RADION

By cindeyaur

66.5K 6K 1.8K

"Gue sekarang udah jadi ketua di sini, mau gimana pun, lo harus patuh sama gue." -Radion Geraldo. **** Radion... More

PROLOG
RADION || 01
RADION || 02
RADION || 03
RADION || 04
RADION || 05
RADION || 07
RADION || 08
RADION || 09
RADION || 10
RADION || 11
RADION || 12
RADION || 13
RADION || 14
RADION || 15
RADION || 16
RADION || 17
RADION || 18
RADION || 19
RADION || 20
RADION || 21
RADION || 22
RADION || 23
RADION || 24
RADION || 25
RADION || 26
RADION || 27
RADION || 28
RADION || 29
RADION || 30
RADION || 31
RADION || 32
RADION || 33
RADION || 34
RADION || 35
RADION || 36
RADION || 37
RADION || 38
RADION || 39
RADION || 40
RADION || 41
RADION || 42
RADION || 43
RADION || 44
RADION || 45
RADION || 46
RADION || 47
RADION || 48
RADION || 49
RADION || 50
RADION || 51
RADION || 52
RADION || 53
RADION || 54
RADION || 55
RADION || 56
RADION || 57

RADION || 06

1.7K 172 86
By cindeyaur

"Radion, boleh minta instagramnya?" Radion mengumpat dalam hati ketika ada dua orang perempuan yang menghadang jalannya. Padahal Radion baru saja keluar dari toilet laki-laki.

"Iya, sama sekalian follback boleh?" Tanya perempuan yang satunya lagi.

"Instagram gue lagi gue non aktif. Jadi untuk sekarang, gue nggak main sosmed," jawab Radion dengan nada pelan.

"Yah, kenapa di non aktif?" Kedua perempuan itu langsung menghembuskan nafasnya kecewa.

"Lagi males aja main sosmed."

"Ya udah, kalau gitu minta foto aja boleh?"

Radion menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Sorry, lain kali aja, ya? Gue mau buru-buru ke kelas soalnya. Nanti kalau instagram gue udah gue aktifin, gue kasih tahu lo berdua."

"Seriusan?!" Radion mengangguk. Cowok itu hanya merasa tidak enak kepada mereka. Mau bagaimana pun, Radion harus tetap bersikap baik kepada siapa pun.

"Nama lo berdua? Kelas mana?"

"Gue Paula, ini Bean. Kita kelas dua belas ips lima."

Radion mengangguk. "Oke Paula, Bean. Kalau gitu gue pergi dulu, ya!"

Paula dan Bean pun tersenyum kegirangan sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah Radion.

Tak beberapa lama Radion menyusuri koridor untuk sampai ke kelasnya, cowok itu lagi-lagi harus berhadapan dengan ketua Blidvinter yang sangat menyebalkan. Abimanyu.

Kali ini cowok itu tidak membawa pasukan di belakangnya. Cowok itu hanya bersama kedua temannya.

"Kebetulan nih ketemu lo di sini," sapanya—menghentikan langkahnya.

Radion mendengus. "Mau apa?"

"Santai, Rad! Gue nggak mau apa-apa, kok. Gue sama temen gue cuma mau lewat. Lo nggak perlu khawatir bakal gue tawarin buat join Blidvinter lagi."

"Bagus, lah. Kalau lo masih aja nawarin, lo udah tahu jawabannya, kan?"

"Lo nggak akan mau masuk ke Blidvinter. Gue tahu itu, kok."

Abimanyu menepuk pundak Radion pelan. "Tapi, lo inget kan waktu itu gue bilang apa?"

"Gue bakal tempur sama Camelion si geng cemen itu. Gue harap sih lo lihat. Lebih tepatnya, lihat kemenangan gue nanti. Kalau lo mau lihat, lokasinya ada di daerah deket sekolah. Nggak jauh, kok."

"Inget, jangan kaget kalau Blidvinter yang bakal menang!"

"Kayaknya lo percaya diri banget bakal menang," desis Radion.

"Jelas. Karena mereka sekarang udah lemah. Lo tahu sendiri kan berita Brandon, ketua Camelion yang tiba-tiba aja pindah ke Jepang dan ninggalin Camelion gitu aja?"

"Terus, geng lo bisa menang kalau mereka nggak ada ketua? Berati sebelumnya geng lo kalah terus, dong?"

