RADION

Galing kay cindeyaur

66.6K 6K 1.8K

"Gue sekarang udah jadi ketua di sini, mau gimana pun, lo harus patuh sama gue." -Radion Geraldo. **** Radion... Higit pa

PROLOG
RADION || 01
RADION || 02
RADION || 03
RADION || 04
RADION || 06
RADION || 07
RADION || 08
RADION || 09
RADION || 10
RADION || 11
RADION || 12
RADION || 13
RADION || 14
RADION || 15
RADION || 16
RADION || 17
RADION || 18
RADION || 19
RADION || 20
RADION || 21
RADION || 22
RADION || 23
RADION || 24
RADION || 25
RADION || 26
RADION || 27
RADION || 28
RADION || 29
RADION || 30
RADION || 31
RADION || 32
RADION || 33
RADION || 34
RADION || 35
RADION || 36
RADION || 37
RADION || 38
RADION || 39
RADION || 40
RADION || 41
RADION || 42
RADION || 43
RADION || 44
RADION || 45
RADION || 46
RADION || 47
RADION || 48
RADION || 49
RADION || 50
RADION || 51
RADION || 52
RADION || 53
RADION || 54
RADION || 55
RADION || 56
RADION || 57

RADION || 05

2K 197 93
Galing kay cindeyaur

Alula pulang ke rumah pukul setengah empat sore. Alula selalu langsung pulang setelah bel pulang sekolah berbunyi. Kecuali jika Alula ada kegiatan ekskul di sekolahnya, ia akan pulang lebih lambat.

Alula masuk ke dalam rumahnya. Rumah yang bisa dikatakan tidak mewah dan biasa saja. Tidak bertingkat pula.

Seperti biasa, setelah masuk ke dalam rumahnya, Alula pasti selalu masuk ke dalam kamarnya untuk bersih-bersih dan setelah itu mengerjakan pekerjaan rumah.

Alula bahkan tidak pernah merasakan pergi bersama saat pulang sekolah bersama teman-teman. Ia tidak memiliki teman. Bahkan satupun. Mungkin dulu ada, tetapi banyak yang mendadak menjauhinya semenjak ia di ganggu oleh perkumpulan Camelion itu.

Jika di tanya, Alula capek terus-terusan di ganggu oleh mereka. Mungkin tidak punya teman di sekolah bukan masalah yang besar bagi Alula. Masalahnya ada pada saat dirinya selalu di ganggu oleh ke-lima lelaki di sekolahnya. Terlebih lagi, ke-lima lelaki itu adalah pentolan sekolah yang ditakuti.

"Radion." Alula tersenyum setelah meletakkan tasnya di kursi belajarnya. Gadis itu menguncir rambutnya. Merubah penampilan dirinya yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari yang orang-orang lihat.

"Lo orang pertama yang udah nolongin gue."

Hanya di rumah Alula bisa bebas. Gadis itu menyembunyikan semuanya. Alula tidak lemah. Alula tidak lemah seperti yang orang-orang lihat di sekolah. Alula bisa saja melakukan yang lebih kepada mereka yang sudah mengganggunya.

Tetapi Alula tidak bisa. Ia tidak bisa menunjukkannya kepada orang lain. Alula harus menyimpannya. Entahlah, dirinya juga tidak tahu sampai kapan ia akan menyimpannya. Menyimpan sesuatu yang besar yang ada di dalam dirinya.

Mata Alula berubah menjadi sendu ketika melihat foto di atas meja belajarnya. Gadis itu lalu mengambil foto pertama. Foto di mana di sana ada seorang pria dan wanita. Sepasang kekasih.

"Ayah, bunda."

Alula tersenyum sedih menatap foto kedua orang tuanya. "Bunda pergi pas Alula lahir ke bumi. Bahkan Alula nggak sempet lihat wajah bunda. Cuma dari foto yang di kasih ayah."

"Alula pengen cerita-cerita sama bunda. Cerita tentang sekolah Alula, cerita tentang cita-cita Alula. Alula juga mau jalan-jalan sama bunda, dan bercanda bareng bunda."

