RADION

By cindeyaur

66.5K 6K 1.8K

"Gue sekarang udah jadi ketua di sini, mau gimana pun, lo harus patuh sama gue." -Radion Geraldo. **** Radion... More

PROLOG
RADION || 01
RADION || 02
RADION || 03
RADION || 04
RADION || 05
RADION || 06
RADION || 07
RADION || 08
RADION || 09
RADION || 10
RADION || 11
RADION || 12
RADION || 13
RADION || 14
RADION || 15
RADION || 16
RADION || 17
RADION || 18
RADION || 19
RADION || 20
RADION || 21
RADION || 22
RADION || 23
RADION || 24
RADION || 25
RADION || 26
RADION || 27
RADION || 28
RADION || 29
RADION || 30
RADION || 32
RADION || 33
RADION || 34
RADION || 35
RADION || 36
RADION || 37
RADION || 38
RADION || 39
RADION || 40
RADION || 41
RADION || 42
RADION || 43
RADION || 44
RADION || 45
RADION || 46
RADION || 47
RADION || 48
RADION || 49
RADION || 50
RADION || 51
RADION || 52
RADION || 53
RADION || 54
RADION || 55
RADION || 56
RADION || 57

RADION || 31

683 75 4
By cindeyaur

"Gimana kondisi Zean, Cha?" Tanya Nara malam itu.

Baru saja Alula selesai makan malam, teman-temannya sudah mengajaknya untuk berbicara lewat telepon. Katanya Zean habis dikeroyok sama anak Blidvinter. Alula jadi was-was. Apakah Radion terlibat?

Tetapi jika di pikir-pikir, sudah pasti Radion terlibat akan masalah itu. Radion kan ketuanya.

"Mukanya babak belur parah, Ra. Badannya juga pada sakit katanya. Tapi dia bilang di chat, dia udah mendingan. Udah di obatin juga sama adik kelasnya."

"Ya ampun, kasian banget. Semoga bisa cepet sembuh deh si Zean. Kelewatan banget emang anak-anak Blidvinter," ujar Kezia.

"Iya, gue mau samperin Zean tapi dia katanya nggak bakal pulang malem ini. Dia katanya bakal nginep di markas karena takut orang tuanya marah lihat kondisi dia kayak gitu. Gue juga dilarang sama dia buat ke sana. Katanya suasananya lagi kacau," cerita Archa.

"Maksud lo kacau gimana?" Tanya Mora.

"Camelion bales dendam ke markas Blidvinter. Mereka nggak terima lihat Zean dikeroyok kayak gitu. Udah, gue nggak tahu lagi gimana kabar mereka sekarang."

"Ya udah, lo tenang aja! Kalo sekiranya besok lo ada kemungkinan buat temuin Zean, temuin aja! Nanti gue anterin lo, Cha," kata Nara.

"Iya, Ra. Thanks."

"Raiden nggak ngasih tahu apa-apa ke gue. Dia lagi di mana, ya? Gue lihat kamarnya juga masih mati lampunya. Berati dia belum balik ke rumah." Terdengar dari suaranya, Mora terlihat sangat cemas.

Mendengar hal itu, membuat Alula jadi teringat Radion. Ia jadi ikut cemas dengan cowok itu. Sedang di mana Radion? Apakah cowok itu baik-baik saja setelah balas dendam kepada Blidvinter?

"Mungkin emang bener kalau di sana suasananya lagi kacau, Mor. Ya lo tahu sendiri lah kalau Zean yang dikeroyok sama Blidvinter, musuh mereka sendiri. Mereka pasti kesel banget. Mungkin aja mereka nggak bakal ngampunin Blidvinter karena masalah ini," tutur Kezia.

Mora menghela nafasnya kasar dari seberang. "Ngapain sih mereka malah nyari ribut? Mereka kan lagi kena masalah di sekolah. Gue takut kalo masalah ini bisa sampai ke telinga kepala sekolah sama guru-guru."

