RADION

Por cindeyaur

66.5K 6K 1.8K

"Gue sekarang udah jadi ketua di sini, mau gimana pun, lo harus patuh sama gue." -Radion Geraldo. **** Radion... Más

PROLOG
RADION || 01
RADION || 02
RADION || 04
RADION || 05
RADION || 06
RADION || 07
RADION || 08
RADION || 09
RADION || 10
RADION || 11
RADION || 12
RADION || 13
RADION || 14
RADION || 15
RADION || 16
RADION || 17
RADION || 18
RADION || 19
RADION || 20
RADION || 21
RADION || 22
RADION || 23
RADION || 24
RADION || 25
RADION || 26
RADION || 27
RADION || 28
RADION || 29
RADION || 30
RADION || 31
RADION || 32
RADION || 33
RADION || 34
RADION || 35
RADION || 36
RADION || 37
RADION || 38
RADION || 39
RADION || 40
RADION || 41
RADION || 42
RADION || 43
RADION || 44
RADION || 45
RADION || 46
RADION || 47
RADION || 48
RADION || 49
RADION || 50
RADION || 51
RADION || 52
RADION || 53
RADION || 54
RADION || 55
RADION || 56
RADION || 57

RADION || 03

2.6K 238 84
Por cindeyaur

Hari ini adalah hari pertama Radion masuk ke sekolah. Cowok itu membawa motor ducati kesayangannya. Hal itu sontak membuat Radion menjadi pusat perhatian bagi para lelaki di sekolah. Tentu saja hanya karena motor mahalnya.

Berbeda lagi dengan para perempuan di sekolahnya. Saat Radion berjalan di koridor sekolah untuk menuju kelasnya, semua anak perempuan di sekolahnya langsung mengerubunginya.

Bahkan Radion sampai tidak bisa di buat jalan oleh mereka. Mereka menutupi jalan Radion.

"Hai, namanya siapa?"

"Katanya sih namanya Radion."

"Radion, boleh minta foto nggak?"

"Radion, akun instagram nya apa?"

"Radion kamu di kelas mana?"

"Radion ganteng banget, sih. Boleh kenalan nggak?"

"Radion, aku mau kasih sesuatu buat kamu."

Awalnya Radion membalas sapaan mereka satu persatu dengan sabar. Tetapi semakin lama, mereka semakin brutal. Radion di buat kesal oleh mereka, tetapi Radion sebisa mungkin tidak menunjukkannya.

"Hei, bubar kalian semua!" Untung saja Pak Umam datang menyelamatkan Radion. Guru bertubuh gemuk itu menerobos kerumunan siswa-siswi.

"Yah, Pak. Kenapa, sih? Orang mau kenalan sama Radion."

"Tau, mau minta instagram nya nih, Pak."

"Mau minta foto juga. Ya kali ada cowok ganteng di sekolah nggak di ajak foto bareng."

Pak Umam geleng-geleng kepala. "Masih pagi udah kayak begini kalian. Harusnya kalian duduk manis di kelas sambil baca buku. Bukan berkerumun kayak gini."

"Radion ini risih kalau kalian terus-terusan seperti ini. Sekarang, bubar!"

"Yah, Pak. Sebentar aja, Pak."

"Bubar!" Pak Umam membentak mereka.

Para siswa-siswi pun hanya bisa mendengus lalu pergi meninggalkan koridor satu-persatu.

"Makasih, Pak!"

"Sama-sama. Ngomong-ngomong kamu di kelas mana, Radion?" Tanya Pak Umam.

"Dua belas ipa satu, Pak."

"Tahu kelasnya? Mau Bapak antar?"

"Nggak usah, Pak. Saya udah tahu kelasnya, kok."

"Ya sudah kalau begitu kamu langsung ke kelas, ya!" Pak Umam menepuk pundak Radion pelan.

"Iya, Pak. Permisi!" Radion lalu kembali berjalan menyusuri koridor. Menaiki anak tangga menuju kelasnya yang berada di lantai tiga.

Karena kemarin Radion sempat memutari sekolah, maka cowok itu tahu di mana letak kelasnya. Radion juga hafal di mana kantin, ruang guru, ruang ekskul, toilet, dan fasilitas lain yang ada di SMA Gardapati.