"Tapi sekarang nggak ada bunda. Dari dulu Alula nggak pernah ngerasain kasih sayang bunda. Kalau sekarang bunda masih ada, pasti Alula lagi ngajak ngobrol bunda."

Tatapan mata Alula beralih ke arah seorang pria di sebelah bundanya. Iya, itu adalah ayahnya.

"Ayah. Kalau inget kejadian pas ayah kecelakaan, Alula sedih banget. Waktu itu Alula masih SD. Alula udah kehilangan bunda sama ayah."

"Dulu ayah selalu anter Alula ke sekolah, terus pas pulangnya jajanin Alula makanan. Mungkin sekarang kalau ayah masih ada, Alula berangkat dan pulang sekolah bareng ayah."

"Tapi Alula sekarang apa-apa sendiri, yah. Ayah juga selalu masakin Alula makan, tapi sekarang, Alula harus masak sendiri. Ayah juga suka beliin Alula hadiah setiap pulang kerja, terus nemenin Alula sampai tidur. Sekarang, sebelum tidur Alula suka kepikiran sama ayah bunda. Kadang nangis juga gara-gara kangen."

Alula meletakkan foto tersebut kembali ke tempatnya. "Alula sayang ayah sama bunda. Doain Alula semoga kuat kedepannya. Alula nggak putus asa gitu aja. Alula pengen hidup seneng pas besar. Alula pengen beli rumah bagus dan bantu orang-orang yang kesusahan."

Kali ini tangan Alula terulur ke bingkai foto yang satunya lagi. Sama seperti sebelumnya. Di sana ada seorang pria dan wanita yang tengah tersenyum lebar.

"Pa, ma, Alula kangen juga sama kalian. Mau gimana pun, kalian yang udah rawat Alula semenjak ayah nggak ada. Papa dan mama adalah om dan tante terbaik Alula. Alula sayang banget sama kalian."

"Mungkin udah takdirnya papa sama mama meninggal gara-gara sakit. Papa kayak ayah aku sendiri yang suka anter ke sekolah dan beliin barang-barang yang aku mau. Mama juga yang selama ini suka dengerin curhatan aku. Mama tahu banyak tentang aku. Tapi sekarang, aku udah nggak bisa curhat ke siapa-siapa lagi." Alula tertawa sedih.

"Makasih udah rawat Alula. Alula pengen banget buktiin ke papa sama mama nanti, bahwa Alula bakal sukses. Tapi sekarang, papa sama mama aja udah ninggalin Alula."

"Tapi, semoga papa sama mama bisa lihat Alula sukses ya dari sana?"

"Cuma kalian yang tahu betul gimana Alula selama ini. Sekarang, Alula udah berubah. Alula nggak kayak dulu yang tomboi dan jago bela diri. Alula kangen belajar bela diri. Tapi sekarang, Alula jadi lemah banget di sekolah. Bela diri yang Alula punya sekarang udah nggak berguna. Kalau ada yang ganggu Alula, Alula cuma bisa diem. Harusnya kan Alula ngelawan mereka." Alula menatap sedih foto dirinya dengan pakaian bela dirinya.

Ya, dulu Alula melakukan banyak hal yang ia senangi. Rata-rata Alula menyukai hal yang menantang dan membuat tubuhnya banyak bergerak.

Tetapi sekarang, Alula terpaksa harus meninggalkan semua itu dan melakukan hal yang baru. Membaca, bermain musik, dan belajar. Benar-benar membosankan. Alula ingin melakukan kegiatannya yang dulu.

Alula ingin kembali ke masa yang dulu. Masa di mana kehidupannya belum serumit sekarang dan belum berubah seperti sekarang.

"Ayah, bunda, papa, mama. Maafin Alula kalau sekarang Alula jadi kelihatan lemah. Alula kayak gini juga karena suatu alasan. Karena Alula udah sendirian dan nggak punya siapa-siapa. Alula nggak tahu apakah nanti Alula bakal kembali ke sifat Alula yang dulu, atau bakal kayak gini seterusnya. Gimana pun sifat Alula nanti, Alula bakal berusaha keras buat diri Alula sendiri."

Alula berjalan mengambil handuknya. Bergegas untuk segera mandi dan setelah itu mengerjakakan tugas-tugasnya yang lumayan banyak hari ini.