Abimanyu menggertakkan giginya kesal. Radion berani menjatuhkannya. Bukan hanya menjatuhkan dirinya, tetapi Blidvinter juga.

Radion mengangkat satu alisnya. "Kenapa? Bener, ya?"

"Awas lo! Gue bakal buktiin, bahwa besok mading sekolah bakal ramai tentang kekalahan Camelion," tunjuk Abimanyu.

Cowok bengis itu lalu mengajak kedua temannya untuk meninggalkan Radion. Tentu saja dengan perasaan yang kesal.

"Ngapain lo sama dia?" Lagi-lagi langkah Radion terhenti karena kedatangan Raiden di hadapannya.

"Lo kenal sama dia?"

"Pengen tahu banget lo," kekeh Radion sambil berjalan meninggalkan Raiden.

Sedangkan cowok itu hanya mendengus melihatnya.

****

Seperti biasa, Radion masih duduk di bangkunya padahal bel pulang sekolah sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Kelas juga sudah sepi dan tidak ada yang piket kelas. Ketua kelas di sini memang sangat malas. Sepertinya hanya terpaksa menjadi ketua kelas.

"Den, gimana?" Tanya Zean yang sudah siap-siap. Cowok itu kali ini tengah duduk di atas meja dengan baju seragam yang di buka—menunjukkan kaos hitam yang dipakainya.

"Langsung ke basecamp aja. Pasti mereka yang bakal nyamperin kita duluan, kayak kemarin-kemarin. Pokoknya siap-siap aja kayak yang gue bilang kemarin. Jangan lupa sama pesan-pesan gue," ujar Raiden sambil bangkit dari kursinya.

"Ada yang takut di sini? "

"Wah, tentu tidak, dong. Gue maju paling depan!" Galen menepuk-nepuk dadanya sendiri.

"Halah, lo aja posisinya di paling belakang, Len."

"Jangan meremehkan gue lo, Ze!" Galen mendengus.

"Lo yakin mereka bakal nyerang hari ini? Dari tadi pagi kita belum ketemu mereka. Mereka juga nggak nunjukin mau nyerang kita."

Raiden menatap Arlan. "Gue yakin, mereka bakal nyerang sekarang. Udah, lo suruh anak-anak ke basecamp aja sekarang! Nanti, sebelum mereka nyerang, jangan lupa lo liatin siapa aja yang nggak dateng."

"Mereka udah pada ngumpul katanya di grup," beritahu Daplo sambil menatap ponselnya.

"Bagus. Kalau gitu kita ke sana sekarang!" Ke-lima lelaki dengan pakaian berantakan itu pun sama-sama pergi meninggalkan kelas. Menyisakan Radion sendirian di sana.

Beberapa menit kemudian, Radion mengangkat kepalanya. Cowok itu sedari tadi hanya meletakkan kepalanya di atas meja—tidak tidur. Cowok itu bisa mendengar apa yang di ucapkan oleh anggota inti Camelion.

Rupanya benar, bahwa Blidvinter akan menyerang Camelion.

Dengan cepat, Radion langsung menyambar tasnya. Pergi keluar dari kelas menuju arah parkiran sekolah sebelum anggota inti Camelion pergi jauh.

Untungnya cowok itu masih bisa menangkap seorang lelaki bermotor besar merah yang sepertinya bernama Galen. Cowok itu sedang mengobrol dengan pak satpam.

Radion tidak ingin berlama-lama. Cowok itu memakai helmnya lalu menaiki motornya. Mengikuti motor Galen dari belakang dengan pelan. Supaya tidak ketahuan.

Radion berhenti ketika mendapati motor Galen berhenti juga di depan sebuah rumah. Di depannya ada banyak sekali motor terparkir dan juga banner besar bergambar serigala hitam.

Cowok itu melepaskan helmnya. Menatap Raiden di sana yang terlihat sedang mengobrol serius dengan Arlan. Sekarang Radion tahu, bahwa ini adalah markas Camelion.

"Jangan ada yang bawa senjata," kata Raiden.

"Siapa aja yang nggak ada? Blidvinter pasti bawa semua pasukannya."

"Yang nggak ada sepuluh orang, Den. Gue juga nggak tahu kenapa. Nama-namanya udah gue kirim ke lo," jawab Arlan.

"Oke. Biarin aja."

