Seluruh Kerajaan menyambut kemenangan yang telah terjadi. Lagu, tarian dan acara yang meriah diadakan sepanjang jalan. Bahkan sejak jauh suara-suara itu dapat terdengar.
"Mereka semua menyambutmu." Sylvester yang berada di atas kuda, tidak jauh dari kuda yang Anstia tumpangi bersuara. "Kau menciptakan sebuah sejarah. Seorang Putri yang turun ke medan perang untuk pertama kalinya."
"Eh, benar juga. Aku tidak menyadarinya." Anstia tertawa. "Aku hanya memikirkan hal lain sampai tidak sadar akan hal itu."
Jalvier memerikan setangkai mawar pada Anstia. "Selamat datang kembali, Tuan Putri."
Anstia tersenyum geli. "Aku bahkan tidak menyangka akan ada di sini."
Astevia menoleh ke belakang, menatap ketiga anaknya yang saling membalas candaan.
"Perang ini selesai." Astevia mengangguk pelan, dia menatap Phil yang menatap pada kerumuman rakyat mereka yang bersorak riang. "Ini kali pertama aku ikut dalam perang, rasanya campur aduk ternyata."
Astevia mengangguk. "Begitulah, semua orang yang ada disini berbahagia, tapi dibelakang ini ada orang yang menangis karena saudara, suami atau bahkan anak mereka yang harus gugur."
Phil menatap jalanan yang menyambut mereka, ada berbagai bunga yang dilemparkan ke arah jalan, membuat jalanan itu penuh dengan warna dari bunga-bunga.
"Ayah!"
Suara itu membuat semua orang menoleh. Putra Mahkota mereka tiba, dengan kudanya sendiri. Sepertinya Hilberth langsung pergi begitu mendengar bahwa mereka menang dan sudah berada di kota.
Hilberth sudah menunggu di tempat persembunyiannya dengan cemas selama ini, saat mendengar berita melegakan ini dia tidak bisa tidak pergi dan melihat semua.
Berlari setelah turun dari kuda yang ia tumpangi, Hilberth menatap semua. Saudara dan Ayahnya.
"Aku hampir mati membayangkam hal buruk yang akan terjadi." Hilberth mengusap wajahnya kasar.
"Kaisar tidak menunjukkan kelemahannya di depan orang-orang." Phil bersuara membuat Hilberth mengangkat kepalanya.
"Kakak!"
Anstia berlari, memeluk Hilberth yang membalas pelukannya tidak kalah erat. "Aku lega, rasanya umurku bertambah beberapa tahun."
Anstia terkekeh.
Mereka tiba di Istana masih dengan iring-iringan. Mereka disambut oleh Brandon yang berdiri di gerbang Istana dengan senyuman, telah menunggu kedatangan mereka yang ia tunggu.
Keadaan Brandon jauh lebih baik, bahkan sudah bisa berdiri dengan baik. Namun masih belum sebaik itu, Brandon masih perlu beberapa perawatan.
Anstia menatap keluar jendela, rasanya semua itu baru saja kemarin. Kasilva datang dan mengacaukan semua, perang lalu dia bertemu dengan Yasa.
Menghela nafas, Anstia menatap kedua tangannya. "Tangan yang menulis cerita dan mengakhiri cerita. Sayangnya tidak dapat membuat seseorang tetap tinggal." Anstia mengepalkan kedua tangannya.
Suara ketukan membuat Anstia menoleh, itu Hil dan Kasilva. Keduanya tampak lebih hidup setelah pergi dari Kastil itu.
"Istana menyenangkan." Hil tersenyum. "Maaf sekali lagi telah berbohong selama ini." Hil menundukkan kepalanya.
"Itu pilihanmu, tidak masalah." Hil hanya berpura-pura gila dan merencanakan banyak hal. Seperti yang dikatakan Jalvier, Hil adalah satu-satunya dan keturunan terakhir dari sebuah suku yang sejak dulu di kenal memiliki darah anti sihir, namun mereka menghilang sejak puluhan tahun yang lalu. Tidak banyak yang ingat dengan suku itu, bahkan tidak ada buku tentang itu. Karena mereka telah dinyatakan punah.
Hil tersenyum. "Terimakasih, Yang Mulia."
Anstia berdecak. "Agak aneh mendengar itu darimu."
Hil terkekeh. "Ini di Istana, aku bisa langsung dipenggal jika tidak mengikuti."
Ketiganya berbincang beberapa saat, ditemani teh dan kue-kue yang sudah lama tidak Anstia cicipi. Rasanya masih sama.
"Padahal kalau kau tinggal juga tidak masalah."
Kasilva tersenyum. "Ini untuk menebus dosa-dosaku."
Kasilva memutuskan tetap akan pergi, dia akan pergi ke kota kecil yang cukup jauh. Kota yang berada di pinggir pantai, namun pertanian disana juga sangat baik.