"Guys, aku udahan ya teleponannya." Alula akhirnya membuka suara setelah sedari tadi gadis itu hanya mendengar percakapan teman-temannya saja.

"Mau ngapain? Ngerjain tugas, ya?"

"Iya, biar cepet selesai aja. Aku mau tidur cepet juga malem ini."

"Ya udah, nanti gue tanya tugas yang nggak gue ngerti ke lo ya, Alula."

"Iya, Mora. Tanya aja kalo ada yang nggak kamu ngerti."

"Aku matiin ya teleponnya! Semoga Zean sama anak-anak Camelion yang lainnya nggak kenapa-napa. Jangan terlalu dipikirin, Archa." Alula menenangkan Archa.

"Iya, Alula. Makasih, ya!"

Setelah menutup teleponnya, jari-jari lentik Alula mencari nomor kontak yang ia tuju.

Setelah menemukannya, ia terdiam sebentar. Berfikir apakah sebaiknya ia harus mengirim pesan kepada orang tersebut atau tidak?

Setelah beberapa menit berfikir, Alula akhirnya memutuskan untuk mengirimkan pesan. Walaupun Alula sendiri tidak tahu apakah pesannya akan di balas dalam waktu cepat atau tidak. Hati kecilnya resah jika tidak menanyakan kabarnya sekarang.

Alula Arabella :
Radion, katanya kamu bales dendam ke Blidvinter gara-gara masalah Zean?
Kamu di mana sekarang? Udah pulang?
Kamu nggak apa-apa, kan?
Aku takut kamu kenapa-napa. Jangan kebanyakan berantem, Radion.

****

BRAKKK!!!

"Bangsat!" Umpat Radion sambil berjalan memasuki area markas.

Zean, Denzel, dan Atlas masih berada di sofa markas. Terkejut dengan kedatangan Radion yang tiba-tiba, diikuti dengan yang lainnya. Terlebih lagi, Radion datang sambil marah-marah.

"Rad, kenapa?" Tanya Zean.

Cowok itu sedikit bisa bernafas lega ketika melihat teman-temannya baik-baik saja. Hanya mendapat luka-luka di bagian wajah dan tidak ada yang parah.

"Gimana tadi?" Sedangkan Denzel lebih memilih untuk bertanya kepada temannya, Rafael.

Tetapi Rafael pun tidak menjawab pertanyaannya juga.

"Udah, Rad! Segitu cukup buat kasih pelajaran ke mereka. Banyak yang tumbang juga tadi, kok. Emangnya lo mau bikin Abimanyu kayak gimana? Ancur mukanya? Nggak mungkin, kan?" Raiden menenangkan Radion yang masih diambang kekesalan.

"Tapi lo pada tadi aman, kan? Nggak ketahuan lagi sama satpam yang suka ada di sana?" Zean berbisik ke arah Daplo yang kebetulan mengambil duduk di sebelahnya.

"Aman, Ze." Cowok itu lalu menceritakan kepada Zean bagaimana kronologi pada saat di markas Blidvinter tadi.

Radion gagal membuat kondisi Abimanyu lebih parah dari pada Zean. Rasanya ia belum puas dan ini belum impas.

Menurut Radion, semua kekuatan yang ia keluarkan untuk melawan Abimanyu tidak seberapa saat mereka mengeroyok Zean.

"Gue mau balik," tukas Radion setelah cowok itu duduk sebentar untuk menenangkan dirinya sendiri.

Anggota yang lain sudah berpencar. Sibuk mengobati lukanya masing-masing.

"Ya udah, lo duluan aja! Gue juga dikit lagi mau balik." Raiden berucap.

"Inget, Rad! Langsung cabut pulang, jangan ke markas Blidvinter lagi!" Radion hanya mengangguk singkat.

Cowok itu lalu menyambar jaket dan kunci mobilnya yang ada di atas meja.