"Den, boleh makan dulu nggak di warung seberang?" Zean dan Galen keluar dari markas sambil memakai jaket hitam bertuliskan Camelion.

"Ada-ada aja lo berdua. Kalau lo di jegat sama mereka di sana gimana?" Dengus Arlan.

"Ya kan harus bertenaga dulu buat nonjok-nonjok orang. Lagian juga biasanya Blidvinter datengnya lama, kok."

"Nggak ada! Masuk lo pada!" Mereka berdua langsung bungkam mendapat tatapan tajam dari Raiden.

"Cari masalah mulu sih lo," sindir Arlan. Sejujurnya cowok itu ingin tertawa sekarang juga. Tetapi bisa-bisa dirinya kena amuk Raiden juga.

BRUKKK!!!

Baik Raiden, Arlan, Zean, dan Galen yang sedang berada di luar markas terkejut menemukan suara gaduh dari arah parkiran mereka.

Raiden menggertakkan giginya kesal ketika melihat motor salah satu anggota mereka terjatuh. Lebih tepatnya ada seseorang yang mengumpat di sana yang membuat motor itu jatuh.

"Bawa ke sini, Lan!"

Dengan cepat, Arlan menarik cowok itu keluar. Arlan berdecak ketika melihat sebuah gelang yang dipakai cowok itu. Gelang yang sangat familiar.

"Ngapain lo? Dasar mata-mata." Cowok itu lalu di ambil alih oleh Zean dan Galen yang menahannya dengan kuat. Sedangkan Raiden dan Arlan berdiri di hadapannya dengan tatapan mengintimidasi.

"Mana geng lo? Ngaret banget," tanya Raiden sambil menatap ke sekitar.

"Jawab!" Bentak Arlan.

"Nggak ngaret, kok. Kita dateng tepat waktu."

"Awas, Den!"

BUKKK!!!

"Akh." Raiden meringis ketika bajunya di tarik dari belakang lalu dirinya mendapatkan bogeman mentah dari Abimanyu.

Entah sejak kapan Abimanyu dan anggotanya sudah masuk ke dalam kawasannya.

"WOI! KELUAR LO SEMUA!" Zean berteriak kepada anggota Camelion lain yang masih ada di dalam. Mereka lalu keluar di ikuti Daplo.

"Maju lo!" Arlan menarik kerah salah satu anggota Camelion. Membawanya ke pojok, lalu menghajarnya habis-habisan.

"Woi, Cakra! Lo lupa? Lo berhadapan sama gue," teriak Zean memanggil Cakra yang malah berhadapan dengan Galen.

"Len, lo urusin yang lain aja!"

"Anggota lo sedikit banget. Yakin bakal menang kali ini?" Bisik Abimanyu di tengah-tengah perkelahian mereka.

"Berisik lo!" Jujur, Raiden juga meragukan anggotanya. Karena anggota Camelion dan Blidvinter sangat berbanding jauh dari segi jumlah. Anggota mereka sangat banyak. Bahkan ada yang tidak pernah Raiden lihat sebelumnya. Daplo dan Arlan saja sekarang sedang menghadapi dua mangsa sekaligus.

"Gue tahu lo curang. Lo bawa siapa? Preman-preman bayaran lo?" Raiden menangkis pukulan dari Abimanyu.

"Bukan curang, tapi cerdas. Makanya pakai otak lo."

"Bajingan!"

BUKKK!!!

Abimanyu berhasil mendapatkan bogeman di bagian pipi dari Raiden.

Abimanyu menahan Raiden dengan kuat. Menatap sekelilingnya yang benar-benar gaduh sekarang. "DENGERIN, YA! KALAU BLIDVINTER KALI INI MENANG, CAMELION HARUS NYERAHIN DIRI KE KEPALA SEKOLAH DAN BUBAR!"

Raiden mendorong Abimanyu, lalu duduk di atasnya. Menghajarnya berkali-kali di bagian pipi, dan juga rahang sampai membuat wajah cowok itu berdarah.

"Bangsat lo! Nggak akan gue biarin Blidvinter menang!"

Radion geleng-geleng kepala. Cowok itu benar-benar menyaksikan perkelahian sengit antar kedua geng yang ada di dalam satu sekolahnya. Sangat ganas.

"Mana lagi?" Tanya Daplo sambil mendorong lawannya yang sudah lemas akibat pukulannya.