BRUKK!!!

Radion berdecak ketika ada seseorang yang menabrak bahunya dengan keras. Seperti di sengaja. Cowok itu menoleh ke belakang. Menatap sinis orang yang baru saja menabraknya.

Orang yang baru saja menabraknya membalikkan tubuhnya. Rupanya di belakangnya banyak sekali teman-temannya. Apakah mereka sebuah perkumpulan geng juga seperti yang Radion dengar di ruang kepala sekolah kemarin?

"Sorry, salah gue." Cowok itu lalu menatap Radion dari atas sampai bawah.

"Iya, santai."

"Anak baru? Nama lo?"

Radion menunjuk baju seragamnya—di mana di sana ada namanya yang tertera.

"Oh, Radion."

"Anak kelas mana?"

"Dua belas ipa satu."

"Oke, sana lanjut!" Cowok itu menepuk bahu Radion pelan—menyuruhnya untuk kembali melanjutkan jalannya menuju kelas.

Radion tidak banyak cakap. Cowok itu langsung kembali berjalan menuju kelasnya di depan sana.

Aneh. Kenapa perkumpulan cowok barusan menatapnya seolah-olah menilai dirinya dari atas sampai bawah?

Radion masuk ke dalam kelasnya. Seperti biasa, ia di sambut oleh perempuan-perempuan yang berbisik sambil terus menatapnya. Ada pula yang senang karena mereka bisa satu kelas dengan Radion.

Untungnya tidak separah di luar sana. Perempuan di kelasnya lebih memilih untuk menatapnya dari jauh. Syukurlah, setidaknya Radion bisa tenang saat belajar di kelas.

"Hai, bro!" Radion mendongak setelah duduk di kursi kedua dari belakang. Hanya di sana yang tersisa. Bangku di sebelahnya sudah ada yang menempati, entah siapa yang akan menjadi teman sebangku Radion.

"Radion, kan? Kenalin gue Agara, ketua kelas di sini. Panggil aja Gara."

Radion tersenyum singkat menatap cowok berkacamata di hadapannya. Bukan seseorang yang culun. Justru cowok itu malah terlihat tampan walaupun memakai kacamata. Tubuhnya juga bagus.

"Iya, gue Radion. Ada apa, ya?"

"Nggak ada apa-apa, cuma kenalan aja. Gue sebagai ketua kelas harus deket sama temen-temen di sini." Cowok itu tersenyum.

"Gue tahu lo dari wali kelas kita. Kalau lo belum tahu, nama wali kelas kita Bu Grizelle. Satu-satunya guru blasteran di sekolah ini, juga guru yang paling muda."

"Ah, oke."

Gara menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung ingin mengajak Radion mengobrol dengan topik apa.

"Kalau gitu gue balik ke bangku gue, ya!" Akhirnya Gara memutuskan untuk kembali ke kursinya.

"Oke."

Hanya satu orang yang Radion kenal di kelas ini. Itupun hanya Gara, si ketua kelas.

Karena bel masuk belum berbunyi, Radion memutuskan untuk memainkan ponselnya.

Tak beberapa lama, rombongan anak lelaki dengan pakaian berantakan masuk ke dalam kelas. Ada sekitar lima orang.

Sontak semua anak-anak di kelas langsung terdiam. Radion belum menyadari hal itu. Cowok itu masih tetap sibuk menatap layar ponselnya.

"Ya elah, Ze. Lo tuh sebenernya mau jalan sama Archa atau Nara? Pilih salah satu, lah. Masa mau lo gebet dua-duanya? Maruk lo."

Zean, cowok berhidung mancung itu duduk di atas meja. Persis di sebelah Galen. "Mau jalan sama dua-duanya, sih. Hari pertama mungkin sama Archa. Hari kedua sama Nara."

"Gila lo! Sadar!" Cowok yang duduk di bangku paling belakang menyadarkan cowok itu. Namanya Arlan.

"Lo pilih salah satu yang sekiranya rasa sayang lo paling banyak ke dia. Siapa?"

Zean berfikir sebentar, sedangkan teman-temannya menunggu jawaban cowok itu. "Ah, gue nggak bisa sekarang. Rasa sayang gue ke mereka itu sama, seratus persen. Gue nggak bisa milih."