****

Siang yang terik ini, kelas Alula sedang ada jam pelajaran olahraga. Materi olahraga kali ini adalah lari cepat yang di ajarkan oleh guru olahraga mereka, Pak Rio.

Alula baru saja selesai praktik lari cepat. Pak Rio bilang, bahwa yang sudah melakukan lari cepat boleh minum dan beristirahat sambil menunggu yang lain selesai.

Alula berjalan menuju pinggir lapangan. Ia meletakkan botol air minumnya di sana. Alula sangat kelelahan dan butuh air yang banyak. Nafasnya juga tidak beraturan sehabis berlari.

"Loh, botol aku ke mana, ya? Perasaan tadi aku taruh di sini." Alula mengelap keringatnya ketika tidak mendapati botol air minumnya di tempatnya. Jelas-jelas tadi Alula membawanya saat ke lapangan.

"Mana haus banget lagi. Mau ke kantin, tapi males."

"Nyari ini lo?" Alula mendongak kaget ketika melihat Zean dan Arlan yang tengah mengumpat di pilar sekolah. Lebih kagetnya lagi, Zean tengah memegang botol air minumnya. Kenapa bisa ada di tangan cowok itu?

Tak beberapa lama, Raiden, Daplo, dan Galen pun muncul dari belakang mereka.

"Kasian tuh, Ze. Dia kehausan," kata Galen.

"Stress lo?" Raiden menjitak kepala Galen pelan.

"Nggak, Den. Maksud gue ngerjainnya nggak seru banget, sih. Masa cuma ngambil botol minumnya si Alula doang?Beliin makanan kayak kemarin, kek. Gue laper." Jawaban Galen diabaikan oleh Raiden.

"K–kok bisa ada di kamu, Zean?" Alula berjalan mendekati Zean. Berusaha mengambil botol air minumnya, tetapi Zean malah menjauhkannya.

"Eits, mauan!" Alula mengernyit.

"I–itu kan botol minum aku, Zean. Aku mau minum."

"Terus kalau lo mau minum kenapa? Bukan urusan gue juga, kan?"

"Iya bukan urusan kamu. Jadi balikin, ya?"

"Eits!" Zean kembali menjauhkan botol air minum Alula—membuat teman-teman di belakangnya tertawa.

"Aduh, gue haus, nih." Raiden berceletuk sambil mengibas-ngibaskan seragam sekolahnya.

"Nah, kebetulan nih, Den. Lo kan haus siang-siang kayak gini. Nih, minum aja airnya!" Zean menyodorkan botol minuman Alula kepada Raiden.

Mata Alula terbelalak ketika melihat Raiden menerima botol itu dari tangan Zean.

"Makasih, Ze. Gue abisin boleh, ya?"

"Boleh banget, Den. Abisin aja, santai." Zean tertawa.

Raiden lalu membuka tutup botol tersebut. Meneguknya dengan rakus—seolah-olah kehausan.

Alula meneguk ludahnya. "J–jangan di habisin ya, Raiden! Aku mau minum juga."

"Yah, maaf, Alula. Tapi ini udah habis sama gue." Raiden mengangkat botol minumnya yang kali ini sudah kosong.

"Nih, gue balikin." Alula menatap nanar botol air minumnya yang kini sudah habis tidak tersisa. Hanya masalah kecil, tetapi entah kenapa Alula merasa sangat sedih.

"Thanks, ya! Berkat lo, tenggorokan gue udah nggak kering."

"Jangan lebay, dong. Tinggal beli air yang baru aja di kantin. Nggak usah nangis," ucap Arlan melihat mimik wajah Alula yang terlihat sedang menahan tangis.

"A–aku nggak nangis, kok."

"Nah, bagus. Jangan jadi cewek cengeng. Nanti nggak ada yang sukain lo."

"Lo nggak cengeng kayak gini aja nggak ada yang sukain lo. Apalagi kalau lo cengeng?" Zean tertawa miring.

"Cowok culun di sekolah ini pun kayaknya nggak ada yang mau sama lo, deh."

"Kalau ngomong suka bener lo, Dap." Raiden merangkul Daplo pelan sambil tertawa.

