RADION

By cindeyaur

66.6K 6K 1.8K

"Gue sekarang udah jadi ketua di sini, mau gimana pun, lo harus patuh sama gue." -Radion Geraldo. **** Radion... More

PROLOG
RADION || 01
RADION || 02
RADION || 03
RADION || 04
RADION || 05
RADION || 06
RADION || 07
RADION || 08
RADION || 09
RADION || 10
RADION || 11
RADION || 12
RADION || 13
RADION || 14
RADION || 15
RADION || 16
RADION || 17
RADION || 18
RADION || 19
RADION || 20
RADION || 21
RADION || 22
RADION || 23
RADION || 24
RADION || 25
RADION || 27
RADION || 28
RADION || 29
RADION || 30
RADION || 31
RADION || 32
RADION || 33
RADION || 34
RADION || 35
RADION || 36
RADION || 37
RADION || 38
RADION || 39
RADION || 40
RADION || 41
RADION || 42
RADION || 43
RADION || 44
RADION || 45
RADION || 46
RADION || 47
RADION || 48
RADION || 49
RADION || 50
RADION || 51
RADION || 52
RADION || 53
RADION || 54
RADION || 55
RADION || 56
RADION || 57

RADION || 26

751 86 30
By cindeyaur

"Pak Arthur tadi bilang apa ke lo, Rad?" Tanya Raiden setelah Radion bergabung dengan mereka di lapangan.

"Nggak bilang apa-apa." Radion sengaja menyembunyikannya.

"Masa? Pasti bilang sesuatu sama lo, kan? Apa jangan-jangan lo nggak di hukum kayak kemarin? Ngapain lo masih di sini?" Raiden tidak percaya.

"Gue di hukum juga, lah. Gue tadi di omelin aja di sana. Biasa lah di ceramahin."

"Sekarang tempat itu udah di pasang CCTV. Gila, Pak Arthur bener-bener ngawasin kita." Arlan geleng-geleng kepala.

"Bener, setahu gue dia nggak bakal seniat itu pasang CCTV di tempat sepi, apalagi di belakang sekolah tempat biasa kita bolos."

"Gue ada air, lo pada mau nggak?" Tawar Galen menawarkan sebotol air berukuran besar sisa ia beli di kantin tadi.

"Berguna juga yang lo beli di kantin, Len. Sini, gue bagi!" Raiden merampas botol air mineral tersebut.

Mereka lalu bergantian minum dari sana karena cuaca siang ini sedang panas-panasnya.

"Coba kalau ada makanan, udah komplit, deh."

"Lo pikir kita mau mukbang, Ze? Kita lagi dihukum," decak Galen.

"Alula? Lo ngapain ada di sini?" Mora keluar dari ruang guru dan terkejut melihat Alula ada di depan pintu. Sambil menatap ke arah lapangan, tepat di mana anak-anak inti Camelion sedang di hukum.

"E–eh, Mora. Aku nyusulin kamu ke sini." Alula mengalihkan tatapannya dari lapangan.

"Ngapain nyusul segala? Gue bisa sendiri, kok. Ini bukunya nggak terlalu banyak. Sama tadi kita di kasih tugas di suruh ngerjain soal."

"Sini, biar aku bantuin!"

"Nggak usah, gue bisa, kok."

"Nggak apa-apa, Mora. Aku bantuin." Alula mengambil setengah buku tulis yang ada di tangan Mora, lalu membawanya.

"Mereka di hukum lagi?" Mora menatap Raiden yang tengah duduk di bawah tiang bendera sambil menyeka keringatnya. Kasihan Raiden.

"Kayaknya iya, aku nggak tahu mereka di hukum karena apa."

"Mereka pasti bolos. Selalu aja kayak gitu." Mora membuang nafasnya pelan.

"Yuk, ke kelas! Pasti temen-temen udah nungguin."

Alula tersadar akan lamunannya. Gadis itu berhenti menatap Radion lalu pergi mengikuti Mora menuju kelas mereka.

Kenapa Radion ikut di hukum?

****

"Iya, besok aku tampil. Kalian nonton, ya?!"

Pagi itu, Alula, Mora, Archa, Nara, dan Kezia sedang mengobrol di depan kelas mereka. Suasana yang dari dulu Alula inginkan. Biasanya pagi-pagi seperti ini ia hanya membaca buku di bangkunya sambil menunggu bel berbunyi. Atau mungkin pagi-pagi seperti ini ia sudah dihadapi dengan anggota inti Camelion yang suka mengganggunya.