"Ze, lo ikut pulang sama gue! Malem ini, lo nginep di rumah gue aja." Sebelum keluar dari markas, Radion menghampiri Zean terlebih dahulu.

Zean mendongak. "Nggak usah, Rad. Udah, lo balik aja!"

"Zean bisa nginep di rumah gue." Arlan memberikan penawaran.

"Zean sama gue aja, Lan. Yuk, Ze!" Zean mengangguk. Mengikuti saja apa kata suruhan Radion.

Cowok itu, dibantu Arlan dan Galen berjalan mengikuti Radion ke mobil jeep nya. Motor Zean diletakkan di markas karena cowok itu tidak mungkin membawa motor saat kondisinya masih seperti ini.

Sedangkan Raiden dan yang lainnya lebih memilih untuk menetap di markas sebentar untuk membantu yang lainnya mengobati luka-luka.

"Besok lo masuk sekolah, Ze?" Tanya Galen sebelum Radion menjalankan mobilnya.

"Jangan dulu." Radion yang menjawab.

"Ya udah, hati-hati!"

"Len, nitip kunci motor gue, ya!" Zean memberikan kunci motor trail nya kepada Galen.

"Iya, gue bawa pulang aja nanti."

"Makasih, Len."

****

Malam ini Zean akhirnya menginap di rumah Radion terlebih dahulu. Mungkin untuk dua hari kedepan atau lebih.

"Tante pasti mau marahin Zean ya karena Zean dateng-dateng kayak begini? Terus nginep di rumah Radion lagi."

Marissa tersenyum sambil mengobati sisa-sisa luka di wajah Zean yang tadi belum sempat diobati. "Lain kali hati-hati. Tante setiap lihat yang kayak gini selalu aja takut. Tante juga nggak marah kalau kamu mau nginep di sini. Anggep aja rumah sendiri ya, Zean!"

"Makasih, Tante."

"Itu juga salah Radion, Mi." Radion datang dari arah dapur sambil membawa segelas air untuk Zean.

"Bukan salah lo, Rad. Udah, lah!"

"Harusnya Radion bisa jagain temen-temen Radion. Biar nggak ada kejadian kayak gini."

Marissa mengusap pelan rambut putranya. "Bener kata Zean. Ini bukan salah kamu. Lagian ini kan kecelakaan. Besok harus lebih hati-hati."

"Bener, Tante. Lagian emang anak Blidvinter nya aja yang nyari masalah. Harusnya sih kejadian kayak gini nggak terjadi." Zean menimpali.

Akhirnya cowok itu sudah bisa sedikit bercanda dan tersenyum. Memang orang humoris beda sekalipun ia sedang tidak baik-baik saja.

"Ya udah, kalian ganti baju dulu, gih! Abis itu turun lagi buat makan. Makanannya udah siap dari tadi." Marissa beranjak dari kursinya sambil membereskan kotak p3k.

"Makasih, Tante! Jadi enak." Marissa hanya bisa tertawa kecil mendengarnya.

Beliau lalu kembali ke ruang kerjanya untuk melanjutkan pekerjaannya. Sedangkan Alfred sedang ada lembur di kantornya.

Setelah berganti baju dan makan malam di bawah, mereka kembali ke kamar Radion untuk bersantai. Radion tentu saja meminjamkan bajunya kepada Zean.

"Ze, lo nanti tidur di kasur gue aja."

Zean yang sedang duduk di atas kasur Radion yang besar pun mengernyit. "Lah, terus lo di mana?"

"Gampang, gue bisa di sofa." Radion menunjuk sofa besar yang sangat nyaman di pojok kamarnya. Menurut Zean, jika ia tidur di sofa senyaman itu pun tidak menjadi masalah.

"Ya elah, Rad. Tidur berdua aja. Kasur lo gede banget kayak gini, masa nggak muat sih buat kita berdua? Lagian kan badan kita kecil-kecil."