"Woi, lo pada ngapain di sini? Hari ini kelas kita nggak ada jam olahraga."
Alula serta yang lain sama-sama menoleh ke arah sumber suara.

Mereka terkejut ketika menemukan Radion yang tengah berjalan menuju tempat mereka berdiri.

Radion sedari tadi melihat semuanya. Ia mulai curiga ketika melihat Raiden dan teman-temannya yang pergi ke luar kelas sebelum guru masuk. Karena penasaran, Radion pun mengikuti mereka. Benar saja, ternyata mereka kembali mengganggu Alula.

Entah kenapa, Radion tidak bisa diam saja untuk kedua kalinya.

"Lo sendiri ngapain di sini, Bro?" Tanya Raiden.

"Nggak usah gangguin Alula!" Radion menarik tangan Alula pelan untuk mendekat ke arahnya.

Alula mendongak—menatap Radion dengan tatapan penuh tanda tanya.

"Udah tahu namanya lo? Apa jangan-jangan lo demen sama nih cewek?"

"Mending lo pada cabut!" Radion mengabaikan pertanyaan Arlan.

"Lo siapa nyuruh-nyuruh gue? Gue belum puas ngerjain nih cewek. Lo aja sana yang pergi!"

"Jangan berani-berani lo sama anak Camelion, kalau nggak mau berurusan sama kita!"

Radion tertawa singkat. "Gue nggak takut sama anak-anak Camelion."

Raiden, Arlan, Zean, Galen, dan Daplo langsung menatap Radion dengan tatapan tajamnya. Sebelumnya tidak pernah ada yang seberani ini kepada mereka—anggota inti Camelion. Radion, anak baru itu benar-benar sangat berani.

"Gaya juga ya lo? Untung lo anaknya temen bokap gue."

"Emang kenapa kalau gue anaknya temen bokap lo?" Tanya Radion menatap Raiden.

"Takut lo di marahin sama bokap lo?"

"Ya kali," kekeh Raiden.

"RAIDEN, ARLAN, ZEAN, GALEN, DAPLO! KALIAN NGAPAIN DI SANA? BOLOS, HAH?!" Suara Pak Rio dari tengah lapangan menginterupsi mereka.

"KALAU KALIAN BOLOS, SAYA LAPORKAN KALIAN KE KEPALA SEKOLAH!"

"KITA NGGAK BOLOS, PAK!" Raiden berdecak.

"KALAU GITU, CEPAT MASUK KE KELAS KALIAN!" Raiden dan yang lainnya sama-sama mendengus. Tadinya mereka ingin langsung bolos ke kantin. Karena ada Radion, mereka jadi ketahuan oleh Pak Rio.

"Gara-gara lo, Rad!" Arlan memberikan jari tengahnya kepada Radion sebelum cowok itu berjalan kembali menuju kelas bersama teman-temannya.

"Pergi lo!"

"Woi, itu dia ngapain masih di sana? Dia juga harusnya masuk ke kelas, dong. Dia kan sekelas sama kita." Galen kembali menoleh ke belakang—tepatnya ke arah Radion dan Alula yang masih berdiri di pinggir lapangan.

"Udah, Len! Yang penting kita udah ngerjain tuh cewek. Nanti biar si Radion di kasih pelajaran sama si Raiden. Dari pada kita di panggil kepala sekolah. Bokap nyokap gue udah pusing punya anak kayak gue." Zean menarik Galen dengan cepat.

"Gue aja yang jadi temen lo pusing, Ze. Apalagi bokap nyokap lo, ya?"

"Kenapa sih lo nggak lapor Pak Rio? Dia jahil banget udah minum air lo." Radion menatap Alula ketika Raiden dan teman-temannya sudah pergi.

"Nggak apa-apa. Kalau aku lapor, urusannya malah makin ribet. Nanti mereka bakal ngelakuin yang lebih sama aku."

"Btw, makasih udah mau bantuin aku. Ini kedua kalinya kamu bantuin aku dari mereka." Alula tersenyum.

Rasanya Radion benar-benar tersihir dengan senyuman gadis di hadapannya. Senyumannya sangat manis.