"Pasti gue nonton, lah. Besok pasti acaranya bakal pecah banget. Lihat panggung di lapangan yang baru di bangun setengah aja gue udah bisa tahu kalau besok pasti bakal rame banget," ujar Mora.

Ya, sudah hampir lama Alula dan yang lainnya latihan rutin untuk pentas musik. Dan pentas musiknya akan diadakan besok. Semoga saja berjalan dengan lancar.

"Iya, pasti bakal ramai. Aku jadi malu buat tampil di depan orang-orang."

"Nggak usah malu. Gue yakin penampilan lo besok keren abis. Langsung banyak yang demen deh sama lo," kekeh Kezia.

"Semoga aja besok aku bisa bawain lagunya dengan lancar."

"Aamiin!"

"Eh iya, Alula! Lo udah mutusin mau pakai baju apa? Katanya bajunya pakai punya sendiri-sendiri, kan? Lo pakai apa? Gaun, ya?!" Tanya Kezia lagi dengan antusias.

"Emangnya mau dansa apa pakai gaun segala? Yang ada malah ribet naik ke panggung," dengus Nara.

"Kan keren, Ra. Nanti bisa muter-muter gitu kayak princess."

"Suka-suka lo deh, Kez. Ini tuh pertunjukan musik, bukan pertunjukan tuan puteri."

"Kalau ada pertunjukan tuan puteri gue bakal ikut. Please, osis harus adain pertunjukan tuan puteri. Nanti pangerannya kan bisa Arlan." Semuanya langsung menatap Kezia dengan tatapan aneh. Perempuan itu sangat berharap sekali.

"Gue tahu pasti lo paling semangat yang kayak begituan. Lo kan cewek tergenit di sekolah ini."

"Aku belum tahu sih pakai baju apa. Hampir aja lupa mikirin baju buat besok. Nanti aku cari-cari deh di rumah baju yang ada." Alula tersenyum kecil.

Ia hampir lupa, ia kan tidak memiliki banyak baju yang bagus. Mentok-mentok yang paling bagus pun hanya sebuah kaos. Tidak mungkin kan besok ia pentas menggunakan kaos saja? Bisa-bisa ia ditertawakan oleh orang-orang.

"Tenang aja! Gimana kalau nanti malem gue ke rumah lo? Gue bakal bawain baju-baju gue yang jarang gue pakai. Masih bagus-bagus tau, bahkan ada yang belum pernah di pakai sama sekali. Nanti lo tinggal milih aja mau baju yang mana buat di pakai besok."

"Gue setuju sama Kezia. Dia tuh banyak banget baju yang nggak kepakai. Beli doang, pas di pakai di rumah ngeluh nggak cocok. Kan buang-buang uang. Mendingan nanti lo cobain! Nanti gue, Archa, sama Nara ikutan milihin deh yang bagus buat lo." Mora mengiakan disusul dengan senyuman setuju dari Archa dan Nara.

"Tuh, kan, gimana? Gue bakal buat lo cantik besok. Di jamin, bakal banyak yang terpesona sama lo."

Alula menatap teman-temannya tidak percaya. Kenapa ia harus mendapatkan mereka yang sebaik ini? Alula merasa sangat beruntung memiliki mereka. Di saat Alula sedang jatuh-jatuhnya, ada mereka yang membuat Alula bangkit. Walaupun hanya sedikit, tetapi mereka mampu membuat hidup Alula lebih baik.

"Serius? Gimana sama harganya? Nanti aku ganti deh harga baju kamu."

"Ya elah, nggak usah di ganti. Udah pakai aja! Lo mau ambil semua juga nggak apa-apa, nggak usah di balikin. Kan kita sahabat, kayak gitu mah nggak usah di ambil pusing."

Sahabat.

Alula memiliki sahabat? Dari dulu ia selalu iri melihat teman-teman lainnya yang duduk bersama teman-teman mereka. Mengobrol bersama, ke kantin bersama, bercanda bersama.

Dan sekarang, Alula merasakannya. Benar-benar keajaiban yang Tuhan berikan untuknya. Apakah setelah ini akan banyak keajaiban lagi yang diberikan Tuhan kepadanya? Atau justru malah sebaliknya?

"Kezia, makasih banyak, ya!" Alula tersenyum lebar. Menunjukkan wajah terima kasihnya ke arah Kezia.

"Iya, Alula, sama-sama. Tenang aja, pokoknya urusan baju lo aman. Lo tinggal tunjukin yang terbaik aja besok."

"Oke, siap." Alula mengangguk mantap.

"Jadi gimana? Malem ini kita ke rumah lo boleh?" Tanya Nara.