"Baru beberapa pukulan aja udah nggak kuat."

Radion terkejut ketika mendapati perkelahian di hadapannya yang kian lama kian berantakan. Bahkan ia melihat Raiden yang di pukul berkali-kali oleh Abimanyu. Beberapa anggota Camelion lain juga banyak yang tersingkirkan dengan luka-luka lebam.

"Kenapa jadi kayak gini?" Gumam Radion sambil turun dari motornya. Cowok itu membuka kancing seragamnya lalu meletakkan seragamnya di atas tangki motornya. Kali ini cowok itu hanya berbalut kaos hitam polos.

"Sedikit lagi lo bakal kalah! Mana kekuatan lo, wakil Camelion?! Apa lo mau menyatakan kekalahan lo sekarang?" Abimanyu menahan lengan Raiden—tidak membiarkan cowok itu lepas darinya.

"Jangan harap." Raiden mencoba melepaskan diri dari Abimanyu, tetapi hasilnya nihil.

Cowok itu menatap teman-temannya yang kali ini sudah tersungkur, kecuali Arlan dan Daplo yang masih serius melawan dua orang yang sangat kuat di Blidvinter.

Raiden tidak akan menyerah begitu saja. Camelion tidak boleh kalah dari Blidvinter.

"Minggir lo!"

BUKKK!!!

"Rad?!" Raiden tersungkur dengan tatapan bingung—melihat Radion yang tiba-tiba saja datang bak pahlawan yang menolongnya.

"Lo ngapain, hah?!" Tanya Abimanyu yang juga sama bingungnya dengan Raiden.

Arlan, Daplo, Zean, dan Galen yang ikut melihat Radion ada di sini pun terkejut. Terlebih lagi ketika melihat Radion membantu Camelion.

"Kenapa? Lo takut lawan gue? Sini, lawan!"

"Nggak ada yang takut sama lo."

"Oke. Sini, lawan gue!"

Semua yang ada di sana tidak percaya bahwa Radion ternyata sangat jago dalam hal seperti ini. Buktinya, cowok itu dapat membuat Abimanyu kalap dalam waktu yang singkat. Abimanyu bisa di kenal sebagai orang terkuat yang ada di Blidvinter.

Setelah membuat Abimanyu kalap, Radion beralih kepada anggota-anggota Blidvinter yang lain. Cowok itu melawan mereka dengan sangat mudah. Hanya dengan beberapa pukulan, mereka sudah di buat tumbang oleh Radion.

"Gila, gue nggak nyangka dia sejago itu." Zean geleng-geleng kepala sambil memegang lukanya sendiri.

"Biasanya yang suka bikin musuh kalap lo, Dap. Tapi sekarang, lo kalah sama si Radion anak baru di kelas kita," ujar Arlan malah menggosip. Sedangkan Daplo hanya diam saja melihatnya.

"Ngapain sih pakai nolongin segala?"

"Bagus lah, Len. Karena ada dia, musuh-musuh pada tumbang. Gue nggak tahu kenapa hari ini kita kayaknya lemah banget."

"Lo kalah sekarang!" Radion menarik kerah baju Abimanyu sampai cowok itu di buat berhadapan dengannya.

"Lo ngapain tiba-tiba bantuin Camelion? Ada hubungan apa lo sama mereka?" Tanya Abimanyu sambil menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya.

"Nggak ada hubungan apa-apa. Tapi yang jelas, lo terbukti kalah sekarang! Ternyata Blidvinter yang nggak ada apa-apanya."

Abimanyu mendesis. "Lo pasti udah gabung ke mereka, kan?"

"Udah gabung belum, ya?" Radion pura-pura berfikir.

"Anjing lo! Gue juga nggak butuh anggota kayak lo! Lupain aja ajakan gue yang kemarin buat lo join ke Blidvinter!"

Radion terkekeh. "Oke. Terserah lo aja, ketua Blidvinter yang terhormat."

"Buat lo pada! Hari ini lo hoki! Besok-besok, gue bakal pastiin Camelion kalah dari Blidvinter," tunjuk Abimanyu ke arah Raiden, Arlan, Zean, Galen, Daplo, dan anak-anak Camelion lain di belakang.

"Cabut!" Cowok itu dengan anggota-anggotanya lalu pergi meninggalkan markas Camelion dengan kekalahan mereka.