"Terus air lo gimana? Mau gue beliin? Biar sekalian aja."

Alula langsung menggeleng dengan cepat. "Nggak! Nggak perlu, Radion! Nanti aku izin sama Pak Rio aja buat beli minum ke kantin sebentar."

Sejujurnya Alula ingin Radion cepat-cepat pergi dari hadapannya. Sekarang, teman-teman sekelasnya sedang menatapnya sambil berbisik-bisik. Mungkin membicarakannya dengan Radion.

"Mending kamu balik ke kelas!"

Radion mengangguk. "Oke. Kalau gitu gue cabut!"

Alula menghela nafasnya lega setelah Radion pergi meninggalkannya. Gadis itu lalu buru-buru kembali ke lapangan untuk menghampiri Pak Rio dan meminta izin untuk membeli air minum di kantin.

"Kenapa sih si Radion jadi suka nolongin tuh cewek? Kemarin lo lihat dia nolongin Alula juga kan, Ruby?" Chlo menatap sinis Alula dari koridor sekolah.

"Hm. Gue kemarin lihat si Radion nolongin Alula pas gue mau samperin Galen. Terus Alula malah di bawa pergi sama Radion."

"Buat apa sih cewek kayak gitu di tolongin? Lebay." Ruby dan Chessy hanya bisa mengangkat kedua bahunya.

Chlo lalu mengeluarkan ponselnya. Mengetikkan sesuatu di sana lalu mengirimnya.

Angelina Chlo :
Gue udah ketemu sama Radion.
Dia dateng ke sekolah mulai besok.

Gue udah bilang ke dia, kalau mau join ekskul musik, bilang gue aja.

Dia belum join ekskul musik. Katanya masih dipikirin.

New massages :

Temen gue lihat Radion nolongin Alula.
Alula itu cewek polos dan aneh yang ada di sekolah gue. Dia suka di bully.

Radion nolongin Alula lagi barusan.

"Gimana kalau kita kasih pelajaran aja sama tuh cewek? Kayaknya seru juga gangguin si Alula," saran Ruby.

****

"Ze, awas kalau lo kabur! Lo inget kan, kalau hari ini kita harus ngumpul?" Raiden menahan langkah Zean yang baru saja ingin buru-buru keluar dari kelas—tepatnya menghindari Raiden.

"Lo udah bilang sama Archa kan, kalau misalnya lo sibuk hari ini?"

"Udah, Den. Santai aja, kali. Gue juga bakal ikut ngumpul." Zean duduk di atas meja Daplo yang sedang sibuk membereskan barang-barangnya.

"Bohong, Den! Mau kabur tadi dia."

"Apaan sih, Len? Nggak usah menyebar fitnah lo," decak Zean ke arah Galen.

"Udah, yuk! Anak-anak lain udah pada nunggu di basecamp. Kasian nanti kelamaan," ajak Arlan yang sudah siap di depan pintu kelas sambil memutar-mutar kunci mobilnya.

"Ayo!" Raiden, Zean, Galen, dan Daplo ikut bangkit dari bangku mereka masing-masing.

"Gue beliin air buat anak-anak, ya? Mau nitip apaan lagi?" Tanya Galen.

"Rokok, Len."

"Mana uangnya?"

"Pake duit lo dulu, lah."

"Nanti nggak lo ganti. Gue males jajanin lo mulu, Ze."

Zean berdecak. "Ya elah, santai nanti gue ganti. Kalau gue kelupaan, lo minta aja sama si Arlan."

"Bangsat lo," umpat Arlan.

"Bercanda, Lan. Nih, duitnya!" Zean lalu memberikan uangnya kepada Galen.

"Nah, gitu, dong. Sekali-kali lo nggak ngutang mulu ke gue. Bokap nyokap doang kaya, tapi anaknya miskin."

Radion menatap kepergian mereka dengan tatapan datar. Setelah suara mereka menghilang dari depan kelas, baru lah Radion mulai membereskan barang-barangnya. Terutama buku-buku pelajaran yang berserakan di kolong mejanya, dan juga sampah kertas yang sangat banyak di bawah mejanya.