"Boleh. Nanti aku kirim lokasi rumah aku ke kalian."

"Alula!" Percakapan mereka terhenti ketika suara Radion menginterupsi mereka. Alula langsung mengalihkan tatapannya. Menatap Radion dengan tatapan kaget dan juga bingung.

"Hai, Radion. Kenapa?"

"Maaf ya ganggu. Gue boleh minjem Alula sebentar?" Radion menatap teman-teman Alula.

Tanpa pikir panjang, mereka langsung mengangguk. "Boleh, kita juga udah selesai ngobrolnya." Mora mempersilahkan.

"Kenapa?" Alula menarik Radion untuk berdiri menjauh dari Mora, Archa, Nara, dan Kezia.

Mereka berdiri di balik tembok. Tepat di depan tangga. "Besok—"

Tatapan Radion beralih ke arah perban yang ada di lengan gadis itu. Bukan, bukan perban yang sebelumnya Alula pakai saat Alula mendapatkan memar. Perban itu seperti perban baru. Di tangan yang berbeda juga.

Raut wajah Radion langsung berubah. Hal tersebut membuat Alula menatap Radion bingung. "Kenapa, Radion?"

"Ini kenapa lagi?" Radion mengangkat pergelangan tangan Alula. Membolak-balikkannya, meneliti lukanya.

"E–eh, i–ini—"

"Jatuh lagi pas bersihin barang-barang yang tinggi?" Radion menatap gadis itu.

"Iya." Alula mengangguk pelan.

"Kan udah gue bilang, kalau nggak bisa ya nggak usah. Panggil orang aja kek, atau nggak usah di paksa bersihin kalau emang nggak bisa."

Alula mengedipkan matanya beberapa kali. Melihat Radion yang seperti ini adalah kesukaan Alula. Cowok itu benar-benar cowok yang perhatian. Idaman semua wanita.

"Kalau gitu gue aja yang dateng ke rumah lo. Gue yang bersihin barang-barang yang kata lo tinggi itu," putus Radion.

"Hah?! Mau ngapain? Nggak perlu!"

"Biar lo nggak jatuh lagi. Lagian lo bersihinnya nggak kelar-kelar dari kemarin."

"Maaf."

"Kenapa minta maaf? Ini udah di obatin, kan?" Tanya Radion.

"Udah."

"Kenapa? Nggak mau di obatin sama gue lagi emangnya?" Radion mengangkat satu alisnya. Entahlah, cowok itu sedang menggoda Alula atau sekedar bertanya.

"Bukan gitu. Dari pada ke infeksi, mending aku cepet-cepet obatin. Nanti kamu marah-marah lagi kayak kemarin. Sekarang aja udah marah-marah sama aku."

Radion terdiam sebentar. Masih sambil memegang pergelangan tangan Alula. "Gue nggak suka aja lihat lo luka-luka gini. Gue mikir yang aneh-aneh kalau lo dapet luka. Gue takutnya lo digangguin lagi sama temen-temen gue. Ya makanya, gue dari kemarin kelihatan sensi banget ngeliat lo dapet luka ini. Besok-besok, jujur aja ya sama gue? Gue nggak mau lo nyembunyiin sesuatu dari gue."

Alula tersenyum. Hal itu membuat Radion mengernyit dan semakin bertanya-tanya. Apakah kata-katanya ada yang salah?

"Bilang aja kamu khawatir sama aku, Radion. Nggak usah ngomong panjang lebar, aku juga udah tahu kok maksud kamu marah-marah karena apa."

Radion sontak tertawa. Mengacak pelan rambut Alula karena gemas. Syukurlah jika Alula sudah lebih terbuka kepadanya. Gadis itu juga sudah tahu, bahwa orang yang pertama kali khawatir akan kondisinya adalah Radion.

Radion seperti orang tua Alula yang selalu memberikan perhatian kepadanya. Radion juga bisa di bilang seperti pacaranya karena selalu bersikap manis kepadanya.

"Mereka pacaran? Kok gemes banget?" Di belakang sana, Mora, Archa, Nara, dan Kezia diam-diam mengamati mereka dengan tatapan kaget di campur rasa iri.

"Mereka tuh belum pacaran, tapi udah sweet banget. Mereka juga belum kenal lama, nggak selama gue sama Raiden. Tapi kenapa gue sama Raiden masih gini-gini aja?" Mora menatap Radion yang tengah mengacak-acak rambut Alula dengan gemas.

"Coba kalau gue yang kayak gitu sama Arlan. Besoknya pasti gue udah bisa beli helikopter pakai duitnya dia," gumam Kezia yang isi pikirannya berbeda sendiri dari teman-temannya.

