengan cepat Chlo menjelaskan.

"Ternyata mata hijau beneran ada yang punya, ya?" Raiden basa-basi. Sibuk memandang pupil mata Naka.

"Jadi, lo di suruh Alice waktu itu?"

Naka membuang nafasnya pelan. Bersiap untuk menjelaskan. Sebenarnya ia tidak ada waktu untuk ini. Tetapi dirinya sudah di tarik dan di paksa oleh Chlo untuk menjelaskan semuanya dihadapan Radion.

"Iya, mantan lo sendiri."

"Lo kenal dia dari mana?"

"Dulu gue satu SMP."

"Ya, gue tinggal di Bali juga dan satu sekolah sama dia. Dulu gue suka banget sama dia. Tapi cinta gue bertepuk sebelah tangan," jelas Naka.

"Setelah gue pindah ke Jakarta, gue udah nggak pernah ketemu dia lagi. Sampai suatu saat, dia ngehubungin gue dan minta tolong ke gue. Dia minta tolong buat mata-matain kalian berdua di sekolah."

"Tunggu-tunggu! Gimana caranya lo bisa jadi murid sementaranya SMA Gardapati?" Selak Raiden.

"Gue cuma pura-pura ada di sana dan pake seragam Gardapati. Gue nggak pernah masuk kelas, dan cuma ngawasin lo." Raiden mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Gue minta maaf atas kejadian itu. Gue sebenernya nggak mau ngelakuin hal itu, karena gue sama sekali nggak kenal kalian. Tapi, gue lagi butuh banget uang buat bayar rumah sakitnya korban yang gue tabrak beberapa bulan lalu. Cuma Alice yang bisa bantuin gue pas itu. Jadi, gue terpaksa nerima tawaran dia." Nada bicara Naka terdengar jujur.

"Gue maafin lo, tapi besok malem lo harus ikut sama gue."

Naka mendongak—menatap ke arah Radion bingung. "Ke mana?"

"Ketemu sama Alice."

"Gue butuh bantuan lo biar gue bisa pulangin dia ke Bali. Kalo lo ada kebutuhan yang berhubungan sama uang, gue bisa kasih berapapun yang lo butuhin."

Naka langsung menggeleng. "Gue mau ikut lo besok malem. Nggak usah kasih apa-apa, anggep aja bantuan gue besok malem sebagai tanda permintaan maaf gue ke lo."

"Oke. Nanti gue kabarin lo lagi."

Suara deringan ponsel terdengar nyaring. Raiden mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya, lalu mengangkat telepon yang masuk.

"Sorry, gue angkat dulu." Lelaki itu lalu pergi menjauhi meja mereka.

"Udah selesai, kan?" Tanya Chlo.

"Udah, thanks ya, Chlo." Chlo tersenyum ke arah Radion.

"You're welcome."

"Oh, iya! Gimana kalo permintaan gue kita lakuin hari ini aja? Mumpung masih sore." Chlo melirik jam di ponselnya.

"Lo mau hari ini?" Chlo mengangguk.

"Itu juga kalo lo bisa, sih. Gue lagi bosen aja di rumah. Capek harus belajar terus."

"Rad!" Raiden menghampiri mereka setelah selesai menerima telepon.

Lelaki itu memotong pembicaraan Radion dan Chlo. Ia kembali duduk di kursinya, lalu berbisik ke arah Radion. Memberitahunya sesuatu.

"Daplo?!" Chlo menatap mereka secara bergantian.

"Mending kita susulin sekarang. Takutnya masalahnya makin gede."

Radion mengangguk. "Sorry, Chlo, gue harus pergi. Gue nggak bisa nemenin lo hari ini. Lain waktu gimana?"

"It's okay, nggak apa-apa, kok. Tapi nggak ada masalah yang gede, kan?"

"Lo tenang aja. Gue cabut duluan, ya!" Radion lalu berpamitan kepada Naka sebelum ia dan Raiden pergi meninggalkan kafe.

Chlo terdiam setelahnya. Memikirkan apa yang barusan terjadi sampai-sampai Radion sepanik itu.

Naka yang sedari tadi sibuk melirik Chlo diam-diam pun akhirnya berdeham untuk mencairkan suasana di antara mereka. 

"Emang biasanya mereka gitu ya kalo ada masalah?"

"Iya. Namanya juga anggota geng. Tapi, Camelion lagi vakum sekarang."