Anak-anak kelas Radion sangat malas melakukan piket kelas. Buktinya, setelah bel pulang berbunyi, mereka semua langsung berbondong-bondong keluar dari kelas—kecuali Camelion.

Radion memungut kertas-kertas tersebut lalu membuangnya ke tempat sampah di depan kelasnya. Kertas-kertas tersebut adalah sampah dari Raiden dan teman-temannya. Mereka tadi sibuk mencontek saat ulangan fisika. Padahal menurut Radion, soal ulangan tadi bisa dibilang mudah.

Tak lama, ponsel Radion berdering. Menampilkan nama sang pemanggil. Dengan cepat, Radion langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya lalu mengangkat panggilan yang baru saja masuk.

"Halo, Mi."

"..."

"Udah selesai, kok. Tapi Radion masih di sekolah."

"..."

"Temenin Mami liat kafe? Kapan?"

"..."

"Iya, mau. Radion pulang sekarang kalau gitu."

"..."

"Bye, Mi."

Radion kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Baru saja, maminya meminta dirinya untuk menemani melihat kafenya yang ada di Jakarta nanti malam. Tidak apa, lah. Lagipula Radion tidak ada kegiataan di malam hari nanti.

Cowok itu lalu berjalan ke luar kelas dengan santai. Matanya memicing ketika mendapati seseorang yang sangat familiar di matanya.

Radion baru saja melihat sebuah motor yang sedang dikendarai oleh seorang cowok. Motor besar berwarna merah. Di belakangnya, cowok itu membonceng seorang gadis berambut panjang yang tengah memakai masker.

Radion tidak bisa melihat wajah gadis itu, tetapi Radion tahu siapa gadis itu. Itu adalah Alula.

"Alula? Dia sama Galen?" Gumam Radion sambil bersandar di tembok sekolah.

"Mau bawa Alula ke mana?" Rasa penasaran Radion semakin menjadi-jadi sekarang.

Kenapa mereka masih saja mengganggu Alula? Bahkan saat pulang sekolah pun. Pasti hidup Alula selama ini tidak tenang dan tidak bebas.

"Sampai kapan pun, mereka nggak akan berhenti buat gangguin si Alula." Radion tersentak.

"Jadi, percuma lo nolongin tuh cewek." Chlo meletakkan kedua tangannya di depan dada. Ikut bersandar di tembok sebelah Radion.

"Lo belum pulang?" Tanya Radion.

"Kelihatannya?"

"Lo tahu sesuatu tentang Camelion, Chlo?" Tanya Radion pelan.

Chlo mengernyit. "Siapa sih yang nggak tahu mereka?"

"Bisa lo kasih tahu gue?"

"Bisa aja sih kalau lo mau. Tapi, mau gue jelasin di mana? Lo mau ngajak gue ke kafe? Kebetulan, hari ini gue nggak ada jadwal pergi sama temen-temen gue."

"Di sini aja. Lagian gue juga nggak bisa lama-lama, kok." Chlo jadi malu sendiri.

"Mereka sering banget berantem. Bukan sama anak sekolah lain. Nggak perlu jauh-jauh buat nyari tahu musuh Camelion. Toh, musuh mereka sendiri ada di dalam sekolah ini. Blidvinter."

Ya, Radion ingat Blidvinter. Apalagi ketuanya, Abimanyu yang sangat gencar mengejarnya. Untung saja cowok itu tidak menampakkan wajahnya lagi di depan Radion.

"Setahu gue, Camelion itu nggak akan pernah berhenti musuhan sama Blidvinter, sebelum mereka jadi satu-satunya geng di sekolah ini."

"Udah tiga tahun, bahkan lebih. Banyak senior-senior mereka yang alumni sini juga. Cuma yang gue tahu, mereka udah sibuk sama urusan kuliahnya. Istilahnya taubat dari geng-geng ginian, lah."

"Dan sampai sekarang juga, belum ada yang tersingkir. Gue nggak tahu mau sampai kapan mereka jadi rival."

"Lo tahu Abimanyu?" Radion menggeleng. Pura-pura tidak tahu.