****

"OH, DI SINI LO TERNYATA? GUE DARI TADI NYARIIN LO KE MANA-MANA, TERNYATA LO LAGI MENYENDIRI SAMBIL MAIN PIANO DI SINI?!"

Alula yang sedang hanyut dalam permainan pianonya pun terkejut ketika Chlo, Chessy, dan Ruby tiba-tiba saja datang memasuki ruang musik. Tubuhnya bergetar seketika. Ia memiliki firasat yang buruk akan kedatangan mereka.

Apalagi di ruang musik hanya ada dirinya seorang. Pasti mereka ingin melakukan hal yang tidak-tidak kepadanya. Apa lagi yang akan Alula dapatkan sekarang? Alula sudah lelah dengan semuanya.

"Gimana latihan lo? Besok yakin lo bakal tampil dengan keren?" Chlo berjalan menghampiri Alula.

Langkahnya pelan, tetapi mampu membuat jantung Alula berdetak tidak karuan.

"Jangan pakai baju jelek. Malu-maluin nama sekolah aja."

"K–kamu tahu dari mana aku besok pakai baju jelek? Aku udah punya baju buat besok tampil." Alula memberanikan diri untuk menjawab.

"Oiya? Bagus deh kalau lo udah punya baju yang bagus buat tampil besok. Dari dulu, setiap ada acara besar di sekolah, lo nggak pernah dateng, tuh. Gue tahu, pasti masalahnya ada di baju, kan? Lo nggak punya baju yang keren dan bagus. Baju lo gembel semua." Chlo, Chessy, dan Ruby menertawakan Alula dengan keras.

Ya, semua yang dikatakan Chlo memang benar adanya. Ia tidak mempunyai baju yang keren dan bagus. Baju untuk tampilnya besok saja punya Kezia, bukan punya dirinya sendiri.

"Kenapa? Bener kan yang gue bilang barusan?" Alula tidak menjawab. Gadis itu hanya menunduk. Selalu hanya bisa menunduk.

"Lo tahu kan besok gue tampil sama siapa?" Chlo menepuk pundak Alula yang masih bergetar.

"Sama Radion," beritahu Chessy dan Ruby. Sengaja untuk memanas-manasi Alula.

"Jadi, penampilan gue sama Radion besok pasti bakal banyak yang suka. Penampilan lo mah nggak ada apa-apanya. Siapa sih yang mau lihat gadis cupu nyanyi sama main piano? Baru lihat wajahnya aja mungkin udah nggak minat."

Chlo menatap Chessy dan Ruby ketika dilihatnya Alula hanya diam saja. Sama sekali tidak membalas perkataannya.

"Oiya, mau tahu gimana caranya lo tampil cantik melebihi gue besok?"

Alula mendongak pelan. "Gimana?"

"Kayak gini!"

"Akhh!" Alula meringis melihat lukanya yang kembali terbuka. Chlo baru saja menarik perbannya. Perihnya bukan main. Darah kembali keluar dari lukanya. Baru saja ia mengobatinya semalam, kenapa harus seperti ini lagi?

Chlo, Chessy, dan Ruby tertawa puas. Dari wajah mereka, tidak ada rasa kasihan atau penyesalan sedikit pun terhadap Alula. Benar-benar gila.

"Kan keren kalau kayak gitu. Gue jamin penampilan lo besok bakal banyak banget yang nonton. Mereka pasti kasihan sama lo. Apa sih yang terjadi di hidup lo sampai tangan lo banyak luka kayak gitu?"

"Kasian banget, sumpah. Apa mungkin dia depresi kali ya gara-gara hidupnya ngenes mulu?" Tanya Chessy menusuk.

Alula menatap mereka sambil mengepalkan tangannya dengan kuat. Miris sekali hidupnya.

Perempuan itu bangkit dari kursinya. Langsung pergi dari hadapan mereka dengan langkah cepat. Air matanya mendadak keluar tanpa bisa ia tahan.

Chlo menatap Alula kesal ketika perempuan itu sengaja menabrak bahunya.

Tetapi tidak apa. Setidaknya Chlo sudah memberikan gadis itu pelajaran sebelum pentas musik besok.

****

Alula pergi ke rooftop sekolah untuk menyendiri. Selain ruang musik, tempat kesukaan keduanya adalah rooftop sekolah.

Gadis itu duduk di pembatas rooftop sambil menangis. Meratapi nasib dirinya sendiri. Ia memang lemah. Lukanya yang semakin terbuka kini ia abaikan. Tidak peduli sama sekali dengan darah yang kembali keluar dari sana.