"Kenapa? Setau gue Camelion terkenal banget sampe sekolah gue. Banyak yang mau masuk ke sana, kan?"

Chlo mengangkat kedua bahunya. "Nggak tau. Kayaknya Camelion lagi banyak masalah akhir-akhir ini."

Naka mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. "Btw, lo mau gue anterin pulang nggak?"

****

"Rad, Daplo—" Radion melewati Galen begitu saja setelah ia sampai di markas.

Justru lelaki itu malah menghampiri Arlan di teras. Terlihat berbicara sebentar, lalu masuk ke dalam markas.

"Daplo di mana?" Galen tersentak ketika Raiden memukul bahunya.

"Di dalem, Den."

"Anaknya nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa, sih. Cuma ya gitu, ditonjokin."

Raiden mengangguk. "Ya udah."

"Den!" Panggil Galen.

"Kenapa?"

"Gue ada salah nggak sih akhir-akhir ini?"

Raiden terdiam sebentar. Ia mengernyit, bingung akan pertanyaan yang dilontarkan Galen.

"Maksud lo, Len?"

"Cuma nanya. Gue ngerasa aja kalo kalian pada ngediemin gue."

"Biasa aja ah gue. Siapa yang ngediemin lo?"

"Radion mungkin. Dari kemarin dia diem aja sama gue. Setiap gue ajakin ngobrol duluan, nggak pernah di respon juga."

Raiden menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Jujur, ia juga tidak tahu. Menurutnya sifat Radion belakangan ini biasa saja. Tidak ada yang berbeda.

"Perasaan lo aja kali. Atau mungkin Radion lagi banyak urusan, jadi puyeng ngurusin lo."

Raiden kembali memukul bahunya pelan. "Ayo masuk!"

"Daplo kan emang biasa ke pasar itu, soalnya bibinya jual ikan di sana. Harusnya mereka semua udah kenal Daplo, tapi nggak tau kenapa tiba-tiba sekumpulan preman yang kayaknya baru menetap di sana ngedatengin Daplo terus ngehajar dia."

"Kenapa di hajar? Harusnya mereka takut sama Daplo. Daplo duluan yang di sana."

Arlan mengangkat kedua bahunya. "Preman itu kayaknya nganggep kalo Daplo ngambil alih wilayah pasar. Nggak jelas, tuh preman aja cuma nongkrong-nongkrong, bukan jualan."

"Tampang lo kayak preman sih, Dap. Makanya, nggak usah tatoan." Zean berujar.

"Lo aman, Dap?" Radion duduk dihadapan lelaki itu. Di tubuhnya banyak luka-luka. Padahal Daplo jarang sekali dapat luka karena ia jago berkelahi.

Mungkin preman-preman pasar itu mengeroyoknya. Kasihan sekali.

"Aman."

"Udah di obatin?"

"Udah tadi sama Arlan Zean."

"Pasti di sengaja itu. Nggak mungkin tuh preman ngeroyok lo cuma gara-gara lo nguasain wilayah pasar. Sedangkan lo aja cuma sendiri." Raiden bersuara sambil masuk ke dalam markas. Dibelakangnya ada Galen mengikuti.

"Maksud lo ada orang yang nyuruh ngeroyok Daplo gitu?" Raiden mengangkat bahunya ke arah Zean.

"Nggak usah di cari tau, Rad! Mulai seminggu ke depan gue nggak nyamperin bibi gue dulu. Kita juga lagi vakum. Nggak bisa ngelakuin yang macem-macem," ujar Daplo setelah tau apa yang akan Radion lakukan setelah ini.

Lelaki itu pasti akan mencari tau dan menghajar orang dibaliknya jika ketemu.

****

"It's okay nggak ke Mall. Aku seneng kok kamu ngajak aku makan di restoran kesukaan kita ini." Alice meneguk minumannya setelah menyelesaikan aksi makannya.

Tepat pukul setengah delapan malam, Radion mengajak Alice pergi ke restoran fancy kesukaannya. Tentu saja ada alasan Radion mengajak perempuan itu pergi.

"Sebenernya ada yang mau gue tanyain ke lo."

"Apa?" Alice mendongak.

"Sekesel itu lo sama Alula sampe pernah mau nyulik dia?"

Alice mengernyit. Pura-pura tidak mengerti maksud Radion. "Maksud kamu? Aku emang kenal sama dia, tapi aku sama sekali nggak pernah mau nyulik dia. Lagian ngapain? Dapet uang aja nggak, kan?"