"Dia ketua Blidvinter, musuh Camelion. Pergaulannya bebas banget. Dia juga masuk ke salah satu anggota geng motor di Jakarta. Sering main judi juga. Dan satu lagi, dia pernah naksir sama gue."

"Kalau ketua Camelion, namanya Brandon. Kata orang-orang, dia udah pindah ke Jepang karena orang tuanya super keras. Sekarang, gue nggak tahu deh gimana nasib nya Camelion. Mereka kan sekelas sama lo."

"Iya, gue pernah lihat Brandon sebelum dia pindah ke Jepang."

"Lo lihat di mana?" Tanya Chlo.

"Ruang kepala sekolah, waktu sehari sebelum gue masuk sekolah." Chlo hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Udah hampir tiga tahun Alula jadi bahan jahilnya anak-anak Camelion. Jadi, jangan harap lo bisa menghentikan mereka. Mereka di hukum berkali-kali sama guru aja nggak pernah kapok dan mau berhenti. Apalagi buat gangguin Alula."

Radion terdiam.

"Masih belum tahu mau join ekskul musik atau nggak?"

Chlo membuang nafasnya pelan ketika tidak mendapat jawaban dari Radion. "Oke, deh. Masih gue tunggu. Sama-sama buat informasinya."

Chlo menepuk bahu Radion pelan sebelum cewek itu berjalan meninggalkan Radion menuju arah parkiran sekolah—menyusul Chessy dan Ruby.

Angelina Chlo :
Gue udah ketemu sama Radion.
Dia dateng ke sekolah mulai besok.

Gue udah bilang ke dia, kalau mau join ekskul musik, bilang gue aja.

Dia belum join ekskul musik. Katanya masih dipikirin.

Temen gue lihat Radion nolongin Alula.
Alula itu cewek polos dan aneh yang ada di sekolah gue. Dia suka di bully.

Radion nolongin Alula lagi barusan.

New massages :

Dia mulai penasaran sama cowok-cowok yang suka gangguin Alula.

****

"Rad, Mami mau ngobrol sebentar. Kamu kalau bosen, langsung pulang aja, ya!"

"Radion tungguin Mami aja. Lagian juga bosen di rumah."

Marissa tersenyum. "Mau minum apa? Biar Mami bilangin nanti."

"Ice caramel ya, Mi."

"Oke, Sayang."

Suasana kafe Maminya di Jakarta tak berbeda jauh dengan yang di Bali. Sangat ramai. Terutama ramai di datangi oleh anak-anak muda.

Radion memilih untuk duduk di tempat outdoor. Cowok itu berjalan mencari kursi yang kosong. Kebetulan Radion melihat kursi yang kosong di pojok. Cukup untuk dirinya.

Sontak kehadiran Radion di sana membuat para pengunjung melirikkan matanya ke arah Radion. Terlebih lagi yang perempuan.

"Eh, itu kan anak baru di sekolah kita!"

"Woi, Rad!" Radion menoleh. Mendapati Raiden dan teman-temannya yang ada di salah satu bangku. Bukan hanya mereka, ada pula empat orang perempuan yang bergabung di meja mereka.

"Sendirian aja lo," sapa Raiden singkat.

"Hai, Radion! Kenalin, gue Kezia." Mora, yang duduk di sebelah Kezia langsung menyikut lengan gadis itu pelan.

"Iya, sendirian. Kalau gitu gue ke sana dulu, ya!"

"E–eh, kenapa nggak join di sini aja? Mereka semua temen sekelas lo, kan?" Tunjuk Kezia ke arah Raiden, Arlan, Zean, Galen, dan Daplo.

Mereka semua menatap Radion dengan tatapan tidak bersahabat. Sepertinya karena masalah di sekolah tadi. Hanya Raiden yang menatap Radion dengan tatapan santai.

"M–maksud gue, gue di sini juga karena Mora, sih. Si Mora mau ngajak Raiden ketemu. Tapi masing-masing malah bawa temen." Lengan Kezia kembali di sikut oleh Mora.

"Apaan sih, Kez?"

"Sorry, Mor." Kezia tertawa tanpa dosa.

"Nggak usah. Gue duduk di sana aja," tolak Radion.

"Santai aja kalau lo mau join," ujar Raiden sambil menghisap vape nya.