Alula terdiam sesaat setelah tangisannya reda. Menatap pemandangan kota Jakarta pada siang hari di hadapannya. Juga dengan angin sepoi-sepoi yang menerbangkan rambut panjangnya.

Mata gadis itu lalu teralih ke sebuah batu pipih yang berada persis di sebelah tempatnya duduk. Mengambilnya, lalu menatap ujung batu itu yang runcing.

Memikirkan hidupnya justru semakin membuat Alula frustasi. Baru saja kemarin ia merasa senang dan mempunyai keinginan untuk bertahan. Tetapi sekarang, keinginan itu pupus begitu saja.

Ia mencoba mengingat-ingat kata-kata Radion kemarin untuk menangkan dirinya sendiri saat ini. Tetapi semua itu tidak mempan. Ia sudah benar-benar lelah akan semuanya.

Hidup itu adalah pilihan. Katanya, hidup yang sekarang ini adalah hasil pilihan-pilihan kita di masa lalu. Jika di masa lalunya memang sudah berantakan, apakah hidup Alula yang sekarang bisa menjadi lebih baik?

Jika bisa, Alula sama sekali belum mendapatkan hal itu. Entah memang belum, atau mungkin tidak akan pernah mendapatkannya.

Gadis itu mulai mengarahkan ujung batu yang runcing itu ke arah pergelangan tangannya. Entah ada pikiran apa sampai ia berani melakukan itu. Dahulu Alula sering sekali seperti ini saat masih menginjak SMP. Ia juga tidak percaya, bahwa kebiasaannya dulu muncul lagi sekarang.

Hanya saja di otak Alula sekarang, ia harus melakukan hal itu.

"ALULA, JANGAN!"

Seseorang berhasil menahan Alula untuk tidak melakukan hal itu. Batu yang ada di tangan Alula langsung terlempar jatuh ke bawah.

Alula menoleh. Terkejut dengan kehadiran seorang lelaki yang barusan meneriakinya.

"Galen?!"

Galen menghembuskan nafasnya lega ketika ia berhasil menahan Alula untuk tidak melukai dirinya sendiri. Cowok itu lalu balik menatap Alula, memutuskan untuk duduk di sebelah gadis itu.

Gadis yang sedang dekat dengan sahabatnya baru-baru ini, Radion.

"Lo barusan ngapain itu?" Tanyanya.

"Nggak ngapa-ngapain. Kamu sendiri ngapain di sini?"

"Lo pikir gue nggak lihat pas lo nangis sambil lari-lari?" Alula memalingkan wajahnya dari Galen. Malu sendiri.

"Nih, gue tadi sempet bawain obat sama plester buat nutupin luka lo. Cepetan di obatin deh sebelum Radion lihat kondisi lo terus ngomel-ngomel! Tahu sendiri kan cowok lo kayak gimana."

Alula menatap obat dan plester yang Galen letakkan di sebelahnya.

Galen yang sedari tadi menatap gerak-gerik Alula pun berdecak ketika gadis itu hanya diam saja. Enggan mengobati lukanya. Bahkan obat dan plester yang diberikannya tidak di sentuh sama sekali.

"Lama banget lo. Sini deh gue aja yang obatin!" Alula terkejut ketika Galen menyambar tangannya. Melihat lukanya sebentar, lalu setelahnya cowok itu meringis.

"Abis jatuh ya lo?" Galen lalu mulai mengobati luka Alula dengan pelan.

Galen tidak terlalu dekat dengan Alula. Hanya ada kecanggungan di antara mereka. Tentu saja mereka tidak dekat karena dulu Galen suka mengganggunya bersama teman-temannya. Tetapi untung saja Galen adalah cowok yang mudah bergaul. Ia banyak bersuara untuk membuat suasana di antara mereka tidak canggung.

"Jangan diem terus. Sekali-kali kek lo ngomong sama gue."

"Tadi kan udah," jawab Alula kecil.

"Terserah lo, deh." Galen menyudahi aksinya setelah menutup luka Alula dengan plester.

"Makasih ya, Galen."

Cowok itu tersenyum. "Sama-sama. Gue sebagai temen deketnya Radion berhak buat jagain lo juga. Jadi kalau ada apa-apa, nggak usah malu-malu sama gue."

Alula mengangguk.

"Btw, gue boleh nanya lagi?"

"Apa?" Alula menoleh.

"T–tadi, lo mau ngapain? Kenapa batu tadi mau lo goresin ke tangan lo? Lo mau self harm, ya?" Tanya Galen penuh selidik.