"Biasa aja kali jawabnya. Lo jawab kayak gitu ngebuat gue yakin kalo emang lo dalang dari semuanya. Terutama pas Alula di culik beberapa bulan lalu."

"I don't understand, Ion. Aku sama sekali nggak tau tentang penculikan apa lah itu," bantahnya.

"Really? Terus orang ini siapa? Mainan gue apa mainan lo?" Bertepatan dengan Radion mengatakan itu, seorang lelaki tinggi bermata hijau muncul di belakangnya secara tiba-tiba.

Alice terkejut. Matanya melotot. "Who's he?"

Naka menghampiri mereka. Lelaki itu tersenyum ke arah Alice, menyapanya. "Hai. Akhirnya kita ketemu lagi. Setelah gue mendadak jadi penyulik bayaran lo, kita nggak pernah ketemu lagi. How's your day, Alice?"

Tak bisa dipungkiri lagi wajah Alice saat ini. Wajahnya memerah menahan kesal dan malu.

"I think you good."

"Pasti lo kenal dia, kan? Lo yang udah ngebantuin dia buat ganti rugi korbannya. Cuma ngingetin sih kalo lo lupa."

"You should apologize to her. Gue aja udah minta maaf langsung ke orangnya," ujar Naka.

"For what? Lagian setelah kejadian itu dia nggak apa-apa, kok. Dia ada luka? Nggak, kan? Itu juga pantes kali buat dia. Dia itu nggak cocok sama kamu, Ion. Apa kata kerabat-kerabat kamu kalo kamu pacarin dia?"

"Itu pilihan gue buat milih dia. Lagian juga apa urusan lo?"

"Kamu nggak bisa lihat sekarang? Hubungan kamu sama dia udah nggak bisa diperbaiki. Dia udah nggak mau ketemu kamu, bahkan ngobrol aja nggak mau. Cuma aku yang bisa nerima kamu sekarang."

Radion tertawa. "Bertahun-tahun pun nggak masalah buat terus ngejar dia, daripada di kejar-kejar sama lo."

"What?" Naka yang berada di sebelah Radion hanya bisa menahan tawanya.

"Ini peringatan terakhir gue sebelum lo cabut dari Jakarta. Jangan pernah lo mata-matain gue atau orang-orang terdekat gue lagi. Kalo lo mau main lagi ke sini, it's okay. Asal jangan nemuin gue."

"Oh, iya, tunangan lo juga udah kangen sama lo. Lebih baik lo balik ke Bali!"

"Aku nggak mau. Aku ke sini karena kemauan aku sendiri. Aku pulang dari sini juga harus dari kemauan aku sendiri. Dan aku belum mau pulang," jawabnya tegas.

"Are you sure? Kalo mereka yang nyuruh lo pulang gimana? Gue yakin lo nggak akan bisa ngebantah, sama kayak waktu lo mau dijodohin."

Alice di buat terkejut untuk kedua kalinya. Melihat dua orang paruh baya yang datang menghampiri meja mereka. Wajahnya tidak mengeluarkan senyuman sama sekali. Hans dan Audy.

"Mama, Papa?!"

"Udah cukup kamu ada di sini, Alice. Sekarang pulang ke Bali!" Bentak Hans.

Suasana di sekitar restoran mendadak sunyi akibat teriakan dari meja mereka.

"Alice nggak mau! Alice nggak mau ketemu kalian, Alice nggak mau ketemu Garvin."

"Garvin itu tunangan kamu," tegur Audy.

"Kamu manggil mereka ke sini?" Tanya Alice pelan.

Radion mengangguk. Lelaki itu tahu kelemahan Alice, yaitu kedua orangtuanya. Jika sudah memerintah, Alice pasti akan sulit untuk menolak mereka.

"Emang udah seharusnya lo pulang. Lo harus terima keadaan kita yang sekarang. Gue udah punya kehidupan baru, begitu juga lo."

Alice mengusap air matanya yang keluar. Mencoba tegar dihadapan kedua orangtuanya, Radion, dan Naka.

"Kita udah siapin tiket buat kamu pulang ke Bali. Kamu pulang nanti pagi. Sekarang kita ke rumah kamu, beresin barang-barang kamu!"

"Ion, kamu yakin ngebiarin aku pergi?" Alice sesenggukan setelah ditarik Audy keluar dari restoran.

"Kamu jahat, Ion. Kamu jahat!"