"Bego." Daplo bergumam dari bangku pojok kelas. Cowok bertato itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menaikkan kedua kakinya ke atas meja.

"Kan gue bilang juga apa, Ze. Nggak usah sok-sok an deketin dua cewek. Sekarang lo yang bingung, kan?" Galen geleng-geleng kepala.

"Mending juga kayak si Arlan sama Raiden, tuh. Anti banget sama cewek. Gue sodorin cewek seksi aja mereka nggak tergoda."

"Iman gue kuat berati." Arlan terkekeh.

"Halah."

"Prinsip gue adalah, deketin dulu semua cewek. Nanti yang tersisa, tinggal di seleksi lagi buat di jadiin pacar." Zean lalu menaik-naikkan alisnya ke atas, membuat Galen geli sendiri melihatnya.

"Seganteng apa lo sampai bilang kayak gitu, Ze?"

"Yang pasti lebih ganteng dari lo, Len."

"Bangsat," umpat Galen.

"Lo sendiri gimana sama Shafa, Len?" Kali ini Zean yang balik bertanya kepada Galen.

"Gue masih di ghosting, Ze." Cowok itu berujar sedih.

Bukannya menenangkan temannya dan menghiburnya, justru Zean malah tertawa terbahak-bahak. Seolah-olah senang dengan penderitaan kawannya itu.

"Suka kok sama modelan kayak Shafa? Dia kan keturunan Cina Indonesia, Len. Pasti maunya sama yang sejenis juga."

Galen berdecak. "Lah, kan gue blasteran."

"Blasteran dari mana? Dari mimpi lo!"

"Ngeselin lo, Ze. Ada ya orang kayak lo?"

"Eh, lo Radion, kan?" Radion tersentak dari kegiatannya sendiri. Cowok itu menoleh ke sebelah mejanya dan mendapati Raiden yang menjadi teman sebangkunya.

Rupanya yang baru saja masuk ke kelas adalah Raiden dan teman-temannya. Yang pernah Radion lihat juga di lorong sepi saat mereka sedang mengganggu seorang perempuan.

"Masih inget gue, kan? Anaknya temen bokap lo." Melihat Raiden yang terlihat akrab dengan anak baru, membuat Arlan, Zean, Galen, dan Daplo menoleh.

"Inget, kok."

Raiden tersenyum singkat lalu kembali membalikkan tubuhnya menghadap teman-temannya. Cowok itu tidak berniat mengajak Radion berteman. Lagipula Raiden sudah memiliki banyak teman, yaitu teman di dalam perkumpulan yang sama. Camelion.

Begitupun dengan Radion. Cowok itu kembali sibuk dengan urusannya sendiri. Tidak memedulikan pembicaraan antara Raiden dan teman-temannya yang terlihat konyol dan berisik. Mereka sepertinya termasuk salah satu pentolan di sekolah ini.

"Brandon beneran pindah ke Jepang. Sengaja nggak pamitan sama kita," beritahu Raiden.

"Serius lo?!"

"Ngapain gue bohong, Len?"

"Terus kita gimana jadinya?"

Raiden mengangkat satu alisnya ke atas. "Gimana apanya? Ya kayak gini aja."

"Kita nggak ada ketua, Den. Camelion mau berdiri dengan cara kayak gini? Bisa kalah kita sama yang sebelah."

"Ya gue juga lagi mikirin gimana kedepannya buat Camelion. Pokoknya pulang sekolah, suruh semua kumpul markas ya, Dap!" Daplo mengangguk mendengar intruksi dari Raiden, sang wakil.

"Lagian cemen banget si Brandon. Udah anak mami, sok-sok an jadi ketua lagi. Terus hasilnya? Camelion malah kacau kayak gini. Mana nggak bilang-bilang dulu lagi kalau mau ke Jepang." Zean memaki mantan ketuanya itu dengan kekesalan yang menggebu-gebu.

"Kalau masih ada dia sekarang, lo pasti nggak bakal berani buat bilang kayak gitu, Ze." Arlan tertawa.

"Ya iya, lah. Mana berani gue."

"Dasar muka dua."