"Lo mau nge gay sama gue, ya?"

Zean berdecak mendengarnya. "Sombong banget lo! Kayaknya anti banget tidur bareng sama gue."

"Biar lo nyaman, Ze. Badan lo kan pasti sakit-sakit. Santai aja." Radion melemparkan selimut ke arah Zean.

"Serius? Gue udah kayak penghuni hotel nih, Rad."

"Kamar gue nggak cocok disamain kayak kamar hotel."

"Iya juga, sih. Akhirnya gue bisa jadi adik lo, Rad. Gue nginep di rumah lo gini, berasa jadi adik lo beneran." Zean tertawa-tawa sendiri sambil guling-gulingan di kasur.

Lihat saja tingkahnya! Padahal wajahnya sudah babak belur seperti itu, tetapi Zean masih saja bisa melawak. Dalam hitungan beberapa jam, cowok itu pasti sudah berubah ke sifat yang aslinya.

"Gue nggak mau punya adik, Ze. Nanti abis ini lo juga gue usir," kata Radion santai.

Zean pun hanya bisa mengumpati cowok itu dalam hati. Masih memandang takjub pemandangan kamar Radion yang banyak sekali gitar listrik terpajang rapi. Benar-benar keren.

"Ze," panggil Radion.

"Bisa nggak lo ceritain gimana ceritanya lo bisa dikeroyok sama mereka?" Radion menunggu Zean bercerita dari sofa yang tidak jauh dari kasur Radion.

"Gue bosen aja di rumah. Lagian juga cuma sakit biasa, masih bisa lah ke mana-mana. Niatnya gue mau ke markas, main sama anak-anak." Zean mulai bercerita.

"Salahnya gue, karena ngelewatin jalan yang mau ke arah markas Blidvinter. Gue pikir mereka belum pulang sekolah, jadi nggak bakal papasan. Tapi ternyata, gue papasan sama mereka di jalan."

"Mereka kayak biasa, lagi rame-rame. Gue pikir, mereka nggak bakal ngenalin gue. Tapi ternyata, Cakra ngenalin motor gue. Abis itu gue dikepung. Gue dikeroyok. Mau lawan juga gue nggak bisa, Rad."

Radion mengumpat kasar. "Terus abis ngeroyok lo, mereka ngapain?"

"Mereka ninggalin gue gitu aja. Untung pas itu gue masih bisa nyetir motor sampai ke markas. Ya walaupun gue udah lemes banget." Zean mengakhiri ceritanya.

"Besok-besok jangan pernah lewat sana kalau lagi sendirian! Minimal lo harus rame-rame kalo lewat sana." Jalanan itu sudah berbahaya sekarang. Blidvinter bisa saja menguasai daerah itu karena dekat dengan markas mereka. Radion harus waspada.

"Iya, Rad."

"Mending lo istirahat, Ze! Biar lo bisa cepet cabut dari rumah gue." Zean melemparkan bantal besar ke arah Radion, lalu mulai menghadap ke arah dinding—mencoba memejamkan matanya untuk tidur.

Sedangkan Radion hanya terkekeh. Cowok itu lalu membuka ponselnya. Membaca pesan dari Alula yang dikirimkan untuknya beberapa jam yang lalu.

Senyuman Radion seketika merekah setelah membaca pesan dari Alula tersebut. Ia lalu mengetikkan pesan balasan di sana.

Setidaknya amarahnya bisa sedikit lega setelah membaca pesan dari Alula yang menurutnya sangat menggemaskan. Apakah gadis itu khawatir kepadanya?

"Wah, kayaknya lo mulai stress deh, Rad. Abisnya lo udah senyum-senyum nggak jelas kayak gitu." Rupanya, sedari tadi Zean tengah menatap Radion yang  sedang senyum-senyum sendiri sambil menatap layar ponselnya.