Tentu saja Alula bingung ingin menjawab apa. Tidak mungkin kan ia harus memberitahu kepada Galen bahwa selama ini dirinya lelah akan semua beban hidupnya? Galen saja tidak tahu apa-apa tentang hidupnya. Galen tidak tahu betapa menyakitkan hidupnya.

"Alula?! Lo kenapa?" Galen langsung berdiri ketika Radion muncul dari arah pintu rooftop.

Alula menghela nafasnya lega setelah melihat kedatangan Radion. Ia jadi tidak perlu menjawab pertanyaan yang dilontarkan Galen barusan.

Sebelum Radion menghampiri Alula, cowok itu sempat menatap Galen bingung. Mengapa cowok itu bisa ada di sini? Harusnya cowok itu bergabung dengan yang lainnya di kantin.

Tetapi rasa penasaran Radion sirna ketika Galen membisikkannya sesuatu. Mungkin Galen baru saja memberitahu kejadian yang dilakukan Alula sebelumnya kepada Radion. Cowok itu juga mungkin menjelaskan maksud kehadirannya di sini.

"Maaf ya tadi gue obatin luka si Alula. Soalnya gue takut aja luka dia makin parah. Udah kebuka gitu abisnya. Ngeri. Anaknya juga dari tadi nggak mau ngomong sama cerita apa-apa ke gue, mungkin kalau sama lo dia mau cerita," bisik Galen pelan.

"Iya, biar gue aja yang ngomong sama dia. Makasih lo udah bantuin dia. Mending lo pergi!"

Galen mengangguk. "Ini gue juga mau pergi, Rad. Nanti gue samperin si Chlo sama temen-temennya, deh. Kayaknya mereka biang keroknya. Btw, yang lain pada di mana, Rad?"

"Kantin."

"Ya udah, kalau gitu gue cabut, ya!" Pamit Galen yang langsung di balas oleh anggukan Radion.

Setelah Galen pergi dari sana, Radion berjalan menghampiri Alula yang tengah duduk memunggunginya.

Cowok itu lalu duduk di sebelah Alula. Mereka sama-sama menatap ke arah yang sama, yaitu pemandangan gedung-gedung serta lampu merah jalanan.

Setelah terjadi keheningan beberapa saat, barulah Radion mulai membuka suara.

"Kenapa?"

Alula masih bergeming. Apa maksud pertanyaan Radion barusan?

"Kenapa lo mau ngelakuin hal itu sama diri lo sendiri?"

Oh, ternyata hal itu yang ingin Radion tanyakan.

"Lo ada masalah apa, Alula? Coba cerita sama gue," kata cowok itu lembut.

Alula mencoba menahan air matanya untuk tidak kembali turun. Pada akhirnya gadis itu hanya menunduk, tanpa berani menatap wajah Radion sedikitpun.

"Gue sedih lihat lo kayak gini." Radion memegang tangan Alula pelan. Menggenggamnya.

Rasa hangat mulai menjalar dari tangan Radion menuju tangannya. Tangan besar cowok itu seolah-olah menggenggam tangannya yang kecil agar tidak bisa ke mana-mana.

"Lo inget kan kalau lo punya gue? Kenapa nggak cerita aja? Gue ini apa buat lo, Alula?"

Bukan apa-apa.

Radion menghela nafasnya pelan ketika tak kunjung mendapatkan jawaban dari Alula. Gadis itu sama sekali tidak mengeluarkan suaranya.

Alula terkejut ketika tubuh kecilnya di tarik ke dalam dekapan Radion. Cowok itu memeluknya erat, sangat erat. Ini benar-benar hal yang tidak pernah Alula duga sebelumnya. Radion seperti takut kehilangan dirinya.

Radion mengusap puncak kepala Alula. "Tadi pagi lo baik-baik aja. Tapi kenapa sekarang lo kayak gini?"

Air mata Alula runtuh saat itu juga. Ia menangis di dada Radion, membuat seragam cowok itu basah dengan air matanya. Semakin Radion mengeratkan pelukannya, semakin deras pula Alula menangis. Tanpa disadari, tangannya balik memeluk pinggang Radion.

"Besok kita mau pentas musik. Gue harap gue bisa bikin lo seneng dan nggak kayak gini. Kalau lo terus kayak gini, gimana sama semua usaha yang udah lo lakuin buat besok?"

Radion mengusap-usap kepala Alula—berusaha menenangkan gadis itu. Melihat Alula menangis di hadapannya benar-benar membuat hati Radion tersentuh. Bahkan ia merasakan sakit itu di dalam hatinya sendiri.