"Pokoknya lo pada jangan ada yang bocor dulu, ya?! Ingetin anak-anak yang lain juga. Kalau sampai geng sebelah ada yang tahu Brandon pindah ke Jepang, gue habisin!"

"Siap, Den! Aman." Galen mengacungkan jempolnya.

"Kayaknya muka lo bahagia banget, Len. Suka lo Camelion jadi kayak gini? Apa lo baru dapet cewek baru?" Raiden menatap Galen dengan tatapan mengintimidasi.

"Enak aja muka kayak gini di bilang bahagia. Gue abis di ghosting lagi, Den. Beban pikiran gue juga jadi bertambah karena Camelion jadi kacau kayak gini."

Raiden terkekeh. "Kasian."

****

"Udah, Den. Lo jangan kebanyakan bengong." Arlan duduk di sebelah Raiden yang sedari tadi hanya bengong. Bahkan cowok itu tidak ikut menimbrung dengan teman-teman yang lainnya.

"Siapa yang bengong? Gue lagi mikir."

"Mikir apaan? Mikir mau buka hati buat cewek atau nggak? Udah, nggak usah. Lo kan udah janji sama gue kalau nggak bakal kepikat sama cewek mana pun."

"Apaan sih lo, Lan?! Nggak jelas." Raiden mendengus, membuat Arlan tertawa.

"Bercanda, elah. Kenapa?"

"Gue lagi mikirin Camelion aja. Gue takut kita dipandang lemah sama musuh karena kita nggak punya pemimpin. Kita harus cari kandidat baru, Lan. Kalau bisa secepatnya!"

Arlan mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar kerisauan Raiden. Bukan hanya cowok itu yang risau, Arlan dan yang lain juga.

"Cari kandidat juga nggak semudah itu, Den. Pulang sekolah kan kita mau rapatin hal ini sama anak-anak yang lain. Lo nggak usah khawatir. Lagian kehilangan Brandon, ketua yang nggak jelas buat Camelion juga nggak rugi buat kita, kok." Arlan merangkul Raiden.

"Wakil gue jelek banget hari ini. Malem nanti kita party deh di rumah gue."

"Party mulu kerjaan lo, Lan. Ajak cewek aja sana! Bosen gue diajakin lo mulu."

"Sekalian ngabisin duit gue, Den. Mendingan juga party ngajak temen. Ngapain ngajak cewek? Nggak guna cewek di hidup gue."

"Good. Kita sama." Mereka sama-sama tertawa sambil bertosan singkat. Memang hanya mereka berdua yang sangat anti dengan perempuan.

Jika Zean, Galen, dan Daplo yang selalu berbinar-binar saat melihat cewek cantik, tetapi tidak untuk Raiden dan Arlan. Mereka berdua benar-benar tidak peduli akan hal itu.

Mereka berdua adalah tipe cowok langka dan idaman. Benar, cowok langka dan idaman itu susah sekali di dapat.

"Eh, ada dua degemnya Zean." Galen tersenyum lebar ketika melihat empat orang perempuan yang baru saja ingin melewati mereka yang sedang duduk-duduk santai di koridor.

Ada Archa dan Nara, dua gebetan Zean yang sangat cantik. Archa terlihat lebih kalem dan lembut, sedangkan Nara lebih tomboi dan bar-bar. Tetapi walaupun begitu, kecantikan Nara banyak membuat lelaki klepek-klepek. Pantas saja Zean bingung mau pilih yang mana.

Ada pula Mora. Gadis paling cantik di angkatan kelas atas selain Chlo. Gadis itu sangat dekat dengan Raiden karena ia adalah teman masa kecil Raiden. Entahlah Mora menyukai Raiden atau tidak. Tetapi sepertinya iya. Tetapi Mora tahu bahwa Raiden sulit untuk menyukai seorang perempuan.

Dan yang terakhir ada Kezia. Gadis yang berasal dari keluarga berada dan sangat boros. Suka shopping, dan menghabiskan banyak uang. Kezia belum memiliki pacar dan crush. Gadis itu belum menyukai siapa-siapa.

"Hai Cha, Ra!" Zean dengan cepat langsung menyapa mereka berdua.