"Semoga lo bisa nerima Garvin, Alice."

****

Siang itu Alula baru saja keluar dari gerbang sekolah untuk mencari angkutan umum. Mora sudah terlebih dahulu meninggalkannya karena sudah di jemput oleh supir pribadinya.

Seorang lelaki berpakaian seragam sekolah lain menghampirinya. Menariknya ke sebuah halte yang tak jauh dari sekolahnya.

Alula kaget. Mencoba melepaskan diri dari lelaki itu.

"Santai, gue nggak mau ngapa-ngapain lo, kok." Setelah mengatakan hal itu, barulah Alula diam.

"Lo masih inget gue nggak?" Tanyanya.

"Gue Naka. Kalo lo lupa, gue yang pernah mau nyulik lo beberapa bulan yang lalu."

Ah, Alula baru ingat. Mata hijau itu. Ia familiar dengan warna matanya.

"Gue juga yang pernah nyamperin lo di perpustakaan. Beberapa kali gue muncul di sekolah pas lo lagi sendirian."

"Kamu mau apa?" Tanya Alula langsung.

"Aku udah nggak deket sama Radion. Aku sama dia juga udah nggak pernah ngobrol lagi."

Naka tersenyum kecil. "Gue cuma mau minta maaf sama lo."

Alula terdiam. Tidak percaya.

"Iya, gue mau minta maaf sama lo. Maaf udah bikin lo takut karena sifat gue. Gue nggak bermaksud jahat sama lo. Gue cuma di suruh."

"Di suruh siapa?"

"Alice." Alula menutup mulutnya kaget. Tidak percaya.

"Tenang aja, semuanya udah diselesain sama Radion, kok. Lo nggak perlu khawatir lagi sekarang. Alice juga udah pulang ke Bali."

"Radion?"

Naka mengangguk. "Gue nggak tau apa masalah lo sama Radion sekarang. Tapi, gue cuma mau bilang, dia masih peduli banget sama lo. Buktinya dia masih inget masalah ini, padahal kan udah lumayan lama."

"Lo nggak bisa ya maafin gue? Kayaknya emang susah buat maafin orang kayak gue." Naka berbicara lagi ketika tak mendapatkan jawaban dari Alula.

"Aku udah maafin kamu, kok."

"S–serius?!" Naka mengerjapkan matanya beberapa kali. Jawaban Alula benar-benar jawaban yang tak pernah Naka duga sebelumnya.

"Iya."

"Makasih. Gue nggak tau harus bales lo pake apa. Lo bisa minta apapun ke gue, gue bakal nebus kesalahan gue dengan kasih apapun buat lo." Naka terlihat senang. Ia mengeluarkan sebuah kertas kecil dari saku jaketnya yang isinya nomor ponselnya.

Alula menolak kertas tersebut. "Nggak perlu. Aku udah maafin kamu. Nggak perlu bales pake apa-apa."

"Gue ngerasa nggak enak sama lo."

"It's okay."

"Sekali lagi makasih, Alula!" Naka menepuk pundak Alula pelan. Sangat amat berterima kasih.

"Nggak apa-apa, save aja nomor gue! Kalo ada apa-apa dan lo nggak tau harus hubungin siapa lagi, lo bisa minta bantuan gue kalo urgent." Naka tetap memberikan nomor ponselnya.

Kali ini Alula tidak menolaknya. Ia menerima kertas tersebut lalu mengangguk. "Makasih, ya."

Alula tersadar akan lamunannya. Ia menatap secarik kertas yang diberikan Naka tadi siang. Kertas yang berisi nomor ponsel lelaki itu.

Sebenarnya Alula ingin balas dendam kepada Alice. Tetapi perempuan itu besok pagi sudah pulang ke Bali. Alice juga sudah diberikan pelajaran oleh Radion. Sepertinya itu sudah cukup baginya.

Pukul setengah dua belas malam, Alula masih kepikiran dengan satu nama seorang lelaki.

Radion.

Jadi, diam-diam Radion masih berusaha untuknya? Buktinya masalah yang sudah berlalu lumayan lama, masih saja di ingat olehnya. Alula saja sudah hampir lupa pernah mengalami kejadian itu.

Lelaki itu benar-benar mencari pelakunya.

TING!!!

Ponsel yang berada di sebelahnya menyala. Menandakan ada sebuah notifikasi masuk. Alula segera membukanya.