****

"Bang, mau gue obatin luka lo? Itu ada luka di deket dahi lo, Bang." Seorang adik kelas lelaki menghampiri Radion yang tengah duduk di bangku teras markas Camelion.

Setelah selesai dengan aksi perkelahian, Raiden mempersilahkan Radion untuk masuk terlebih dahulu ke dalam markas mereka. Sekalian Raiden ingin menanyakan apa maksud tujuan Radion yang tiba-tiba membantu Camelion.

"Nggak usah, Bro. Santai aja! Mending obatin yang lain yang lukanya lebih parah!" Radion tersenyum singkat sambil mengelap keringatnya.

"Serius, Bang?" Radion mengangguk.

"Ya udah kalau gitu, Bang. Ini, di minum ya, Bang!"

Radion menerima botol air minuman dingin dari lelaki di depannya dengan senang hati. "Thanks, ya!"

"Lo kenapa bisa sampai ke sini? Tahu dari mana markas Camelion?" Setelah lelaki itu pergi, datang lah Raiden yang sudah berganti baju.

"Gue ikutin lo pada."

"Ikutin?" Raiden mengernyit.

"Luka lo gimana? Udah di obatin?" Radion mengalihkan pembicaraan.

"Udah."

"Lain kali jangan terlalu brutal di awal. Nanti takut akhirnya lo malah lemah dan kalah. Kayak tadi," gumam Radion.

"Biasanya juga menang. Dengan strategi yang sama pula. Mereka aja yang bawa preman-preman bayaran. Gue tahu betul mereka bukan bagian dari Blidvinter."

"Gue udah feeling sih gimana Blidvinter itu. Kayak ada yang janggal setiap gue lihat salah satu dari mereka. Auranya beda."

"Lo tahu dari mana? Emangnya sering ketemu mereka?"

"Ketuanya yang ngejar-ngejar gue. Beberapa kali gue di tawarin buat join ke sana." Raiden terbelalak.

"Serius lo?! Lo terima nggak?"

Radion mengangkat kedua bahunya. "Ya lo pikir aja sendiri. Kalau gue terima tawarannya, gue nggak mungkin bantuin lo sama anggota lo di sini."

Raiden mengangguk-anggukkan kepalanya—menghisap vape nya. "Bener juga. Tapi jujur, lo terlalu ikut campur masalah orang lain. Terutama ini masalah bukan cuma sama satu orang. Tapi melibatkan banyak orang. Camelion dan Blidvinter."

"I know."

"Tapi, gue sama yang lain menghargai bantuan lo. Karena lo juga, Camelion bisa menang. Gue juga nggak bisa bayangin sih kalau Camelion kalah. Si Abimanyu itu bakal nyebarin berita ke satu sekolah kalau Camelion kalah dari Blidvinter."

"Makasih, Bro! Gue kira lo nggak ada gunanya sebagai temen sebangku gue." Raiden mengulurkan tangannya ke arah Radion.

"Sama-sama." Radion tertawa sambil membalas uluran tangan Raiden.

"Jangan cabut dulu, Rad! Masuk dulu, lah! Anak-anak yang lain pasti pada mau bilang makasih sama ngobrol-ngobrol dulu sama lo."

"Boleh?"

"Santai." Raiden menepuk pundak Radion pelan. Membawa cowok itu masuk ke dalam markas Camelion menemui anggota Camelion lain yang masih sibuk mengobati luka mereka masing-masing.

Andai lo tahu, Den. Andai lo tahu bahwa gue kayak gini karena suatu alasan.

****

Esok harinya, Radion sedang berkumpul di suatu meja kantin berama Raiden, Arlan, Zean, Galen, dan Daplo. Radion juga tidak tahu kenapa mereka jadi dekat. Ini bermula dari kejadian kemarin. Sekarang saja, Raiden mengajaknya untuk bergabung makan di kantin dengannya dan teman-temannya.

Para siswa-siswi SMA Gardapati pun semakin histeris melihat Radion yang kali ini tengah bergabung di meja anggota inti Camelion. Sedangkan Blidvinter yang tengah duduk jauh dari meja Camelion, hanya bisa menatap mereka dengan sorot tatapan kebencian.

"Rad, lo mau makan apa? Biar gue traktir," tanya Raiden duduk di sebelah Radion.

"Nggak usah. Gue nggak mau makan apa-apa."