"Bangsat lo, Ze! Gue kira lo udah tidur." Kali ini gantian Radion yang meleparkan bantalnya ke arah Zean hingga tepat mengenai kepala cowok itu.

"Aduh!"

****

Radion mengernyit ketika tidak menemukan teman-temannya di dalam kelas. Padahal tas mereka sudah ada di bangkunya masing-masing. Biasanya jam segini mereka tengah menunggu Radion sambil ribut di kelas. Ribut dengan tugas yang akan dikumpulkan pada hari ini, apalagi Galen yang paling malas mengerjakan tugas.

Setelah meletakkan tasnya di atas meja, Radion berjalan keluar dari kelas. Mungkin saja teman-temannya sedang ada di kantin.

"Bang!" Dari koridor yang berlawanan, Rafael berlari kecil menghampirinya.

"Kenapa?" Tanya Radion.

"Bang Raiden sama yang lainnya ada di ruang kepala sekolah, Bang. Tadi dipanggil lewat speaker," beritahu Rafael.

"Ruang kepsek?" Rafael mengangguk.

"Shit!" Umpat Radion.

Ia tahu apa yang akan terjadi setelah ia sampai di ruang kepala sekolah nanti. Pasti tentang masalah yang kemarin. Tanpa basa-basi, cowok itu langsung berlari menuju ruang kepala sekolah diikuti Rafael di belakangnya.

"Kalian berempat saya berikan skors selama tiga hari. Mulai besok, kalian jangan dateng ke sekolah!"

Radion sampai ke ruang kepala sekolah, membuat atensi mereka langsung teralihkan ke arahnya.

Tanpa menunggu izin Pak Arthur, Radion langsung masuk begitu saja ke dalam ruangannya. Menatap satu per satu temannya yang sudah berdiri sejajar di depan meja Pak Arthur.

"Apa kata Bapak? Skors?" Tanya Radion memastikan. Nada suaranya sedikit meninggi.

"Iya, kecuali kamu, Radion. Temen-temen kamu ini harus saya berikan skors selama tiga hari."

Radion menatap Pak Arthur dengan tatapan bingung di campur kesal.

"Rad, udah! Percuma lo ngelak sama jelasin kronologinya dari awal. Gue udah ngelakuin itu semua, dan kita tetep aja berakhir kayak gini," bisik Raiden.

"Tapi kan bukan salah kita, Den."

"Gue tahu. Dari kemarin kita terus yang salah. Lo mau ngapain lagi? We can't change his mindset about Camelion."

Radion tidak peduli. Ini sudah kesekian kalinya mereka diperlakukan tidak adil dan tidak seharusnya. Zean yang menjadi korban, mengapa tetap mereka yang kena hukumannya? Kenapa tidak Blidvinter?

"Pak, Zean ada di rumah saya. Dia dikeroyok, Pak, dikeroyok! Bapak yakin nggak bakal hukum orang yang ngeroyok Zean?" Protes Radion.

"Abimanyu sama temen-temennya yang seharusnya di kasih skors, Pak. Bapak nggak tahu kan kondisi Zean gimana sekarang? Zean dikeroyok sama dua puluh orang lebih. Mana bisa dia ngelawan, Pak? Hal ini harusnya ditindaki sama sekolah. Tapi buktinya? Bapak tetep biarin orang yang ngeroyok Zean begitu aja?"

Raiden dan yang lainnya sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Mereka sudah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mendapat pembelaaan. Minimal membuat Pak Arthur mengerti. Tetapi semua itu hasilnya nihil.

Pak Arthur menghela nafasnya pelan. "Saya juga sudah memberikan skors kepada Abimanyu dan orang-orang yang terlibat kemarin, Radion."

"Terus kenapa kita harus di skors juga? Mereka yang bikin temen kita kondisinya kayak sekarang."

"Radion, kamu tidak saya skors. Lebih baik kamu kembali ke kelas dan jangan ikut campur!"