Sapaan Zean juga di balas ramah oleh mereka. Hal itu membuat Zean senyum-senyum sendiri. Entahlah ia akan menyukai dua orang sekaligus seperti ini sampai kapan.

"Pada mau ke mana?" Tanya Galen.

"Mau ke kelas. Tadi abis dari kantin," jawab Nara.

"Kiw, Mora. Dicariin Raiden, tuh." Galen sangat suka menggoda kawannya. Apalagi menggoda wakil Camelion yang tubuhnya jauh lebih besar dari pada Galen.

"Semuanya aja lo kerjain, Len." Daplo terkekeh.

"Apaan sih, Len? Lo mau gue tonjok? Mana ada gue nyariin Mora." Raiden menatap Mora sekilas sebelum cowok itu kembali mengobrol dengan Arlan.

Mora yang sangat berharap Raiden menyapanya atau sekadar tersenyum kepadanya pun hanya bisa tersenyum masam. Padahal mereka sudah saling kenal sedari kecil. Harusnya Raiden menyapanya walaupun sekilas.

"Ya elah, Den. Nggak bisa apa lo senengin si Mora sedikit aja?"

Raiden kembali menoleh sambil tertawa. "Ngapain? Kurang kerjaan."

"Mor, maafin temen gue, ya?! Emang kadang suka sok jaim anaknya." Galen terkekeh.

"Santai aja, Len. Gue juga tahu kok Raiden emang suka kayak gitu."

"Kalau gitu, sama gue aja gimana, Mor?" Galen menaik-naikkan satu alisnya—menggoda Mora.

"Mulai deh, Len." Arlan berdecak.

"Tenang aja, si Raiden nggak bakal marah, kok. Dia wakil Camelion yang baik dan nggak pelit. Iya, nggak, Den?" Galen menyikut Raiden.

"Ambil aja kalau lo mau. Kan Mora juga belum ada pacar."

Mendapat lampu hijau dari Raiden, membuat Galen tersenyum lebar. "Yuk, Mor. Pulang sekolah balik sama gue, ya?!"

"Idih, genit banget sih lo, Len. Udah, yuk!" Nara menatap Galen dengan tatapan jijik lalu menarik Mora, Archa, dan Kezia untuk pergi dari hadapan para lelaki itu.

"Aduh Len, Len. Dimarahin kan lo sama gebetan gue? Jangan main-main makanya." Zean tertawa puas.

"Gebetan-gebetan. Nggak usah belagu deh lo, Ze. Milih Archa atau Nara aja kayaknya nunggu gue udah punya keturunan."

Kali ini bukan hanya Galen yang menertawakan Zean. Raiden, Arlan, dan Daplo pun juga ikut menertawakan cowok itu dengan keras. Sedangkan Zean hanya bisa memaki teman-temannya itu dalam hati. Doakan saja agar Zean tidak di buat bingung dalam memilih Archa atau Nara.

"Eh, ada mangsa kita!" Tak beberapa lama, Zean berujar ketika matanya menangkap sesosok perempuan yang begitu familiar di mata mereka. Siapa lagi kalau bukan mainan mereka?

"Sini lo! Jangan sok-sok an nggak lihat kita gitu, ah. Nyapa, kek." Dengan cepat Raiden menahan lengan gadis itu yang ingin berlari dari mereka.

"M–maaf, aku buru-buru."

"Mau ngapain, hah? Mau ketemu temen? Emangnya lo punya temen?" Mereka semua menertawakan gadis itu.

"Sini aja dulu! Tenang aja, kita nggak bakal macem-macemin lo kayak cowok mesum, kok. Lagian nggak ada yang spesial di dalam diri lo." Raiden menarik gadis itu dengan keras, sampai gadis itu di buat meringis akibatnya.

"Lan!" Raiden menyikut Arlan untuk mengambil alih gadis di hadapannya.

Arlan mendekati gadis itu. Menepuk bahunya pelan. "Karena kita lagi males ke kantin, jadi gue mau suruh lo ke kantin buat beliin kita makan. Kebetulan juga hari ini gue mau traktir temen-temen gue."

"Asik!"

Gadis itu mendongak dengan cepat. "Kenapa? Nggak mau?"