Masih minggu ke tujuh belas.

Naka berbicara padaku, bahwa sebenarnya Radion masih sangat peduli kepadaku.

Ya, aku tahu dan bisa melihat dari berbagai tindakannya.

Tindakan yang ia lakukan selalu membuatku luluh.

Tindakan yang ia lakukan, selalu membuatku ingin menghampirinya dan berbicara kepadanya. Seolah-olah kita baik-baik saja.

Tindakan yang ia lakukan, membuatku jatuh cinta lebih dalam kepadanya.

Tapi maaf.

Maaf Radion, aku harus mengabaikanmu lebih lama lagi.

Terima kasih sudah melakukan segalanya untukku.

****

"Woi, ada apa nih rame-rame?!" Galen menerobos sekumpulan siswa-siswi yang sedang bergerombol di lapangan indoor SMA Gardapati.

Anggota inti Camelion baru saja kembali dari kantin. Sempat heran kenapa kantin hari ini sepi. Rupanya semua orang tengah berkumpul di sini. Apakah ada kejadian seru?

"Alula? Ngapain dia di sana?" Saat mendengar nama Alula di sebut oleh Raiden, barulah Radion ikut penasaran dengan apa yang sedang terjadi di depan.

Setelah berusaha menerobos siswa-siswi, mereka akhirnya berhasil melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi. Bukan hanya Alula yang ada di sana, melainkan Chlo, Chessy, dan Ruby juga ada.

Apa yang akan mereka lakukan kepada Alula?

"Mau ngapain, sih?" Tubuh Radion langsung di tahan oleh Raiden.

"Diem dulu, Rad! Coba aja kita liat, tuh cewek mau ngapain sama Alula." Radion membuang nafasnya kasar, lalu kembali ke posisinya semula.

"BERHUBUNG KALIAN SEMUA UDAH KUMPUL DI SINI, GUE MAU MENGUNGKAPKAN SESUATU YANG BESAR SAMA KALIAN!" Chlo mulai berteriak. Suaranya menggema di seluruh ruangan.

"Sesuatu apa?"

"Sesuatu yang besar? Maksudnya?"

"Mungkin yang di maksud Chlo itu yang di mading kali."

"Emang di mading ada apaan?" Suara bisik-bisik mulai terdengar.

"Di depan gue sekarang, ada cewek yang sok jadi polos di depan orang-orang." Chlo tersenyum sinis ke arah Alula yang sudah terduduk di lantai.

"Kenapa? Nggak percaya? Dulu awalnya gue juga nggak percaya, kok. Tapi setelah kalian tau gimana sifat dia yang sebenernya, gue yakin kalian bakal benci banget sama nih cewek. Dia nipu kita selama ini dengan tingkah sok polosnya."

"Maksud tuh cewek apaan, sih?" Zean mengangkat kedua bahunya tak tahu.

"Kalo kalian mau tau, dia beberapa minggu ini suka ke rumah gue buat ngajarin gue belajar." Semuanya langsung terkejut.

Mereka semua tahu bagaimana hubungan Chlo dan Alula yang tidak baik karena masalah Radion. Kenapa Alula bisa mengajari Chlo belajar di rumahnya?

"Untung nggak jadi perang dunia pas Alula ngajarin si Chlo belajar di rumahnya." Galen geleng-geleng kepala.

"Lo udah tau tentang hal itu, Rad?" Tanya Daplo.

"Udah."

"Alula ternyata selama ini pura-pura lemah. Padahal sebenernya, dia bisa ngelawan. Kemarin tangan gue hampir mau di remukin sama dia. Lihat, ini bekasnya!" Chlo mengangkat tangannya untuk menunjukkan kepada semuanya.

Alula melotot. Menatap kaget pergelangan tangan Chlo yang terlihat membiru hebat. "Kamu bohong! Itu luka yang kamu bikin sendiri, kan?"

"Luka yang gue bikin sendiri? Jelas-jelas lo yang ngelakuin ini ke gue. Kenapa? Lo takut rahasia terbesar lo terbongkar?"

Alula hanya bisa pasrah. Sudah jelas sekali bahwa memar di pergelangan tangan Chlo bukan akibat dirinya. Chlo hanya memperparah kondisinya dan membuat dirinya menjadi tersangka.

"Tuh cewek bisa aja ngarangnya." Zean tertawa.

"Dia pikir Alula punya dua kepribadian kali?" Galen menimpali.