"Ya elah, Rad. Santai aja! Lo mau pesen semuanya, bakal di bayarin. Tapi di bayarinnya sama Raiden atau nggak Arlan, ya!" Kekeh Zean.

"Ya udah, gue beliin apa aja, ya?"

Radion pada akhirnya mengangguk. "Oke. Thanks, Den!"

"Den, gue sekalian, ya!" Galen langsung menahan lengan Raiden yang ingin memesan makanan.

"Lo mau apa? Capek gue beliin lo mulu. Emangnya lo nggak punya kaki buat beli?" Raiden berdecak.

"Ya elah, Den. Giliran gue aja digituin. Radion tadi nggak, tuh."

"Ya udah, mau apaan?"

"Apa aja, samain aja kayak punya lo sama Radion."

"Hm."

"Tumben lo nggak ikut-ikutan si Galen, Ze," ujar Daplo mengalihkan tatapannya dari layar ponselnya.

"Gue udah kenyang. Makan rumus-rumus fisika."

"Ngerti aja nggak lo." Daplo kembali fokus kepada kegiatannya.

"Raiden!" Semua mata di meja mereka langsung menatap ke arah sumber suara. Tepatnya Mora yang baru saja menghampiri Raiden.

Hanya Mora satu-satunya gadis yang berani se-frontal ini kepada Raiden. Banyak yang menyukai Raiden, tetapi setelah tahu bahwa sifat cowok itu yang kasar dan tak pandang bulu, membuat mereka hanya bisa mengagumi Raiden dari jauh.

"Boleh ngobrol sebentar?" Tanya gadis cantik itu ragu.

"Nggak."

"Kenapa?" Raut wajah Mora langsung berubah sedih. Raiden tidak pernah berubah. Selalu saja menjawab ucapan seseorang dengan kasar.

"Mau beli makan."

"Oh gitu, ya? Sebentar aja nggak bisa?"

"Emang mau ngomong apaan, sih?"

Arlan bangkit dari duduknya. "Udah, Den! Biar gue aja yang beli. Lo sama Mora ngomong aja dulu."

"Duduk aja, Mor! Nggak usah malu." Arlan lalu mempersilahkan.

"Makasih, Lan!"

"Dap, temenin gue beli makanan ayo!" Arlan menepuk pundak Daplo pelan yang masih serius dengan ponselnya.

"Ayo!"

Raiden pun hanya bisa mendengus pasrah lalu kembali duduk di tempatnya. Tentu saja di susul mora yang mengambil tempat duduk Arlan sebelumnya.

"Ngapain?" Raiden melirik Mora sekilas.

"Berantem lagi sama anak-anak Blidvinter? Luka lo udah di obatin belum?"

"Udah kemarin sama anak-anak."

"Mama lo marah nggak? Biasanya mama lo selalu ngomel setiap lo kayak gini. Kasian mukanya. Nanti jadi jelek, loh."

"Mama belum tahu. Kan dia lagi liburan sama temennya di Bali. Awas aja kalau lo bilang-bilang ke dia!" Raiden mendengus.

Jujur, Raiden sedikit tidak suka dengan kehadiran Mora yang notabene tetangga serta teman semasa kecilnya. Mereka sudah kenal cukup lama dan itu yang membuat Mora dekat juga dengan kedua orang tuanya. Bahkan kedua orang tuanya banyak tahu tentang dirinya dari Mora.

Kedua orang tuanya sangat menyayangi dirinya. Bahkan mereka selalu menghabiskan waktu bersama dan jarang sekali Raiden kena omel setiap melakukan sesuatu yang aneh di luar rumah. Hanya saja mamanya sedikit bawel ketika mendapati Raiden babak belur karena berantem.

"Gue bakal bilang, karena lo bandel." Mora malah menantang Raiden.

"Terserah lo aja."

"Ya elah, masih di sekolah nih, Den. Apalagi di depan gue, Zean, sama Radion. Nggak sopan." Galen menggoda mereka berdua.

Sedari tadi Radion, Zean, dan Galen hanya bisa mendengar percakapan antara Raiden dan Mora.

"Diem lo, Len! Lo mau di hantam sama Raiden?" Tanya Zean—menatap Raiden yang sudah memasang tampang tajamnya.

"Nggak, hehe."

"Btw, pulang sekolah gue boleh main ke rumah lo nggak? Pengen kasih sesuatu juga sih buat lo."