Radion menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak habis pikir dengan cara berfikir kepala sekolahnya ini.

"Yang di skors temen-temen saya, Pak. Saya ketuanya. Saya nggak usah ikut campur? Ini jadi urusan saya juga dong, Pak."

"Tindakan kamu membalas Abimanyu dan teman-temannya juga salah. Saya berhak memberikan kalian masing-masing skors," kata Pak Arthur tegas.

"Saya sudah bilang sama kamu untuk jangan ikut-ikut mereka, Radion. Saya memberikan kamu waktu dan kesempatan untuk keluar dan tidak usah ikut campur dalam perkumpulan sekolah seperti ini."

"Kamu bisa melakukan hal lain yang sesuai di bidang kamu. Ikut olimpiade misalnya? Kamu bisa mewakili sekolah di olimpiade. Itu lebih baik dari pada seperti ini."

"Saya nggak akan mau wakilin sekolah buat ikut olimpiade, kalau kepala sekolahnya aja kayak Bapak." Radion mengakhiri obrolan mereka dengan langsung keluar dari ruangan kepala sekolah.

Raiden, Arlan, Galen, dan Daplo hanya bisa menatap kepergian Radion dengan perasaan yang campur aduk.

****

"ARGHHHH!!" Radion berteriak keras setelah lelaki itu sampai di rooftop sekolah. Mengeluarkan semua amarahnya di sana karena sudah pasti tidak ada yang mengganggunya.

"Guru goblok!" Makinya.

Radion menendang batu-batuan yang ada di sana hingga terjatuh ke bawah gedung. Tatapannya memanas, perasaannya kesal, emosinya tidak bisa terkontrol.

BUKKK!!!

Cowok itu menatap tangannya sendiri yang memerah. Barusan ia memukul dinding rooftop dengan keras. Berharap emosinya sirna, tetapi ia sendiri tidak bisa menghentikan emosinya.

Ini pertama kalinya Radion jadi seseorang yang pemarah. Dulu ia tidak pernah seperti ini. Ia selalu bersikap santai dan tenang. Tetapi sekarang, masalah kecil saja sudah membuat Radion marah-marah. Ralat, ini bukan masalah kecil. Melainkan masalah besar.

"Radion?! Kamu ngapain, sih?!" Seorang gadis menahan pergelangan tangannya ketika ia ingin kembali memukul tembok rooftop.

Radion menoleh ke arah gadis itu, terkejut. "Alula? Lo ngapain di sini?"

"Kamu sendiri ngapain kayak gitu? Kenapa marah-marah?"

Radion menepis tangan Alula kasar. Duduk di atas pembatas rooftop, membuat Alula mengikuti lelaki itu.

"Nggak perlu marah-marah, Radion. Aku baru pertama kali lihat kamu semarah ini."

"Mending lo pergi, Alula! Lo nggak tahu apa masalahnya. Gue marah kayak gini, karena ada alasannya." Radion mencoba berbicara dengan pelan.

"Aku tahu. Cuma kamu yang nggak di skors, kan? Aku tahu gimana perasaan kamu. Pak Arthur emang salah."

Radion mengalihkan tatapannya dari Alula. Ia mencoba meredakan amarahnya agar Alula tidak terkena dampaknya.

Tetapi lagi-lagi hal itu susah. Masalah Camelion barusan masih bersarang di otaknya—yang membuat Radion tidak bisa berhenti memikirkannya.

"Lihat ini!" Alula memegang pergelangan tangan Radion. Menatap buku-buku tangannya yang luka.

"Ini sama aja kamu nyakitin diri kamu sendiri." Radion terdiam. Memandang gadis itu lekat tanpa berkedip.

"Nanti aku obatin, ya?!" Radion tidak tahu apakah Alula melakukan hal tersebut secara sadar atau tidak, tetapi gadis itu sekarang mendekat memeluknya. Melingkarkan tangannya dipunggungnya.