"A–aku mau, kok. Mau dibeliin apa?"

"Nasi bungkus satu sama air mineral satu," ujar Raiden.

"Gue mau batagor sama es cekek, ye!"

"Beliin gue soda aja. Dua."

"Woi, Len! Bengong aja lo. Lo mau apaan?" Raiden menyadarkan Galen yang sedari tadi hanya diam.

"Samain aja kayak punya Raiden."

"Tuh, lo denger kan pesenan temen-temen gue?" Tanya Arlan.

"Gue nitip mi rebus, siomay, air, nasi bungkus, nasi goreng, sama bakso. Nih, uangnya! Kembaliannya buat lo." Arlan lalu memberikan selembar uang berwarna merah kepada gadis di depannya.

"Lan, lo nggak kira-kira? Dia bakal susah bawanya nanti," ujar Galen.

Arlan menatap Galen tajam. "Lo belain dia, Len? Silahkan kalau lo mau bantuin dia buat bawain makanannya."

"Y–ya bukan gitu, Lan. Kalau kebanyakan, nanti makanannya lama sampainya. Gue udah laper banget gila."

"Nggak peduli gue. Pokoknya semua yang di pesen gue sama temen-temen gue tadi, harus lo beliin."

Gadis itu hanya bisa mengangguk pasrah. Jika dirinya membantah, pasti kelima lelaki di hadapannya akan berbuat hal yang lebih.

"I–iya, aku bakal beliin semua. Kalian tunggu di sini, ya?!"

"Iya, buru sana!" Usir Zean.

Radion mengeryitkan dahinya bingung. Sedari tadi cowok itu mengintip apa yang sedang dilakukan oleh segerombolan lelaki di koridor sana. Kenapa mereka sangat suka mengganggu gadis itu?

Radion sebenarnya tidak peduli. Tetapi melihat mereka yang selalu seperti itu, membuat Radion bertanya-tanya.

"Nggak usah heran sama mereka. Mereka emang udah biasa gangguin si Alula. Bahkan dari kelas sepuluh." Radion menoleh kaget ketika mendapati Chlo, Chessy, dan Ruby yang sudah berdiri di belakangnya.

"Alula?"

Chlo mengangguk. "Iya, si anak pendiem yang suka mereka gangguin. Namanya Alula."

"Kenapa? Lo penasaran sama si Alula?"

Radion menggeleng. "Nggak. Gue juga nggak peduli."

"Bagus, lah. Alula emang nggak punya temen di sekolah ini. Dari dulu juga sering sendirian. Btw, lo mau ke mana?" Sembari menunggu Chlo yang sedang mencari perhatian Radion, Chessy dan Ruby sibuk memandang Raiden dan Galen—orang yang mereka sukai dari jauh.

"Mau ke kelas. Tadi abis dari toilet."

"Oke. Oh, iya! Gimana? Lo mau join ekskul musik? Gue jamin bakal seru banget, sih. Kita ekskul setiap hari selasa. Kita juga sering kumpul-kumpul tau, biar akrab."

Radion membuang nafasnya pelan. "Gue masih belum tahu. Masih gue pikirin juga."

"Oke kalau gitu. Tapi, ini nomor telepon gue! Kalau sewaktu-waktu mau join, bisa chat aja, ya?!" Dengan cepat Chlo memberikan secarik kertas berisi nomor teleponnya kepada Radion.

Radion hanya mengangguk singkat. "Gue pergi kalau gitu!"

"Bye!" Chlo menatap Radion sampai cowok itu hilang dari pandangannya.

"Please, kalian kayak nggak pernah lihat mereka aja. Udah yuk ke ruang musik! Gue bosen di kelas." Chlo menarik kedua temannya yang masih asik memandangi pujaan hati mereka.

"Abisnya Galen gemes banget. Heran, deh. Gue kan cantik, tapi kenapa Galen nggak suka sama gue, ya?" Ruby bertanya sendiri setelah mereka bertiga berjalan menyusuri koridor menuju arah ruang musik.

"Galen itu playboy, masi aja lo sukain? Dia juga katanya lagi di ghosting sama Shafa. Anak kelas bahasa kayaknya. Palingan juga dia yang suka ghosting-in anak orang."