"Gue tahu lo capek sama semuanya. Gue tahu lo punya banyak masalah yang hampir nggak bisa lo tahan lagi. Tapi gue mohon, tetep tahan semua itu buat diri lo sendiri, ya? Itu salah satu cara buat bikin lo kuat."

"Satu hal yang harus lo tahu, gue sayang sama lo, Alula."

Radion mengusap air mata yang turun ke pipi gadis itu. "Gue aja sayang sama lo, masa lo nggak sayang sama diri lo sendiri?"

"Lo itu sempurna, Alula."

Alula mendongak. "Bohong. Nggak ada yang sempurna di dunia ini."

"Iya, emang. Tapi di mata gue, lo itu sempurna."

"Don't do that again, okay? Gue bakal marah banget kalau gue masih lihat lo kayak gini. Nggak apa-apa kalau masih capek, pelan-pelan aja! Tapi jangan pernah nyerah for anything problem's you have. Bisa?" Radion mengangkat wajah Alula pelan hingga mata gadis itu bertatapan dengannya.

Gadis itu sudah tidak menangis lagi. Tetapi Radion masih bisa melihat raut wajah lelah serta frustasi yang terpancar di wajahnya.

"Aku coba." Alula tersenyum.

Sepertinya ini adalah cara paling ampuh untuk mengurangi beban-beban di dalam dirinya. Mendengarkan Radion menyemangatinya dan menenangkannya, itu mampu membuat Alula merasa lebih tenang.

Mungkin karena Alula menyukai Radion, makanya segala beban yang ada di dalam dirinya langsung hilang saat Radion berada di dekatnya. Radion selalu mampu membuat dirinya nyaman.

"Besok gue seneng banget mau lihat lo nyanyi. Tampil yang cantik, ya? Gue bener-bener nungguin hari besok cuma buat lihat lo."

****

"Wow!" Alula terpesona melihat Kezia, Mora, Archa, dan Nara datang ke rumahnya dengan mobil mewah milik Kezia. Selain itu, Kezia juga membawa beberapa bodyguard nya untuk membantu membawakan pakaian-pakaian untuk di coba Alula.

Perasaan Alula sekarang jauh lebih baik dari yang di sekolah tadi. Radion juga mengantarnya pulang ke rumah dan membelikannya makanan. Benar-benar sekhawatir itu.

Katanya, kalau Alula kepikiran tentang masalahnya lagi, ia bisa menghubungi Radion dan Radion akan langsung datang ke rumahnya dan siap mendengarkan keluh kesahnya.

Alula tidak mau menceritakan itu kepada teman-temannya. Pasti nanti mereka akan sangat khawatir. Cukup Radion dan Galen saja yang tahu tentang kejadian di rooftop tadi.

"Hai, Alula! Lo udah siap kan nyobain bajunya?" Kezia turun dari mobilnya dengan heboh.

"Pasti siap, lah. Lo mah pakai apa aja cantik. Nih, gue juga tadi beli makanan buat kita makan bareng-bareng." Archa memegang seplastik besar berisi makan malam.

"Makasih, ya! Maaf kalau rumah aku kecil."

"Nggak apa-apa, kok. Kita kan sekalian juga main ke rumah lo. Biar besok-besok kalau mau main udah tahu di mana rumah lo," jawab Mora.

"Ya udah, kalau gitu masuk, yuk!" Alula lalu mengajak teman-temannya untuk masuk ke dalam rumahnya.

Mereka langsung dipersilahkan Alula untuk menuju kamarnya. Tentu saja untuk mencoba baju milik Kezia yang akan Alula pakai untuk besok.

"Kamar lo kok sepi banget, sih? Bukannya lo suka musik-musik gitu, ya?" Tanya Nara memutari piano yang ada di dalam kamarnya sambil menatap ke sekeliling.

"I–iya, aku emang nggak suka kamar yang ramai-ramai gitu." Nara hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Alula, lo serius punya makeup sebanyak ini?!" Alula membelalakkan matanya ketika melihat Kezia duduk di meja riasnya. Terlebih lagi di atas meja tersebut banyak alat makeup yang ia miliki dan lupa ia masukkan ke dalam laci.

"Tapi setiap gue lihat lo di sekolah, lo nggak pernah pakai makeup apapun."

Alula terkekeh. "I–iya, aku iseng beli itu. Aku nggak bisa makeup jadi nggak percaya diri buat pakai makeup ke mana-mana."

"Oh, gitu. Udah, lo tenang aja! Gue bakal ajarin lo makeup kalau lo mau. Atau besok, lo gue aja yang dandanin. Lo pasti bakal cantik banget." Kezia menghampiri Alula sambil memegang pundaknya.