"Makasih, Den. Tapi gue di sana aja."

"Atas nama Radion!" Teriak pelayan dari belakang tubuhnya.

"Mas, itu punya saya."

"Oh, ini pesanannya, Mas! Mau duduk di mana?"

"Di sana," tunjuk Radion ke arah bangku kosong di pojok.

"Baik, silahkan!" Pelayan itu pun mempersilahkan Radion untuk berjalan terlebih dahulu.

"Spesial banget kayaknya, Mas. Dia temen satu sekolah kita. Seumuran juga." Zean tertawa melihat sang pelayan yang terlihat sangat tunduk kepada Radion.

"Emang spesial. Soalnya kan yang punya kafenya lagi berkunjung ke sini. Tuh, anaknya." Pelayan menunjuk Radion dengan dagunya.

"H–hah?! Anaknya yang punya kafe? Serius, Mas?"

"Iya, serius. Masa saya bohong, sih?!"

****

Radion meletakkan gitar listriknya di tempatnya. Sudah dua jam setelah pulang dari kafe, Radion memainkan gitar listriknya. Sepertinya papinya juga sudah pulang.

Tiba-tiba saja Radion teringat akan Alula. Radion penasaran dengan gadis yang baru-baru ini ditolongnya. Apakah Alula sebaik itu sampai tidak mau melapor ke siapa pun dan menahan semuanya?

Radion juga teringat akan ucapan Chlo tadi saat pulang sekolah. Bahwa anak-anak Camelion tidak akan pernah berhenti mengganggu Alula.

Radion tidak akan membiarkan mereka mengganggu Alula dengan mudah sampai mereka lulus sekolah. Cepat atau lambat, mereka harus dihentikan. Kasihan Alula.

Radion bukan tipikal orang yang begitu peduli kepada orang lain sebenarnya. Kecuali dengan orang-orang terdekatnya. Tetapi entah kenapa dirinya ingin sekali menghentikan ke-lima lelaki itu agar tidak mengganggu Alula lagi.

Memangnya Alula siapanya Radion? Radion juga tidak tahu apa yang akan dilakukannya untuk Alula. Gadis yang baru-baru ini ia kenal di sekolah.

Radion membaringkan tubuhnya di atas kasurnya. Menatap langit-langit kamarnya.

"Kalau ketua Camelion, namanya Brandon. Kata orang-orang, dia udah pindah ke Jepang karena orang tuanya super keras. Sekarang, gue nggak tahu deh gimana nasibnya Camelion."

Radion menyernyit. "Terus ketua mereka siapa sekarang?"

Tak beberapa lama Radion kembali menggumam. "Sampai kapan pun, mereka nggak akan berhenti buat gangguin Alula."

****

Apa yang bakal Radion lakuin nanti kira-kira? Kenapa sih dia kayaknya penasaran banget sama Alula?

Kaget nggak lihat sifat Alula yang sebenernya? Iya, sesuai request kalian aku nggak bikin si Alula menye-menye, kok👍 ya walaupun kalau di ceritanya kebanyakan nyeritain si Alula yang menye-menye.

Tungguin aja nanti sampai Alula nunjukin ke semua orang gimana dia yang asli😈

Di antara anggota inti Camelion, kalian sukanya siapa? Selain Radion, ya! Kan Radion bukan anak Camelion.

Introducing : Zean Samudra🥵

Introducing : Galen Nathanio💪

Buat visual Arlan sama Daplo, menysuul di next chapter😻

Jangan lupa buat pencet tombol bintang di pojok kiri bawah ya bestie🖤🙏 biar aku semangat terus nulis dan updatenya💪 thank u😘

Dont forget to check👇 :
Instagram : @cindeyaur
Tiktok         : @cramelgurl

Bantuin tiktok aku fyp ya guys, biar banyak yang mampir ke cerita 'RADON' 😍 boleh request juga konten apa yang bakal aku buat di tiktok nanti😚

Thank u so much yang udah baca, see u di next chapter‼️🙌

With love, Cindyy<3

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

3.6M 225K 68
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
272K 21.6K 23
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
5.6M 375K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
351K 43.5K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...