"Dateng aja. Paling gue nggak ada di rumah." Raiden menjawab dengan santai.

"Ih, jangan gitu, dong. Gue ke rumah lo kan pengen sekalian ketemu sama lo. Masa tetanggaan tapi jarang ketemu, sih?" Mora memberenggut. Mengingat kejadian beberapa waktu lalu saat dirinya datang ke rumah Raiden, tetapi ternyata cowok itu malah tidak ada di rumahnya.

Alhasil Mora malah mengobrol dengan kedua orang tua Raiden. Benar-benar memalukan dan sangat menyebalkan. Padahal saat itu Raiden sudah bilang kepadanya bahwa dirinya akan ada di rumah dan tidak ke mana-mana.

"Mau ngasih apaan? Gue baru di rumah nanti malem. Sore nggak ada. Titipin aja ke satpam atau ke bibi."

"Ya udah, gue datengnya malem aja kalau gitu. Jangan kabur, ya!" Raiden berdecak.

"Kalau gitu gue pergi dulu! Jangan lupa makan, Raiden!" Mora lalu beranjak dari sana setelah berpamitan kepada Radion, Zean, dan Galen.

"Jangan lupa makan, Raiden." Galen meledeki Raiden dengan nada bicara Mora barusan.

"Bangsat lo, Len!"

"Siapa? Cewek lo?" Tanya Radion.

"Bukan, Rad. Temen doang sama tetanggaan."

"Jangan galak-galak sama Mora, Den! Dia perhatian banget sama lo, tuh. Suka kali," ujar Zean.

"Mana ada, Ze. Dia cuma sok care sama gue. Dari dulu masih bocah juga kayak gitu sifatnya. Lebay dan gue nggak suka."

"Tapi dia cantik banget, Den. Kan dia pernah jadi putri sekolah. Lo harusnya seneng bisa deket sama cewek secantik Mora. Mukanya kayak model gila," puji Galen.

"Mamanya dia juga model, kan?"

"Oh, iya! Baru inget gue kalau mamanya si Mora juga model. Waktu itu kayaknya gue pernah lihat pas pengambilan rapot. Badannya kurus, cakep banget. Nggak heran kalau anaknya juga cakep."

"Ya udah, lo gebet aja, Len." Zean menepuk bahu Galen pelan.

"Nggak, lah. Siapa tahu si Raiden nanti demen sama Mora. Kalau gue gebet sekarang, Mora udah pasti mau sama gue. Nanti Mora pacarannya sama gue lagi."

"Pede lo, Len," dengus Raiden.

"Kenapa? Cemburu mah bilang, Den."

"Sialan lo!"

"Ah, iya! Gue lupa nanya sama Mora, si Archa ke mana." Zean tiba-tiba saja menepuk dahinya pelan.

"Abisnya tadi si Mora langsung kabur."

"Emangnya Archa nggak marah sama lo tentang kemarin, Ze?"

"Dia cuma kecewa aja, sih. Tapi gue udah janji, nanti minggu gue bakal jalan sama dia."

"Terus sama Nara gimana?"

"Sama Nara nggak tahu, deh. Masalahnya Nara selalu nggak mau setiap gue ajak jalan. Ngeselin banget emang tuh cewek."

"Kenapa lo nggak ajak mereka jalan di waktu yang sama aja? Kan nanti keren kalau lo jalan bawa dua cewek," kekeh Galen. Merasa idenya sangat brilian.

"Keren dari mana? Bisa-bisa gue jadi bahan gosip punya dua cewek."

"Emang kenyataannya gitu, kan? Lo aja masih nggak tahu lebih suka sama Archa atau Nara."

Radion yang sedari tadi mendengar itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia tidak tahu bahwa kisah percintaan anggota inti Camelion sampai ada yang separah ini. Apalagi Zean. Lelaki itu menyukai dua perempuan sekaligus?

"Zean emang rada-rada, Rad. Paling labil. Ceweknya aja ada dua," beritahu Raiden.

Tak beberapa lama seorang perempuan dengan pakaian seragam ketat berjalan melewati meja mereka.

Perempuan yang di kenal anak kelas sebelas itu menatap mereka berempat dengan tatapan genit dan menggoda. Tak jarang banyak perempuan yang cari perhatian kepada mereka.