"Serius lo?! Shafa?! Gue nggak pernah tahu tuh cewek sebelumnya. Berani-beraninya ghosting-in Galen."

"Kenapa ya Radion cuek banget?" Chessy dan Ruby langsung sama-sama menatap Chlo.

"Lo kenapa sih, Chlo?"

Chlo mengangkat kedua bahunya. Ia sendiri pun tidak tahu dirinya kenapa. "Pokoknya gue mau bikin Radion join ekskul musik. Biar gue gampang buat deketinnya."

"Hah?! Lo mau deketin Radion?" Chessy dan Ruby berteriak secara bersamaan.

"Serius, Chlo? Lo suka gitu sama Radion? Kan lo cuma—"

"Ssstt!! Bisa diem nggak, sih? Lo ngomong kenceng banget," dengus Chlo sambil menutup mulut Chessy.

"Ya elah, Chlo, lo santai aja! Radion kan suka main gitar listrik, pasti dia bakal pilih ekskul musik, kok."

"Semoga aja Radion chat gue buat join ke ekskul musik," kata Chlo penuh harap.

****

Radion keluar dari kelas dengan cepat. Cowok itu ingin buru-buru pulang. Tidak ada yang spesial di hari pertamanya sekolah.

Terlebih lagi cowok itu duduk di dekat gerombolan laki-laki pembuat onar yang suka mem-bully seorang gadis itu. Sangat berisik dan mengganggu belajar Radion di kelas.

Tetapi kadang mereka sering tidak ada di kelas. Mungkin bolos. Sekalinya ada di kelas, pasti mengobrol. Baik secara langsung ataupun via chat.

Sebelum keluar dari kelas, Radion tadi juga sempat mendengar bahwa pulang sekolah ini mereka ingin mengadakan kumpul bersama anggota-anggota yang lainnya. Katanya perihal ketua mereka yang tiba-tiba saja pergi ke Jepang dan meninggalkan tanggung jawabnya di sini.

Sekali lagi, Radion tidak peduli dengan semua itu.

"Bro!" Radion menghentikan langkahnya ketika ada seorang lelaki menghalangi jalannya.

"Ikut gue! Sebentar doang." Lelaki itu lalu berjalan mendahului Radion, membuat Radion mengernyit bingung. Tetapi tanpa banyak cakap, Radion pun pada akhirnya mengikuti lelaki itu karena penasaran.

Mereka sampai di halaman belakang sekolah. Radion terkejut karena di sana sangat ramai. Bukan hanya tiga atau lima orang, tetapi sepuluh lebih.

Lelaki yang sebelumnya menemui Radion pun bergabung ke barisan paling belakang. Salah satu dari mereka berjalan menghampiri Radion.

Lelaki dengan pakaian yang ia buka kancingnya, menunjukkan kaos hitam yang di pakai di dalamnya.

Radion bukan orang yang pelupa. Lelaki di hadapannya adalah lelaki yang tidak sengaja menabraknya di koridor saat Radion ingin menuju kelas.

"Gue tadi yang nabrak lo di koridor. Inget nggak?"

"Kenapa nyuruh gue ke sini?" Radion bertanya balik.

"Pertama-tama, kenalin dulu, nama gue Abimanyu. Lo tahu kita siapa?" Radion menatap Abimanyu dan orang-orang di belakangnya secara bergantian.

"Camelion?" Hanya nama itu yang ada di benak Radion. Entahlah, mereka seperti sebuah perkumpulan geng di sekolah.

Radion hanya tahu Camelion—salah satu nama perkumpulan geng yang ada di sekolahnya. Tetapi Radion sama sekali tidak melihat Raiden dan teman-temannya di sini. Bukannya mereka juga termasuk anggota Camelion? Ah mungkin Camelion memiliki banyak anggota.

Abimanyu tertawa diikuti teman-teman yang lainnya. "Ternyata lo udah tahu Camelion? Terkenal juga ya Camelion di sekolah ini. Bahkan anak baru aja udah tahu."

"Tapi sayang, Camelion itu cuma geng cemen dan lemah. Gue nggak mungkin dari sana."

"Terus?"