"Mau, ya?!" Alula mengangguk.

"Nah, sekarang coba lo lihat-lihat baju yang udah gue bawa!" Kezia menunjukkan baju-baju miliknya di bantu dengan Mora.

"Semua baju yang gue bawa dress semua. Karena menurut gue, besok semua orang yang bakal tampil nggak mungkin cuma pakai kaos sama bawahan celana. Harus kelihatan kalem dan lembut gitu," jelas Kezia.

"Apalagi besok lo mau bawain lagu pakai piano. Makanya harus pakai dress yang kalem dan pastinya cantik."

"Pertama ada dress ini." Kezia menunjukkan dress berwarna putih pendek dengan pita besar yang lucu di bagian dadanya.

"Pasti gemes kalau lo pakai."

Alula suka dengan dress nya. Menurutnya simpel dan tidak terlalu mewah.

"Kedua gue ada dress pendek lagi buat lo." Kezia lalu menunjukkan dress pendek lainnya. Dress itu terlihat lebih ketat dan berwarna ungu muda. Sangat manis.

"Gue suka banget sama yang itu," gumam Mora.

"Abis itu gue ada dress hitam ini. Kalau lo sukanya yang simpel-simpel banget, ini juga bagus, sih." Kezia menunjukkan dress hitam panjang bermotif yang modelnya sederhana tapi masih terlihat bagus.

"Ini ada dress putih panjangnya juga. Sumpah, ini bagus banget. Gue suka banget sama yang ini, sih." Kezia menunjukkan dress putih polos yang panjang dan berlengan balon.

"Nah kalau yang ini menurut gue lucu banget. Soalnya baju dalemnya lengannya kayak balon gitu. Jadi nggak terlalu seksi juga."

"Gimana kalau lo cobain satu-satu dulu? Nanti biar bisa di lihat juga yang mana yang cocok di lo," usul Archa.

"Iya, mending lo cobain dulu."

"Iya, aku cobain dulu deh kalau gitu." Benar-benar pilihan yang sulit untuk menentukan akan memilih gaun yang mana. Menurut Alula, semuanya sangat bagus. Lagian itu semua gaun mahal.

Alula lalu memutuskan untuk mencoba gaun itu satu per satu untuk melihat mana yang cocok jika dipakainya. Siapa tahu dengan mencobanya satu per satu, Alula dapat menemukan gaun untuk dipakainya besok.

"Gimana? Lo suka yang mana kira-kira?" Tanya Kezia setelah Alula selesai mencoba semua gaun tersebut.

"Menurut kalian, aku lebih cocok pakai yang mana buat besok?" Alula malah bertanya balik. Jujur, gadis itu di ambang kebingungan.

"Semuanya sih cocok di lo. Gue juga bingung mau pilih yang mana," ujar Mora.

"Iya, semuanya bagus di lo, kok. Lo pilih aja gaun yang menurut lo paling lo suka dan sesuai sama karakter lo banget," saran Nara.

Alula berfikir. Cukup lama gadis itu menyimpulkan gaun mana yang ingin ia pakai besok, sampai-sampai Kezia, Mora, Archa, dan Nara bisa menunggu sambil nyemil.

"Kayaknya aku bakal pakai yang putih ini, deh. Soalnya kalau pakai gaun yang pendek, aku masih kurang percaya diri."

Akhirnya Alula selesai memilih gaun yang ingin ia pakai besok. Gadis itu memilih pilihan gaun yang keempat, yaitu gaun panjang berwarna putih polos yang sangat indah dan elegan.

"Nah, gue setuju banget sih sama yang itu! Besok lo pasti cantik banget kalau pakai itu." Kezia memberikan jempolnya ke arah Alula.

****

Chapter besok berati full tentang pentas musik🥰 ada yang spesial & seru banget. tungguin, ya😉🙌

Kalo kalian suka dress Kezia yang mana?

Baper deh sama kata-kata Radion ke Alula pas di rooftop☺️

Kasih vote sama spam comment buat ramein cerita ini ya bestie❤️🤟 semangatin aku juga biar bisa update rajin & cerita ini bisa sampai ending🫶

Pembaca jalur tiktok mana, nih☝️

Don't forget to check👇 :
Instagram : @cindeyaur
Tiktok : @cramelgurl

Spam comment for next chapter!🤍

With love, Cindyy<3

Continue Reading

You'll Also Like

764K 27.8K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
618K 45.7K 30
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
6.1M 261K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
ARSYAD DAYYAN By aLa

Teen Fiction

2.3M 123K 60
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...