"Sering-seringlah datang, kau selalu disambut disini." Kasilva tampak lebih santai dan lebih menjadi dirinya, luka-luka yang ada juga telah disembuhkan, namun luka di hati memang sulit. Mungkin memang Kasilva perlu menata hidupnya sesuai jalam yang ia mau.
"Aku akan tinggal," Hil bersuara. "Tawaran Pangeran Jalvier rasanya menarik."
"Kakakku yang satu itu memang memiliki tingkat penasaran yang cukup tinggi." Anstia tertawa pelan. "Terimakasih, semua ini bisa terjadi berkat kalian."
Kasilva tersenyum. "Kau juga membantu kami, jadi ini semua impas."
Hil mengangguk. "Itu benar."
Sedikit hening sebelum Kasilva kembali bersuara. "Jadi, kau masih Dewi Dunia ini?"
Anstia menggeleng. "Dunia ini tidak lagi berjalan berdasarkan buku. Tidak ada lagi yang tercatat di buku itu, semua telah berjalan seperti seharusnya, tanpa tertulis ataupun akhir yang telah di ketahui. Buku itu sudah pergi dan tidak kembali lagi." Anstia tersenyum sendu. "Kisah di buku itu telah berakhir. Sekarang kisah baru yang tidak tercatat telah di mulai."
"Aku rasa semua akan baik-baik saja." Hil bersuara. "Aku belum sempat mengatakan namaku yang sebenarnya, kan?"
"Hil bukan namamu?" Kasilva mengerutkan kening.
Hil menggeleng. "Hil itu nama kecilku, Ibuku dulu memanggilku seperti itu nama asliku Volvoreta."
"Aku kira namaku sudah cukup aneh, ternyata ada yang lebih aneh." Kasilva menerima satu pukulan setelah mengatakan itu. "Aku hanya bercanda."
"Artinya kupu-kupu, itu mungkin kenapa aku bisa ada di tempat ini dan itu. Kupu-kupu pergi kemanapun dia mau."
"Berarti kau benar-benar mau ke Kastil itu?" Hil kali ini berteriak kesal saat Anstia mengatakan itu. "Kau akan tambah pendek. Jangan berteriak terus."
"Aku tidak sependek itu!" Hil berteriak kesal.
Anstia dan Kasilva terkekeh.
Ketiganya berbincang sampai akhirnya Kasilva dan Hil kembali ke kamar mereka. Rasanya menyenangkan saat memiliki teman bicara.
"Ini sudah malam."
Anstia menoleh, menatap Kakak sedarahnya yang berjalan dengan rambut yang kelihatan agak berantakan.
"Sudah lama aku tidak santai seperti ini." Anstia berada di taman, ditemani cahaya bulan yang terang, tanpa awan di atas sana. "Terima kasih karena telah menepati janji."
Phil duduk di samping Anstia yang duduk di kursi tepat di depan air mancur yang ada di taman.
"Aku memang kekanakan." Anstia menoleh. "Itu bukan salahmu, lagipula semua pasti ada alasannya."
"Ibu kita cantik, kan?"
Phil menatap Anstia, lalu perlahan tersenyum dan mengangguk. "Ya, Ibu kita cantik."
Anstia agak kaget, tapi dia ikut tersenyum. "Semua sudah selesai."
"Kau benar-benar tidak akan menikah?"
"Dari Ayah atau Kak Jalvier?"
"Jalvier."
Anstia tampak berfikir, dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Apa ya? Aku hanya ingin menunggu seseorang, entahlah dia akan datang atau tidak."
"Kau akan mengejar-ngejar seseorang?"
"Apa itu salah?"
"Seorang Putri tidak mengejar-ngejar."
"Sekedar informasi, aku jadi Putri pertama yang turun ke medan perang. Jadi kenapa aku tidak aku mengejar?" Anstia mendengkus. "Aku akan mengejarnya, kalau dia ada. Kalau tidak aku hanya akan menunggu."
"Apa dia sangat istimewa?" Phil melirik Anstia yang mengangguk.
"Dia sama sepertimu, menyebalkan, tapi dia selalu membuatku nyaman dan bisa melepaskan apa saja yang ada di pikiran dan hatiku sesukaku tanpa harus berpikir panjang. Dia yang aku butuhkan."
"Lalu? Dia dimana?"
Anstia duduk tegak, dia menghela nafas. "Entahlah."
"Kau memang aneh." Phil menepuk puncak kepala Anstia sebelum berdiri. "Pergilah tidur, ini sudah larut. Sudah semakin dingin."
Anstia ikut berdiri. "Ah, aku mau makan puding besok pagi!"
Phil hanya diam, dia mengikuti dari belakang. Adik, ya?
. . .
Happy ending, kan?
Udah hampir ending nih, nggak rela tapi masa iya nggak habis-habis 🤣
Selamat menunggu epilog 😍