Radion menatap Alula kaget. Ia masih diam dan bingung dengan tingkah Alula yang tiba-tiba seperti ini kepadanya.

"Gimana cara bikin kamu nggak marah lagi? Kamu itu orang paling sabar dan lembut yang pernah aku kenal. Aku nggak pernah kenal Radion yang suka marah. Aku jadi takut lihatnya. Itu bener-bener bukan kamu."

Radion benar-benar terpaku mendengar pernyataan Alula barusan. Menatap gadis itu yang masih memeluknya—kali ini pelukannya semakin erat.

Entah kenapa tangannya tergerak. Menelusuri punggung Alula, lalu lama-kelamaan ke bagian atas—tepatnya di bagian kepala gadis itu. Mengusapnya pelan lalu memeluknya balik.

Rasanya, seluruh beban masalah serta seluruh emosi yang ada di dalam dirinya hilang begitu saja. Radion memang sangat lemah akan sentuhan. Di rumah, jika ia ada masalah, Marissa akan datang untuk memeluknya.

Marissa selalu membuat dirinya lebih tenang. Benar-benar sama persis seperti yang Alula lakukan sekarang. Alula datang di saat dirinya butuh seseorang yang bisa menenangkannya.

Hal yang Radion lihat pertama kali setelah mereka melepaskan pelukannya adalah wajah cantik Alula yang tengah tersenyum. Di tambah mata biru Alula yang menjadi salah satu kesukaan Radion.

"Maaf udah lancang meluk-meluk kamu." Alula jadi malu sendiri setelah mengingat tingkah lakunya barusan.

Pasalnya ia tidak tahu harus melakukan apa untuk membuat Radion tenang. Maka ia memilih alternatif untuk memeluk lelaki itu saja.

Yang Alula tahu, lebih banyak kekuatan dalam pelukan yang baik, dari pada dalam seribu kata yang bermakna.

"Nggak apa-apa. Makasih karena udah bikin gue ngerasa lebih baik. Lo nggak apa-apa, kan?" Alula menggeleng.

"Maaf kalo perubahan sifat gue barusan, ngebuat lo ngerasa takut dan seolah-olah lo bukan lagi ngelihat diri gue."

"Iya, Radion. Aku ngerti, kok."

Pupil mata biru gadis itu teralih ke arah pergelangan tangan Radion. "Aku ambil obat dulu ya di bawah?! Mau obatin tangan kamu."

Radion menahan lengan Alula. "Ayo, gue ikut lo aja."

"Kamu di sini aja!"

"Gue ikut lo." Pada akhirnya Alula mengangguk. Berjalan terlebih dahulu menuju tangga rooftop untuk turun ke bawah.

Radion menyunggingkan senyumannya. Menatap gadis itu dari belakang dengan rambut yang kali ini ia kuncir rapi.

Radion dibuat tergila-gila oleh gadis itu.

****

"Bangsat! Kita di skors, Bro!" Teriak Galen memasuki kelas. Beberapa teman sekelasnya yang ada di dalam kelas pun hanya bisa melirik mereka diam-diam.

Raiden membuang nafasnya kasar. Lelaki itu lalu duduk di atas mejanya. Memijat keningnya sendiri.

"Kok lo santai banget sih, Dap? Lo nggak keberatan ya kita di skors?" Tanya Galen yang sedari tadi melihat wajah Daplo biasa saja. Padahal yang lainnya sudah menunjukkan mimik wajah yang beragam.

Panik seperti dirinya, marah seperti Raiden, dan kebingungan seperti Arlan.

"Siapa juga yang pengen di skors?"

"Gue bilang juga apa. Kemarin Blidvinter cuma mau mancing emosi kita. Harusnya kita nggak kepancing. Jadi kayak gini kan akhirannya? Kita juga yang kena imbasnya," ujar Arlan berubah marah-marah.