"Blidvinter. Gue ketua Blidvinter dan yang di belakang gue adalah anggota Blidvinter. Blidvinter jelas lebih unggul dari pada Camelion. Lebih berkelas juga. Iya nggak?" Abimanyu meminta persetujuan teman-temannya.

"Yoi, bos!"

"Bener, Bim!"

Jadi di sekolah ini ada dua perkumpulan yang berdiri? Pasti keduanya menjadi musuh bebuyutan. Bagaimana tidak? Masing-masing dari mereka pasti bersaing untuk menjadi nomor satu dan yang paling baik.

"Gue nggak peduli kalian dari mana. Gue cuma mau nanya, apa perlu kalian sama gue?" Tanya Radion langsung ke intinya.

Abimanyu menepuk bahu Radion pelan—menelusuri Radion dari atas sampai bawah. "Dari gayanya, lo keren juga. Badan lo juga bagus."

"Mau join Blidvinter?" Radion terdiam.

"Khusus buat lo, gue undang spesial buat gabung ke geng gue. Lo nggak perlu apa-apa, cukup bilang mau atau nggak."

Kali ini gantian Radion yang menelusuri Abimanyu dari atas sampai bawah. "Nggak."

"Lo yakin nolak? Ini kesempatan emas yang gue kasih buat lo. Orang-orang di luar sana nggak semudah itu buat join Blidvinter." Abimanyu terkekeh ketika mendengar tolakan dari Radion.

"Gue bilang nggak mau. Sampai kapan pun juga gue nggak akan join Blidvinter."

"Lo yakin? Sekarang lo belum tahu aja betapa kerennya Blidvinter di sekolah ini. Gue sih cuma nggak mau nanti lo ngejar-ngejar gue kalau tiba-tiba aja lo mau join ke Blidvinter."

Radion tetap memasang wajah santainya, padahal di dalam hatinya, cowok itu sudah kesal setengah mati. Lagipula untuk apa Radion masuk ke dalam geng itu jika ketuanya saja sombong seperti cowok di hadapannya?

"Gue nggak akan ngejar-ngejar lo buat join perkumpulan lo. Gue juga nggak bakal nyesel udah nolak kesempatan emas dari lo!" Radion pergi meninggalkan Abimanyu serta teman-temannya di sana.

Sampai kapan pun, Radion juga tidak akan bergabung ke dalam perkumpulan seperti itu. Tidak guna dan hanya membuang-buang waktunya. Radion tidak peduli jika ia tidak memiliki teman di sini. Toh, Radion juga sedang tidak mencari teman.

"Yah, bos! Terus gimana? Dia kan satu-satunya orang yang mungkin bisa kita andelin kalau masuk ke Blidvinter." Cakra, salah satu anggota Blidvinter menghampiri Abimanyu.

"Bener. Mungkin dia bakal berguna di sini. Gue nggak mau kalau Camelion nemuin dia dan ngajak dia buat masuk ke dalam perkumpulannya. Apalagi dia sekelas sama anggota inti Camelion."

"Besok, gue bakal dateng lagi buat nemuin tuh cowok. Gue bakal suruh dia join ke Blidvinter gimana pun caranya!"

****

Camelion & Blidvinter. Kalian tim mana?

Gimana sama chapter tiganya? Udah cukup belum? Kalau belum, tungguin chapter empat yang soon aku update lagi nanti😻

Zean & Galen si playboy. Mana yang lebih playboy menurut kalian?

Introducing : Raiden Gautama sebagai teman sebangku Radion & wakil ketua Camelion.

Setelah liat visual Raiden, tetep pilih Radion atau pindah haluan?🤪

Sama-sama ganteng kok mereka. Nama mereka juga nggak beda jauh. Hampir sama, hehe✌️

Jangan lupa kasih vote sama ramein di setiap paragraf, yaa🙌❤️‍🔥 so happy pas kalian banyak yang mampir ke tiktok. Ayo mampir lagi‼️🔥

Dont forget to check👇 :
Instagram : @cindeyaur
Tiktok : @cramelgurl

See u di next chapter🙌 Thank you sm🤍❣️

With love, Cindyy<3

Seguir leyendo

También te gustarán

396K 4.7K 21
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
6.1M 260K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
1.3M 58.4K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
3.2M 266K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...