Tak beberapa lama, semua orang memekik terkejut ketika Chlo menarik rambut Alula dengan kasar. Wajah Alula sampai memerah menahan sakit.

"Kenapa lo diem, hah?! Jangan pura-pura. Ayo bales gue balik kayak kemarin, biar semua orang bisa tau gimana lo yang sebenernya."

"Lepasin!" Alula memohon.

"Ayo, lawan gue dulu! Gue tau, lo punya tenaga yang cukup kuat buat ngelawan gue."

"Dia nggak ngelawan. Berati Chlo cuma bohong, kan?" Siswa-siswi kembali berbisik ketika melihat Alula tidak menunjukkan reaksi perlawanan sedikitpun.

"Iya, paling si Chlo cuma cari sensasi. Lo tau sendiri kan kemarin dia baru aja jadi bahan gosip kalo nggak dibolehin main musik sama orangtuanya? Pasti yang dia lakuin sekarang cuma mau bales dendam doang, tuh."

"Gue nggak mihak ke Alula. Tapi liat Chlo kayak gitu, gue bener-bener geli sama tuh cewek."

"Ayo berdiri! Lo lawan Chlo sekarang! Jangan pura-pura lemah lo di depan orang," perintah Ruby.

"Chlo, lo apa-apaan, sih?!" Nara datang bersama yang lainnya tepat waktu.

Perempuan itu menepis tangan Chlo, membantu Alula berdiri dan menyerahkannya kepada Mora, Archa, dan Kezia.

"Urusan lo apa di sini?" Chlo meletakkan kedua tangannya di depan dada. Berhadapan dengan Nara.

"Wih, cewek gue." Daplo menjitak kepala Zean dari belakang.

"Jangan pernah lo apa-apain temen gue lagi!" Peringat Nara.

"Dia yang ngapa-ngapain gue di rumah. Lo semua sahabatnya harusnya tau gimana sifat dia yang sebenernya. Lo semua ketipu sama topengnya."

"Kenapa? Lo nggak bisa buktiin hal itu, kan? Semua orang di sini bakal anggep lo caper doang. Inget, tuh!"

Nara membalikkan tubuhnya. Mengajak teman-temannya, juga Alula untuk segera pergi dari sana.

"HUUUU!! CAPER LO!"

"CARI SENSASI DOANG KAN LO SAMA KITA-KITA?"

"LO PENGEN KITA BENCI SAMA ALULA? YANG ADA MALAH LO YANG DI BENCI."

"KALO IRI SAMA ALULA MAH BILANG. GUE TAU, DIA LEBIH PINTER DARI LO, KAN?"

"Maksud lo apa?! Emangnya lo sendiri udah lebih pinter dari gue?" Balas Chlo kesal.

Semuanya bergegas meninggalkan lapangan indoor dengan suara bising. Membicarakan kelakuan Chlo dan teman-temannya barusan yang terkesan cari perhatian saja.

Radion, Raiden, Zean, Galen, dan Daplo juga ikut pergi dari sana setelah suasana mulai sepi.

****

Haloo, udah nungguin yaa dari kemarin? Sorry karena revisi nya kelamaan, jadi baru di up sekarang hehe😬

Akhirnya satu spesies menyebalkan sudah pulang ke Bali🙂 mungkin tinggal Chlo aja nih yang masih nyebelin.

Menurut kalian, yang ngebuat celaka masing-masing dari inti Camelion siapa? Blidvinter? Chlo? Atau ada orang lain yang kalian curigai? Coba tebak!

Jangan lupa buat pencet tombol vote & spam comment nya ya all✨❤️ kasih aku semangat biar update nya nggak lama-lama hehe💋

Jangan lupa juga ramein akun tiktok wattpad aku!! Kalian bisa liat Radion dan anak-anak inti Camelion di sana tau🥳

Don't forget to check👇 :
Instagram : @cindeyaur
Tiktok         : @cramelgurl

Coba di pilih, yang mana yang jadi moodboster kalian di cerita ini?

Bonus chatan anak-anak inti Camelion di grup chat mereka🥰

Naka😍

Bye bye Alice🤭

Makasii yang udah bantuin ramein & masih setia buat nungguin cerita ini update😘💋 ily💓

Spam comment for next chapter!

With love, Cindyy<3

Continue Reading

You'll Also Like

RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.6M 222K 67
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
620K 49.7K 29
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
988K 48.5K 64
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.2M 119K 60
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...