"Kita tuh masih di awasin sama Pak Arthur. Nggak usah ngelakuin hal yang aneh-aneh, deh. Giliran kayak gini, lo pada sendiri yang pusing, kan?"

Raiden mendongak. Menatap Arlan yang sedang berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam. "Lihat temen lo kayak kemarin, lo mau diem aja gitu? Otak lo ke mana sih, Lan?"

"Kenapa lo jadi setolol ini?! Lo mentingin diri sendiri."

"Udah-udah!" Daplo berdiri di antara Raiden dan Arlan. Menyuruh mereka untuk saling menjauh dan menghentikan aksi perdebatannya. Banyak anak-anak sekelas yang melihat mereka sekarang. Mereka membuat kegaduhan.

"Bukan cuma lo yang kesel sama keputusan Pak Arthur. Gue juga, Lan! Gue pusing."

"Kalau bisa juga gue bakal habisin si Abimanyu sekarang juga."

"Udah, Den! Banyak orang di sini." Kali ini Galen yang menenangkan lelaki itu.

"Kalau lo nggak mau pusing mikirin masalah ini dan mentingin diri sendiri, mending lo cabut aja dari Camelion sekarang!" Ketus Raiden.

"Keluar aja lo dari Camelion! Lagian juga nggak ada ruginya kalau lo keluar. Lo beban kalau cuma mentingin diri lo sendiri, Lan!"

Lelaki itu turun dari atas meja, berjalan pergi meninggalkan kelas dengan kekesalan yang menggebu-gebu.

Arlan mengusap wajahnya kasar. Memutuskan untuk duduk di bangkunya sambil menenangkan dirinya sendiri. Ini pertama kalinya Raiden membentak dirinya. Ini juga pertama kali ia berdebat dengan Raiden.

Sebelumnya tidak pernah ada kejadian seperti ini. Entah itu karena Arlan yang tidak mau mencari masalah atau memang hari ini dirinya yang sedang salah.

"Lo mau ke mana, Dap?" Tanya Galen ketika melihat Daplo yang ingin pergi ke luar kelas juga.

"Nyusul Raiden. Gue takut dia berantem. Lo di sini aja!"

Galen membuang nafasnya pelan. Duduk di sebelah Arlan lalu menepuk pelan pundak lelaki itu.

"Lo sekarang lagi kenapa, sih? Nggak biasanya kayak gini."

****

Ini semua gara-gara Abimanyu😡 ayo demo Abimanyu dan kawan-kawannya!

Berhubung udah masuk sekolah dan pulang sore, mungkin jadi lebih sibuk dari pada biasanya. Mungkin juga aku nggak bisa bagi waktu sama kegiatan nulis aku.

Jadi, maaf kalo sekiranya suka telat update atau kalian lihat aku nggak upload vid baru di tiktok🙏 mohon pengertiannya ya temen-temen💋❤️

Tapi sebisa mungkin aku nyempetin waktu buat nulis kalau ada waktu luang/hari libur. Karena aku juga nggak bakal ninggalin cerita aku sebelum ending. Masih penasaran kan gimana Radion sama Alula? Kapan mereka jadiannya?

Untuk waktu update, kayaknya dari kemarin mah seminggu sekali, ya? Mungkin bakal sama, atau sesuai mood aku, atau sesuai sama waktu selesai revisinya. Jadi nggak nentu yaa😗

Makasi yang udh ngertiin aku😔🫣 Jangan lupa pencet tombol vote di pojok kiri bawah ya, biar aku semangat nulisnya😻🫶🫶

Don't forget to check👇 :
Instagram : @cindeyaur
Tiktok         : @cramelgurl

Spam comment for next chapter!💪

With love, Cindyy<3

Continue Reading

You'll Also Like

1M 50.6K 67
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...
576K 42.3K 29
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.3M 122K 60
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
2.4M 140K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...