"Sial, mata gue ternodai. Gue masih demen sama Archa sama Nara. Gue nggak akan oleng!" Zean mengalihkan tatapannya dengan cepat sedangkan Radion dan Raiden sama sekali tidak peduli.

"Nggak usah sok cantik lo!" Perempuan itu berhenti seketika. Menatap Galen dengan satu alis yang terangkat.

"Btw, instagram lo apa?"

"Yeh! Emang udah dasarnya lo nggak bisa lihat yang cakep-cakep dikit. Sekalinya cakep, langsung minta instagram." Zean menoyor kepala Galen keras.

"Suka-suka gue."

"Boleh mutualan nggak?" Galen kembali menatap perempuan itu yang sekaligus menjadi adik kelasnya.

Perempuan itu sontak tersenyum lebar. Menghampiri Galen. "Boleh kok, Kak."

"Nah, mantap. Nih, tulis sendiri, ya!" Galen langsung memberikan ponselnya dengan cepat.

****

TOK...TOK...TOK!!!

Mora tersenyum lebar ketika mendapati Raiden membuka pintu rumahnya.

"Hai, Den! Tumben lo yang bukain. Biasanya kan bibi."

"Kebetulan gue tadi lagi di dapur. Bibi juga lagi keluar sebentar."

"Ngapain di dapur? Emangnya lo bisa masak?"

"Nyari makanan. Tapi gue sama sekali nggak nemu apa-apa. Bibi kenapa nggak nyetok makanan, sih?" Dengus Raiden.

"Lo laper, kan? Kebetulan gue bawa cemilan buat lo."

"Apaan?" Raiden menatap sebuah kantung plastik yang ada di tangan Mora.

"Bolu pandan! Lo suka pandan, kan? Ini gue bikin sendiri tau." Mora menunjukkan bolu pandan yang dibuatnya.

"Gue juga bisa beli sendiri."

"Gue bikin, bukan beli."

"Enakan juga beli, udah pasti enak. Kalau lo yang bikin, belum tentu enak, kan?"

Kata-kata Raiden sedikit menusuk hati Mora. Apakah cowok itu meremehkan Mora?

"Cobain dulu, baru lo boleh nilai bolu buatan gue."

"Gue nggak di suruh masuk, nih?" Mora melirik Raiden.

"Buat apa? Rumah lo kan ada di depan, pake numpang ke rumah gue segala. Kan lo bilang, cuma mau kasih sesuatu, bukan mau mampir masuk."

"Gue mau lihat reaksi lo pas makan bolu buatan gue. Abis itu gue langsung pulang, kok."

"Reaksi gue bakal tetep datar, walaupun bolu lo lebih enak dari pada bolu-bolu lain."

"Minggir! Pokoknya gue mau masuk!" Mora menerobos tubuh Raiden masuk ke dalam rumah cowok itu.

"Woi! Lo belum dapet izin dari tuan rumah!"

"Bodo amat!"

Raiden mendengus ketika sudah melihat Mora duduk di ruang tamu rumahnya sambil membuka bolu pandan buatannya sendiri.

****

Gimana pas baca chapter ini? Apalagi yang pas Radion nolongin anak-anak Camelion. Kira-kira kedepannya bakal kayak gimana, ya🤔

Siapa yang dukung keras Raiden sama Mora? Angkat kaki! Raiden nih sama kayak Arlan yang anti banget sama cewek.

Maaf ya jeda update sama yang kemarin tuh jauh banget harinya. Hampir seminggu gitu deh kayaknya. Soalnya aku belum sempet revisi lagi. Kemarin sibuk tahun baruan🤭😭

Jangan lupa pencet tombol bintang di pojok kiri bawah‼️🙌 ramein juga di setiap paragraf biar aku semangat nulis & cepet update nya😍

Dont forget to check 👇 :
Instagram : @cindeyaur
Tiktok         : @cramelgurl

Introducing : Arlan Richardo🥵

Introducing : Daplo Sanjaya😎

Gimana visualnya? Coba pilih kesukaan kalian🤪

Untuk visual yang cewek-cewek dan tokoh lainnya, menyusul ya bestie🤩

Thank u so much yang udah baca chapter ini dan kasih vote, see u di next chapter temen-temen ku❤️‍🔥💓🖤

With love, Cindyy<3

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.1M 244K 30
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
6.4M 179K 57
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
3.2M 263K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
623K 50K 29
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...